Jangan Kau Menabur Garam di Atas Luka

5.6K 640 11
                                    

Sebagai penjual pecel sayur, rutinitasku selalu sama setiap harinya. Sebelum subuh, aku harus menimba air untuk keperluan mandi anak-anak. Kemudian, menyiapkan pakaian mereka dan menulis daftar belanjaan sambil menunggu adzan subuh.

Setelah sholat subuh, aku berangkat ke pasar, untuk membeli bahan dagangan. Berjalan menyelusuri jalan kampung yang berbatu dan licin karena hujan semalam. Udaranya sejuk sekali. Matahari pun baru bangun dari tidurnya.

Aku terus berjalan, hingga ke jalan utama yang beraspal. Lalu berdiri di pinggir jalan, menunggu angkutan umum yang memiliki rute melewati pasar.

Tidak lama kemudian, angkutan umum (angkot) berwarna kuning berhenti di hadapanku. Sepertinya angkotnya baru keluar, soalnya tidak ada penumpang lain di dalam. Aku pun naik dan duduk di dekat jendela yang terbuka.

Kupandangi jalan raya yang masih sepi. Dari jendela, angin mulai bertiup sangat kencang, menandakan laju angkot yang semakin kencang. Kututup jendela, kemudian mengambil catatan belanjaan dari dalam kantong celana. Mengecek satu persatu daftar belanjaan, agar tidak ada yang terlewat.

Tidak ada penumpang lain yang naik, sampaiku tiba di tempat tujuan. Kondisi pasar selalu ramai setiap paginya. Aku berjalan menuju penjual sayur langganan. Serta membeli bahan-bahan untuk membuat sambal kacang dan bakwan. Setelah itu langsung pulang ke rumah.

*

Pukul enam pagi, aku sudah kembali ke rumah. Kedua anakku sudah bersiap-siap berangkat ke sekolah. Anak pertamaku, Rayhan, duduk di kelas tiga SMP. Sedangkan anak kedua, Abdul, baru kelas 4 SD.

Aku memberikan sepotong roti dan segelas susu untuk mereka sarapan. Lalu memberikan uang jajan. Walaupun jumlahnya tidak besar, tapi mereka sama sekali tidak pernah protes.

Aku pergi ke dapur untuk mempersiapkan dagangan. Mulai dari merebus sayuran, menggoreng kacang dan membuat adonan bakwan.

Sebelum berangkat, anak-anak menghampiriku di dapur. Lalu mereka mencium tanganku. Entah kenapa, hari ini aku ingin memeluk mereka.

Kupeluk mereka satu persatu. Nampak sekali wajah mereka heran dengan tingkahku ini. Lalu mengantar mereka sampai ke pintu depan.

Mereka pun pergi, berjalan menjauh dari rumah. Mataku terus tertuju pada mereka, sampai hilang dari pandangan.

Aku duduk di teras dengan pikiran menerawang jauh, membayangkan masa depan anak-anakku. Ada perasaan gembira sekaligus cemas, ketika memikirikan Rayhan.

Gembira, karena sebentar lagi dia masuk SMA, berharap nasibnya bisa jauh lebih baik dariku. Cemas, tentang biaya sekolahnya nanti, walaupun ada yang bilang biaya masuknya sudah gratis.

Semenjak kepergian suamiku, setelah lebih dulu menghadap Allah. Aku berusaha banting tulang untuk memenuhi semua kebutuhan anakku. Setiap hari, harus berjualan pecel, keliling dari kampung ke kampung.

Tak terasa butiran hangat mulai jatuh dari sudut mataku, mengingat perjuanganku selama ini. Kuusap air mata, lalu kembali ke dapur.

*

Aku mulai berjualan, mengelilingi kampung. Beberapa orang sudah setia menunggu kehadiranku setiap paginya.

Aku terus berjalan, menjajakan dagangan, sampai di perbatasan kampung. Sebuah jalan raya yang lumayan besar.

"Mbak Sari ... pecel dong," panggil seorang pelanggananku dari sebrang jalan.

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now