[8]-14 min 1

146 22 38
                                    


Bia merasakan telinga kanannya terasa panas akibat jeweran tiba-tiba yang dilakukan oleh Bunda Qeela. Nasib tidak sadar sekitar. Lupa kalau Bunda Qeela masih ada di pesantren. Karena ulah Bunda Qeela, sebagain orang semakin penasaran pada meja mereka yang tidak pernah sepi. Yang lainnya hanya melirik singkat. Meneruskan acara makan mereka di siang hari.

"Tante jahat banget sih," gerutu Bia sambil mengusap-usap telinganya.

Hal itu membuat Fathan menahan gelak tawa di tempat duduknya. Beda dengan Qeela yang merasa bersalah dan kasihan pada Bia.

"Biarin. Kalau kamu jahatin mantu Tante, Tante nggak akan segan jahatin kamu," kata Bunda Qeela membela diri.

Bia mengerucutkan bibirnya kesal.

"Sabar Bi, maafin Bunda gue ya." Qeela meraih lengan Bia agar duduk di sampingnya. Mengisi satu bangku yang lain, yang semula di tempati oleh Renaldi.

"Bunda kenapa belum pulang?" tanya Qeela.

Bunda Qeela tidak langsung menjawab kini terlihat sibuk mengaduk isi tasnya. Sampai mata Qeela, Fathan, dan Bia terpusat pada sebuah amplop yang dikeluarkan oleh Bunda Qeela.

"Surat perizinan libur selama 3 hari. Kalian harus siapin keperluan buat pulang ke Jakarta nanti malam." Bunda Qeela tersenyum semringah seraya menyerahkan amplop berisi surat itu ke atas meja.

"Pu ... lang pulang betulan Bund?" Qeela hendak memastikan.

"Iya sayang. Masa bercanda," sahut Bunda Qeela.

"Nanti supir pribadi Bunda Fathan yang akan jemput kalian. Bunda harus pulang lebih dulu, karena ada urusan lain. Bunda pulang ya sayang," pamit Bunda Qeela.

Padahal Qeela masih ingin mendengar banyak penjelasan dari Bundanya, tapi Bundanya itu malah terburu-buru untuk pergi setelah sebelumnya sempat mencium kening Qeela dengan cepat.

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka bertiga serentak.

Bia meraih amplop berisi surat perizinan itu dan segera membacanya tanpa ada kalimat yang tertinggal. "Wah, Tante kayaknya serius Qeel. Gimana kalau Tante udah susun banyak persiapan buat perjodohan ... lo?" Suara Bia perlahan mengecil karena perempuan itu terkejut begitu melihat Qeela sedang menatap tajam Fathan.

"Inget ya, Fathan. Gue nggak suka sama lo. Gue cuma nggak mau buat orang tua gue kecewa," peringat Qeela.

Fathan mengaduk teh manisnya dengan sendok. "Gue tau. Lo udah bilang sebanyak 3 kali." Lalu memutar matanya jengah. "Jadi imam yang baik buat lo, itu kecelakaan. Gue nggak sadar sama ucapan gue sendiri. Jadi, semoga lo nggak berharap tinggi-tinggi," ujar Fathan. Pembawaannya yang cuek dan tak pernah ingin kalah saat berbicara itu sukses membuat hidung Qeela mengeluarkan asap.

"Lagipula siapa yang berharap?" cibir Qeela.

"So, guys, bukan waktu yang tepat untuk berantem. Gue nggak akan mihak Qeela lagi." Bia bisa melihat lirikan Qeela yang menusuk bola matanya. Sebelum Sahabatnya itu berpikiran negatif, Bia melanjutkan, "gue ada di pihak lo berdua. Sekarang fokusi tujuan kita bersama buat gagalin perjodohan ini."

Fathan menyeruput teh di depannya. "Kalau gitu, lo ada ide?" tanya Fathan.

Bia menjetikkan jarinya. "Ada!"

Tubuh Fathan yang lemas langsung berubah tegak. Pun, sama halnya dengan Qeela yang awalnya tidak terima Bia memihak pada Fathan ikut penasaran dengan ide yang dimiliki perempuan itu.

Twins (Who Are You?)✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora