Aku Hanya Ingin Sehelai Benang

3.9K 509 10
                                    

"Malam jumat gini, enaknya ngapain ya, Mir?" tanya Hendra.

"Gw tau maksud lu, mending ngerjain tugas trus tidur," balasku.

"Yah ... bentar doang. Nanti gw traktir makan lagi deh."

"Traktir makan? Gw ikut dong," sahut Wildan.

"Beuh, cepet bener lu balesnya, Dan. Yakin lu mau ikut?" ucap Hendra.

"Makan? Hayo!"

"Sebelumnya jalan-jalan dulu ya."

"Ke mana?"

"Ke Rumah Kosong deket sini."

"Ih ... males banget."

"Katanya tadi mau. Lu mau gak, Mir?" tanya Hendra.

"Makananya apa dulu nih?" balasku.

"Hmm ... American Favourite Large gimana?"

"Okelah, dah lama gak makan pizza."

"Lu ikut gak, Dan? Daripada di kosan sendirian."

"Ya udah gw ikut, sekali ini aja ya."

"Nah lumayan ada tumbal," ucapku.

*

Tempat penelusuran kali ini tidak terlalu jauh. Letaknya hanya ada di ujung jalan. Tidak butuh waktu lama, kami bertiga pun sudah sampai.

Sebuah rumah kosong yang tidak terlalu besar. Sebagian atapnya sudah rusak. Kabarnya rumah ini sudah tidak pernah dihuni sejak tahun 90-an. Entah kenapa, sampai sekarang dibiarkan begitu saja. Padahal jika dilihat posisinya di pinggir jalan, harusnya menjadi lokasi yang lumayan strategis.

"Screening, Mir!" Sebelum masuk, Hendra memintaku untuk mengecek makhluk apa aja yang ada di sana.

Aku menutup mata, melihat suasana rumah itu melalui mata batin.

"Kebanyakan cewe alay, malesin banget dah," ucapku ketika melihat banyak Kuntilanak yang menghuni rumah kosong itu.

"Ada Poci sama Genderuwo, standar semua sih, Hen. Gak ada yang aneh-aneh," sambungku.

"Menurut lu standar, Amir!" ucap Wildan ngegas.

"Yuk masuk!"

Seperti biasa, aku harus berjalan paling depan. Setidaknya membuka jalan untuk yang lain. Takut tiba-tiba ada yang muncul mendadak, bisa bahaya di tempat yang agak gelap begini.

Aku masuk ke dalam rumah, sambil menyorot setiap sudut ruangan dengan 'flashlight' ponsel. Mungkin dulunya ruangan ini dipakai untuk ruang tamu. Jelas terlihat dari sisa-sisa sofa yang sudah hancur.

"Engap ya." Hendra mulai merasakan sesak.

"Iya, udah mulai rame soalnya, pada ngeliatin," balasku.

"Dan? Lu kagak ngerasa apa-apa?" tanya Hendra.

"Kagak," sahut Wildan.

Kami bergeser, masuk lebih dalam. Ada dua buah ruangan yang berdempetan.

"Liat sana, Mir!" pinta Hendra.

"Gw mulu." Aku berjalan perlahan, lalu masuk ke dalam ruangan itu. Ruangannya benar-benar kosong. "Sini aja, lebih aman."

Tak lama Hendra dan Wildan ikut masuk ke dalam ruangan. "Beda ya suasananya. Pengapnya langsung ilang, cuman agak panas," ucap Hendra.

"Di luar, lebih banyak Cewe Alay yang nonton. Mereka gak berani masuk sini, soalnya tuh di pojok ada sesepuh," jelasku.

"Sesepuh apaan?" tanya Wildan.

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now