23.

1.9K 197 6
                                    

"Kok kak Anhar?!"

Adam yang mendengar lantas mengangguk mantap. Dengan percaya dirinya malah menyodorkan cowok berkacamata itu sebagai tersangka ke-2.

Anhar yang sejak tadi diam, hanya memandang Alsa datar. Sejujurnya masih bingung dengan masalah yang dibawa oleh cowok konyol itu. Tapi dia tentu saja memilih mengiyakan dan berusaha menyelesaikan masalah ini secepatnya. Tak ingin memperumit hidup karena dia sendiri juga tengah pusing dengan persiapan UNBK yang sudah jelas di depan mata.

Alsa yang sama sekali tak yakin hanya mengerutkan keningnya. Menatap Anhar penuh tanya. Sementra Anhar hanya mengedikkan bahunya acuh karena masih bingung dengan semua yang dilakukan cowok konyol itu -Adam.

"Ok gue jelasin nih Sa. Dia itu tersangka karena apa? Dia itu ... "

Penjelasan Adam begitu panjang. Dengan terpaksa Alsa mendengarkan dengan saksama. Berusaha memaklumi tuduhan Adam yang sejujurnya sama sekali tak diyakininya. Kalimat Adam masih saja terus berjalan dengan lancar. Bukti kuat mengiringi ucapannya. Tapi Alsa sama sekali tak yakin dengan itu semua.

"Nahhh selain itu ya, dia itu tiap sore kalau lagi sengang perhatiin lo dari jendela kamar! Itu yang bikin gue yakin dia pasti diem-diem tuh nyimpen buku lo sa. Kayak ..." Adam melirik Anhar sebentar, kemudian berpindah ke samping Alsa. Kepalanya dicondongkan ke telinga Alsa kemudian melanjutkan kalimatnya.

"Penguntit lo Sa." Ucapnya berbisik.

Sontak Alsa melotot tidak terima. Pipinya bersemu merah mendengar penuturan Adam yang terakhir. Terlebih kegiatan sorenya yang memalukan!!

"Apa iya kak?" Tanyanya memastikan. Masih dengan pipi yang bersemu merah karena malu dengan fakta yang baru diketahuinya itu.

"Iya emang gue suka perhatiin lo.dari jendela kamar. Toh kamar kita berhadapan kan?" Anhar menjawab itu dengan santai, tanpa memedulikan Alsa yang mati-matian menahan rasa malu dengan kenyataan itu.

"Tuhhh denger kan lo! Dia pasti diem-diem suka lo giti Sa terus selalu ngumpulin data apa yang lo suka dan enggak! Nah ... maka dari itu diary lo diambil sama dia," tututnya dengan percaya diri.

Alsa yang masih saja merasa malu belum begitu bisa berpikir jernih. Dia kini memilih menunduk, tidak begitu mendengarkan kalimat Adam yang terus saja mengalir tanpa henti, Adam sepertinya belum menghabiskan kosa katanya. Dia tak henti-henti berbicara. Membuat Anhar sedikit muak dengan suara cowok itu.

"Gue emang suka Alsa! Tapi bukan berarti gue pake cara kayak gitu. Toh tanpa buku diary gue tau apa yang disuka dan gak disuka Alsa."

Pengakuan Anhar membuat Adam diam. Kakimat yang sejak tadi terus meluncur dengan mudahnya kini terhenti. Wajahnya kaku memandang Anhar yang sama kakunya. Ada rasa tak suka mendengar kalimat dri cowok itu.

Sementara Alsa?

Jangan tanyakan lagi sudah semerah apa pipinya. Dia kini lebih dalam menundukkan kepalanya. Berusaha bersembunyi dari kenyataan bahwa cowok yang disukanya itu ternyata menyukainya juga.

Tapi ini bukan saatnya untuk berbaper ria kan? Ini waktu penyelesaian masalahnya.

Dengan malu yang masih melekat, Alsa mendongakkan kepalanya, menatap Anhar dengan senyum tipis. Dengan sekuat yang dia bisa, dia menahan rasa malu yang sebenarnya masih saja terus luber jika di depan cowok berkacamata itu. Tapi harus dipertegas lagi, ini bukan saatnya untuk berpaper ria.

"Kak Anhar yakin gak ambil buku punya Alsa?" Tanya Alsa lirih.

Adam masih saja kaku. Dia memilih diam kali ini. Kosa kata yang sejak tadi meluncur indah kini hilang entah berpindah pada jiwa siapa.

"Gue gak pernah ambil Sa. Harusnya lo tanya ke temen lo itu, gimana bisa dia tahu rutinitas gue? Bukannya yang pantes disebut penguntit itu dia?"

Adam masih belum juga merespon.

Ok. Dia gila. Benar-benar gila karena ikut mencampurkan dirinya sendiri pada masalah Alsa yang tidak semudah kelihatannya.

Padahal dia cuma teman kan?

***

"Bodoh lo!! Ngapain bantu dia kalau lo aja gak sanggup selesaiin masalah lo sendiri?!"

Itu bukan Adam yang berkata. Melainkan Tito penyuka makanan ringan. Adam yang sering pusing, lebih sering memilih pencerahan dari Tito. Bukan kunyahan renyah dari mulut yang biasa didengar, tapi memang lebih sering kata umpatan yang justru menjatuhkan Adam.

Bodoh?

Toh Adam memang bodoh kan?

"Lo gak harus jadi superhero di depan semua orang, termasuk Alsa. Inget lo juga punya masalah sendiri yang bahkan belum ada jalan keluarnya kan? Jangan pusingin masalah orang lain dulu Dam. Lo gak sekuat superhero! Lo juga gak sepinter psikiater atau psikolog yang punya saran cemerlang buat pasiennya ..."

"Rasa suka lo sama Alsa, jangan bikin lo makin bodoh deh!! Inget, lo gak harus selalu peduli sama orang lain karena ada diri lo sendiri yang sebenernya harus banget lo peduliin. Masalah lo lebih banyak dan gue, Rey, bahkan Azka aja paham. Lo udah sering ngeluh ini itu dan sekarang malah mempersulit diri dengan mengikut-campurkan diri lo ke masalah orang lain?"

Tito menghela napas sebentar.

"Bodoh lo Dam!!"

Adam yang sejak tadi diam, menundukkan kepala, kini memberanikan diri menatap Tito yang marah. Dia sendiri tersenyum ke arah sohibnya itu.

"Gue emang bodoh. Emang gitu kenyataannya kan? Udah bodoh, eh malah dibuang ke MIPA sama sekolah karena stok kelas di IPS mbludak."

"Gue tahu, gue bodoh. Tampang gue aja yang bikin gue terkesan pinter. Tapi nyatanya gue emang bodoh, bahkan sampe dibenci sama nyokap gue sendiri."

Adam mempertahankan senyumnya. Helaan napas terdengar menyedihkan ditelinga Tito.

"Gak perlu dipertegas. Gue udah tau, kalau gue BODOH!"

Dan yah.. untuk kali ini Tito merasa bersalah mengucapkan umpatan pada sohibnya ini. Dia baru menyadari, ternyata Adam tak sekuat bayangannya. Candaannya hanya topeng penyamaran yang dibuatnya secara apik.

Dia konyol, berusaha melupakan masalahnya. Berusaha masa bodoh dengan kehidupan aneh keluarganya.

Dan yah.. perlu dipertegas lagi, Adam memang BODOH.

Itu kenyataannya.

***

Aaa... ini gak tau kenapa gue mikir kesini sumpah😪

Udah ah gak mau banyak omong.

Maap yah kalau yang gak terima.💕💕

Introvert?Where stories live. Discover now