Janji Berkemah

329 11 5
                                    


Terdengar suara jeritan anak laki-laki di kediaman rumah keluarga Potter di Grimauld Place No. 12. James Sirius Potter, putra sulung keluarga Potter saat ini sedang demam akibat kehujanan beberapa hari lalu saat pulang sekolah. Ia terus mengigau tentang laki-laki bertudung yang terus menghantui mimpinya.

"James," seru Ginny, sang ibu menghampiri kamar putranya. "Hustt.. tenang sayang. Tidak ada apa-apa disini." Ginny berusaha menenangkan bocah berambut merah itu.

"Mom, aku takut. Jangan pergi ya, temani aku disini." James mencengkram tangan Ginny.

Ginny mengusap tangan James, "Mommy akan disini menjagamu." Ginny mengusap kepala James. Kalau sedang sakit begini, James yang super aktif ini akan sangat manja. Bahkan melebihi kedua adiknya.

"Mom, aku bermimpi pria menyeramkan itu lagi. Sudah beberapa hari ini aku melihatnya di depan sekolahku. Aku takut sekali. Aku tidak mau sekolah lagi jika pria itu masih terus disana," bisik James.

"Apa kamu yakin sayang? Mungkin pria itu hanyalah orang yang kebetulan harus melewati sekolahmu untuk pergi kesuatu tempat."

James menggeleng, "Dia tidak pernah pergi dari sana dan dia selalu menatap tidak suka padaku."

"Mungkin itu perasaanmu saja ..."

Terdengar suara tangisan dan pintu kamar James terbuka. Harry masuk dengan mengendong Lily, putri bungsu yang yang belum berusia 2 tahun.

"Harry, kenapa kau membawanya kesini! Nanti Lily bisa tertular James," Ginny mengambil Lily dari Harry. Isak tangis Lily mulai mereda saat dirinya sudah bersama Ginny. 

"Dia terus menangis dan mencarimu," Harry mengusap kepala Lily. "Dia sedang haus."

"James," Ginny menoleh pada putranya, dia sudah berjanji untuk menemani James malam ini. "Kamu tidak keberatan kan jika mom memberikan ASI pada adikmu dulu?"

"Tapi mom," James tidak mau kalah. Jika sedang tidak sakit, James mungkin akan mementingkan adiknya terlebih dahulu.

"James sama Daddy saja ya," Harry duduk di ranjang James. "Kasian Lily kehausan. Kau kan sudah besar, Lily masih kecil."

Akhirnya James mengangguk. Harry berbaring di sisi James. Untungnya Harry memiliki postur tubuh yang kecil, sehingga ranjang single bed milik James masih bisa menampung diirinya juga. Sementara Ginny pergi ke kamarnya untuk memberi Lily ASI.

"Dad, apa ketika bayi aku rewel seperti Lily?" bisik James.

"Kau itu sepuluh kali lebih rewel dari Lily," Harry tertawa mengingat bagaimana James sewaktu bayi. "Dibandingkan Al dan Lily, kau paling parah."

"Dad, apa kau pernah merasa takut?"

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu? Usiamu kan sudah tujuh tahun. Apa yang harus kau takutkan? Monster dibawah kasurmu?" Harry mencoba mencairkan suasana.

"Bukan itu Dad, aku ini bukan anak TK," gusar James.

"Well, saat Dad kecil dulu Dad punya banyak ketakutan."

"Pada Voldemort?"

"Apa yang kau tau tentang Voldemort?" Harry memang belum menceritakan kisah hidupnya kepada anak-anaknya, karena mereka masih terlalu kecil untuk cerita masa mudanya.

"Uncle George bilang kau pernah mengalahkan Voldemort."

"Aku kira kau mau tau cerita ketakutan masa kecil Daddymu ini," Harry menyibakkkan rambut merah James. "Saat seusiamu aku bahkan belum pernah mendengar kata Voldemort."

"Jadi, apa ketakutan masa kecil Daddy?" James penasaran.

Harry berbisik di telingga James, "Saat masih seusiamu, aku takut sekali tidak akan pernah memiliki keluarga."

James menatap ayahnya tidak mengerti.

"Ayolah James, masa kamu gak ngerti. Kau tau kan sejak kecil Daddymu tidak memiliki orang tua, Jadi Daddy sangat ingin memiliki keluarga sendiri. Daddy tidak ingin tinggal  selamanya bersama keluarga Pamanmu."

"Tapi Uncle Duddley kan baik dan menyenangkan," James masih tidak mengerti. Harry juga tidak pernah menceritakan kekejaman keluarga Dursley kepadanya dulu.

"Bagaimana ya menjelaskannya," Harry berpikir untuk membuat James mengerti tanpa harus menceritakan masa kecilnya yang menyedihkan akibat perbuatan keluarga Dursley dulu. Sekarang ini mereka sudah berubah, jadi Harry tidak ingin anak-anaknya tau bagaimana saudara muggle-nya saat ia masih anak-anak. "Daddy ingin sekali bermain, tamasya dan melakukan hal menyenangkan yang biasa kita lakukan bersama saat ini bersama orang tua Daddy. Tapi sayangnya tidak bisa, karena mereka sudah pergi untuk selamanya saat dady masih bayi. Asal kau tau saja, Kakek dan Nenekmu meninggal saat usia daddy lebih kecil dari usia Lily saat ini."

Mendengar menjelasan ayahnya membuat James menitikan air mata. Lily saja sering menangis jika ditinggal Mommy-nya sebentar. "Dad," James masih terisak. "Maafkan aku karena aku sering nakal. Aku tidak mau kehilangan Daddy dan Mommy, Al, Lily dan Teddy juga. Aku sayang kalian."

"Kalau kau sayang kami semua, kau harus cepat sembuh ," Harry mencolek hidung James.

"Dad, kalau aku sudah sembuh, aku ingin jalan-jalan dan berkemah bersama. Daddy kan sekarang ini selalu sibuk. Aku ingin menghabiskan waktu bersama. Aku mau berkemah seperti anak pramuka," James membayangkan hal menyenangkan dibenaknya.

"Baiklah, jika kau sembuh kita semua akan berkemah," janji Harry. "Sekarang kamu tidur ya. Ingat, kau harus segera sembuh."

James mengangguk dan tertidur dalam pelukan Harry.

***

TBC



DerelictWhere stories live. Discover now