[6]-Kompetensi

160 24 10
                                    

Di dalam ruangan Kepala sekolah, Fathan dibawa oleh kumpulan Mahasiswa itu. Tenaganya cukup terkuras setiap kali memberontak hendak kabur. Namun seperti dikepung dari segala sisi, ia tidak bisa lari ke mana-mana. Tidak mendapat celah untuk meninggalkan ruangan ini. Lagi. Dan kali ini, setelah semuanya diperintah masuk kembali ke kamar masing-masing—karena sudah malam—Fathan ditikam dengan tatapan marah dari Ustad Fahrur.

"Kamu buat Aqeel menangis?"

Fathan menggeleng.

"Kamu bohong sama Kakek?"

Fathan kembali menggeleng.

"Lalu kenapa Aqeel menangis?" tanya Ustad Fahrur.

Fathan berpikir sejenak. Fathan sendiri masih bingung hal apa yang membuat Aqeel, Mm ... Qeela, karena perempuan itu mengatakan identitas sebenarnya setelah ditegur oleh perempuan asing tadi.

"E, Kek, Aqeel nangis karena ...." Suara Fathan menggantung di udara. Ustad Fahrurrozie menanti lanjutan kalimat Fathan.

"Karena dia nggak mau menikah sama Fathan." Fathan menyunggingkan senyum di akhir kalimatnya.

Sungguh hal itu tidak lucu. Tentu saja membuat Ustad Fahrur merasa curiga dengan perkataan Fathan barusan.

"Dia bukannya tidak mau menikah dengan kamu, Fathan. Dia pasti sangat kecewa karena calon suaminya tidak bisa jadi imam yang baik." Sstad Fahrur mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada penyangga kursi. Wajahnya tampak berpikir keras.

Sementara itu wajah Fathan sudah melongo. Tidak teritama dikatai—tidak bisa jadi imam yang baik—oleh Kakeknya sendiri. "Saya bisa Kek!" Fathan setengah menggebrak meja di depannya.

Membuat pita sambungan data yang dikelola otak Ustad Fahrur membuyar seketika itu juga. Ustad Fahrur menyipitkan matanya. "Kamu yakin? Atau ini hanya pembelaan harga diri?" tanya Ustad Fahrur.

"Saya bisa buktiin ke Kakek kalau saya layak jadi imam yang baik!" tegas Fathan. Deru nafasnya mulai tidak beraturan. Ketika seseorang berada dalam kondisi emosional biasanya, keputusan atau lontaran kata yang dikeluarkan bukan hal bijak yang dipikirkan secara matang. Seperti Fathan yang saat ini tidak sadar dengan ucapannya.

Ustad Fahrur dalam kediamannya, mengulum senyum sembari mengepalkan tangan. Berhasil. Fathan masuk kedalam strateginya.

***

"Dari awal kenapa gue nggak sadar kalau Kak Aqeel itu sebenernya elo!" Bia menyurukkan baju-bajunya ke dalam koper. Meski ia tahu sendiri kalau sore tadi ia baru saja selesai menata baju-bajunya.

Lisa dan Oliv yang baru saja kembali dari masjid memilih menghindari pertengkaran antara Bia dan Aqeel. Mereka berdua menyingkir ke altar kamar. Masih sambil memeluk mukena dan al-qur'annya masing-masing.

"Bi ... please, maafin gue. Gue nggak ada maksud buat bohongin lo." Qeela menggelantungkan tangannya dilingkar lengan Bia. Namun Bia segera menghempas tangan Qeela. Hingga pegangan itu terlepas.

"Gue kecewa sama lo!"

"Tapi gue minta maaf. Lo maukan maafin gue?" Qeela merapatkan kedua tangannya.

Hal itu tidak membuat Bia goyah. Bia justru menggelengkan kepala. "Gue, gak bisa. Lo harus bayar semua kekacauan yang lo buat ini Qeel."

"Lo kenapa sih nggak mau dengerin gue dulu?" Qeela kehilangan kesabaran. Dicekalnya lengan Bia sebelum perempuan itu benar-benar meleos pergi.

Bia menatap cengkraman tangannya. "Lepas!"

"Lo nggak mau jadi temen gue lagi?" Qeela menunjukkan wajah murungnya agar Bia tidak marah lagi. Namun Bia tetap tidak luluh.

Twins (Who Are You?)✔Where stories live. Discover now