Kuntilanak Waria

6.5K 703 49
                                    

Berawal dari obrolan antara dua jomblo di sebuah kafe, menjelang tengah malam. "Dan ... kuntilanak itu jenis kelaminnya apaan?" tanyaku pada Wildan, sahabat yang selalu menemani dalam suka dan duka, tapi ... bohong.

"Ya cewe lah," balasnya ngegas. "Lu tuh tiap hari liat begituan masa gak tau Kuntilanak itu cewek, dodol amat," lanjutnya.

"Ah ... lu yang dodol. Pengetahuan lu tentang dunia perhantuan masih cetek," ejekku.

"Heh ...." Wildan udah siap-siap ngegas, tapi teralihkan oleh kedatangan seorang wanita cantik —pramusaji.

"Udah siap pesan, Mas?" tanya Pramusaji itu dengan senyuman menawan. Sukses membuat Wildan tidak mengedipkan kedua matanya.

"Bentar lagi ada yang ngeces nih," sindirku menganggu lamunannya. "Minta menunya aja dulu, Mbak," sambungku. Pramusaji itu meletakan menu di atas meja, lalu berjalan ke dekat kasir. "Udah woy, diliatin mulu. Mana mau dia sama cowo jarang mandi kaya lo."

"Apa sih, Amirudin! Lu tuh yang jarang mandi. Kebanyakan nongkrong sama Kuntilanak."

Kulanjutkan obrolan yang tadi sempat terpotong. "Ngomong-ngomong soal Kuntilanak. Lu tau gak kalau ada Kuntilanak Waria."

Wildan tertawa kencang saat mendengar ucapanku. "Hahahaha ... ada-ada aja lu, Mir! Mana ada Kuntilanak Waria sih!"

"Lu aja yang gak tau. Mau denger ceritanya, Gak?"

"Seru, Gak?"

"Mayanlah."

"Boleh lah."

*

Saat malam tahun baru, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, aku ke luar rumah. Waktu itu pukul 11 malam. Jalanan sangat ramai dan banyak orang berjalan kaki menuju lapangan tengah kota, karena ada acara musik.

"Nah ... sekolah SMP gw kan deket sama tuh lapangan. Jadi gw parkirin motor di sana. Emang kebetulan jalan depan sekolah gw itu jadi tempat parkir motor," ceritaku.

Berhubung acara didominasi dengan musik dangdut. Aku pun memilih pulang lebih cepat. Sebelum puncak acara. "Pas banget gw ambil motor, eh ada yang manggil dong!" ucapku.

"Bentar-bentar gw haus, pesen makan sama minum dulu," potong Wildan.

"Gw yang ngomong daritadi napa lu yang haus," timpalku, kesal.

Wildan mengangkat tangan, tanda sudah siap memesan makanan. Kali ini yang datang bukan Pramusaji wanita, melainkan pria. Mungkin Pramusaji tadi merasa risih dengan  tatapan liar sahabatku itu.

"Satu Signature Sandwich sama Vanilla Milk Shake," pesanku. Kemudian pramusaji itu menulisnya di secarik kertas. "Lu apaan, Dan?"

"Gw Doubel Shot Espresso."

"Udah itu doang?"

"Ya kan makanannya tinggal minta punya lu," balasnya cengengesan.

"Kebiasaan ... itu aja, Mas." Pramusaji itu pun pergi meninggakan meja kami.

"Arghh ... gara-gara lu sih, Mir. Si Mbak yang tadi jadi ogah ke mari."

"Lah, lu yang melotot terus ngeliatin dia. Ntar copot tuh biji mata."

"Dah sana, lanjut ceritanya."

"Tadi sampe mana, Ya? Gw lupa."

"Ada yang manggil."

"Oh iya. Pas gw deketin motor, tiba-tiba ada yang manggil kaya gini ...."

"Mas, Mas, ehem ...." Aku berusaha menirukan suaranya yang manja. Spontanku menengok ke kanan dan kiri, tapi tidak ada orang. Hanya ada seorang bapak penjaga warung di pinggir jalan. Rasanya tak mungkin dia memanggilku dengan manja.

CERITA AMIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang