11. Tok, Tok

45 8 3
                                    

Seusai sarapan pagi berupa roti dan susu dengan piyama usang dan celana katun lembut, Han menutup wajahnya dengan bantal di atas tempat tidur dan menjerit keras.

Di belakangnya, Lecs menutup tirai yang memisahkan kamar tidur dengan ruang tamu rumah mereka dan meletakkan muk berisi cokelat hangat di nakas. Ia memanjat ke atas tempat tidur dan berbaring di samping Han, menatap langit-langit dan mendengar gadis satunya melampiaskan rasa frustrasi sampai tenggorokannya kering.

"AAAAAAAAAAHHHH!" teriak Han sekali lagi.

Lalu hening.

"Mungkin aku harusnya ikut keluar," ujar Lecs memecah keheningan.

Han mengangkat kepalanya. "Kenapa? Supaya Sovia bisa merasa menang dari kita berdua?"

Lecs menoleh pada Han. "Dia enggak merasa menang."

"Jelas dia merasa menang!" Han mendorong tubuhnya bangkit dan duduk di atas betisnya. "Dia ngalahin aku dan ... dan ... ngeluarin aku." Han meraih bantalnya dan memukul kepala tempat tidur dengan benda empuk itu. "Dia selalu pengin jadi Nefer! Kamu tahu itu?"

"Enggak."

"Enggak kamu gak tahu atau enggak dia enggak kepengin jadi Nefer?"

Lecs bertumpu pada sikunya. "Enggak, kurasa dia enggak pernah ingin jadi Nefer. Dan kamu juga tahu itu."

"Aku cuma—" Han berdiri di atas lutut dan membanting bantalnya sementara Lecs bergeser minggir. "GAH!" bantal malang tersebut melayang ke samping dan menabrak cermin yang digantungkan di dinding. Matanya yang menyala menatap Lecs. "Kenapa kamu enggak kerja?"

"Ini hari Minggu, Sayang. Perpustakaan tutup."

Han terpelanting di atas kasur dan mendarat dengan kepala terlebih dahulu, membuat Lecs bertanya-tanya apakah lukanya baik-baik saja. "Aku cuma...." Ia mendesah keras. "Aku enggak ngerti."

Gadis itu menatap Lecs dari balik rambutnya yang bagai tirai kusut. "Aku enggak mengerti."

Lecs meraih Han dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya, merapikan rambut Han yang panjang. "Gak apa-apa. Nangis aja kalau kamu mau."

Han mendengus. "Setelah dua malam nangis melulu aku udah enggak bisa nangis lagi. Udah kering."

"Kalau gitu ngocehlah. Tumpahin unek-unekmu."

Sebuah batu besar menyumbat tenggorokan Han. "Kenapa kamu lembut banget? Enggak akan ada yang ngira kamu gangster."

"Yah," ujar Lecs kering, "berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak semua dari kita senang mengendarai motor sambil bertelanjang dada dan mengangkat kepala sang Perawan yang baru dijagal sambil berteriak barbar."

Han mendengus sekali lagi sementara air mata meleleh dari matanya. "Perawan di tahun 2018? Semoga berhasil."

"Menjelaskan kenapa Drakula sudah punah."

Han menyedot ingus. "Aku enggak percaya Sovia mencampakkan aku gitu aja."

Lecs diam mendengarkan saat Han mulai bertutur. "Kami saling kenal sejak SMP, dan kemarin, begitu aja—" Han menjentikkan jari di samping rusuk Lecs. "—puf. Selesai. Beres. Gak ada urusan. Seolah kami gak pernah saling kenal.

"Aku cuma ... marah. Sama kayak cewek-cewek lain. Aku marah karena dia enggak mengambil tindakan soal Nat. Dia bahkan enggak mau mendengar kita. Maksudku, Cewek Dalam memang bukan ... 'penasihat' untuk Nefer," Han mendengus tertawa, "kita cuma perpanjangan lain dari Mutny, tapi maksudku—dia bahkan enggak mempertimbangkan untuk minta saran kita, kamu ngerti gak?

[ID] Femme Fatale | Novel: Old Version, CancelledWhere stories live. Discover now