3. Diplomasi

60 13 7
                                    

"Siapa orang gila yang kepengin jadi Nefer?" tanya Nefer tanpa menujukannya secara spesifik pada siapa pun.

"Rum," jawab Mutny. "Tadi dia baru aja bilang seandainya Nefer enggak dipilih Nefer sebelumnya, dia mau mengajukan diri."

"Rum itu eror, dia enggak masuk hitungan."

"Jadi orang gila macam apa yang kamu maksud?"

Nefer terdiam sesaat. "Lupain aja deh."

Nefer menatap punggung Mutny yang kaku. "Kamu marah karena aku nyuruh Cewek-cewek gak ngapa-ngapain."

"Marah, enggak" Mutny tak menoleh dari pemandangan berupa ilalang di luar jendela. "Kesal, mungkin iya. Tapi marah? Enggak."

Nefer menghela napas sekali lagi. "Kamu ngerti kan kenapa aku suruh mereka diam?"

Mutny mengangguk. Satu kali. "Tapi mengerti bukan berarti setuju, kan."

Nefer merutuk. "Apa aku enggak bisa melewati hari ini tanpa ada orang yang marah, kecewa, atau membalikkan punggung padaku?"

Mutny berbalik, matanya berkaca-kaca. "Kita ngomongin Nat, Sov," ujar Mutny. "Gimana perasaanmu kalau orang terdekatmu mendadak mati dan kamu tahu betul kamu bisa aja ngelakuin sesuatu, tapi kamu enggak bisa?"

"Aku bakal bunuh orang, jujur aja," jawab Sovia tanpa melewatkan satu detik pun. "Tapi kamu tahu aturan mainnya, dan kalau kita gegabah, bukan cuma Nat yang batal mengucapkan selamat tahun baru. Belum lagi orang-orang yang gak ada kaitan sama masalah ini. Keputusannya bukan kebebasanku. Sebesar apapun keinginanku untuk membalikkan kota ini untuk cari pelakunya, masalah ini mengalir lebih dalam dari sekadar orang yang mau bunuh Nat. Ada motif, ada—"

Sovia menghentikan dirinya saat Mutny mengangkat satu tangan dan tampak berusaha menahan air mata. "Aku tahu. Aku cuma...."

"Stres?" tawar Sovia.

"Mungkin."

"Kusarankan kamu pulang, buat teh hangat, dan tidur. Nangis sepuasmu kalau perlu. Sampai Skorpeon kembali dengan laporan yang bisa kita manfaatkan, kita gak bisa ngapa-ngapain. Mending kita manfaatkan waktu sebaik-baiknya sebelum bentrok."

"Bentrok?" Mutny mengerjap.

Nefer mengedikkan bahu, berdiri tegak dengan kedua tangan dikuburkan di dalam saku jaket. "Suka atau enggak, sebesar apa pun skalanya, jelas tinggal tunggu waktu sampai konflik pecah. Semoga aja waktu itu terjadi, enggak ada orang gak bersalah yang terlibat."

"Kamu mau ke mana?" tanya Mutny ketika Nefer berjalan menuju pintu.

"Jalan-jalan."

"Sekarang? Sov—"

"Nefer," koreksi Nefer. Nefer berbalik dan menghampiri Mutny. "Mut," ujarnya lembut. "Khawatir enggak akan bawa kita ke mana-mana. Kayak yang tadi kubilang, mending kamu pulang dan istirahat. Aku yakin kok Cewek-cewek lain pun udah pada bubar. Kita enggak bakal kenapa-napa untuk beberapa saat."

Mutny menyipitkan mata. "Aku enggak khawatir dan ucapanmu sama sekali enggak membantu."

Nefer mengedikkan bahu. "Aku realistis. Siapa pun yang ngelakuin ini pasti lagi berpuas diri dan enggak akan buru-buru ngambil langkah selanjutnya, karena itu terlalu gampang ditebak. Kita enggak punya akses untuk cari tahu siapa pelakunya, dan kalaupun punya, aku yakin polisi pun buntu, karena, kayak yang semalam kamu nyatakan, satu-satunya bukti yang ada enggak mempersempit ranah pencarian. Kita benar-benar enggak bisa ngapa-ngapain kecuali menggantungkan harapan sama Skorpeon dan berharap dia bisa melakukan tugasnya dengan baik sebelum aku terpaksa milih Rum jadi penerus di saat-saat terakhirku."

[ID] Femme Fatale | Novel: Old Version, CancelledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang