Wanita di Tengah Rel Kereta

3.5K 484 4
                                    

Pukul delapan malam, jadwal terakhir kereta menuju Bandung. Aku masih menunggu, duduk di kursi, di pinggir rel kereta. Kupandangi area di tengah rel kereta. Mataku tiba-tiba terpaku pada tiang listrik di peron tengah.

Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pandangan. Namun seperti ada sesuatu menarikku untuk terus melihat ke sana. Kuambil ponsel dan mulai bermain game. Sesekali melihat ke sana.

Sama-samar, terlihat seorang wanita sedang berdiri di samping tiang listrik. Aku fokus, untuk memastikan apakah itu manusia atau bukan. Ada noda darah di pakaiannya. Semakin lama semakin jelas.

Dia berjalan, mondar-mondir di tengah rel kereta. Tiba-tiba ... kepalanya berputar 180 derajat. Melihat ke arahku. "Duh, kenapa harus ngeliat ke sini sih," pikirku lalu kembali menatap layar ponsel.

Aku bisa merasakan kalau dia mulai mendekat. Dari ekor mata, kulihat dia berdiri. Tak jauh dari tempatku duduk. Kepalanya terkulai ke kiri dengan wajah hancur. Satu kakinya terlihat remuk, hanya tersisa sebagian. Serta gaun putih yang penuh dengan noda darah.

"Kenapa harus pake wujud asli sih," keluhku dalam hati. Sepertinya dia mendengar keluh kesahku itu. Kembali berjalan semakin dekat dengan kaki terpincang-pincang.

"Kamu bisa melihatku?" tanyanya sambil berdiri di hadapanku. Aku berpura-pura tidak mendengar dan melihatnya. Tetap menatap ke layar ponsel. "Apa kamu bisa melihatku?" tanyanya lagi.

Lagi-lagi aku tidak memperdulikannya. Kubuka tas, lalu mengambil ear phone. Kemudian menyandarkan kepala ke tembok di belakang bangku dan mendengarkan lagu sambil menutup mata.

Tiba-tiba, kurasakan hawa dingin di sekitar paha. Rasa dinginnya melekat ke kulit, khas bangsa Kuntilanak. Bau darah menyeruak, menusuk hidung. Lagu rock yang kudengar terasa seperti lagu mellow. Argh ... dia sudah mulai mentransfe perasaannya. Kubuka mata. Terkejut, saat melihatnya sedang berbaring di pangkuan.

"Tuhkan kamu bisa melihatku," ucapnya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Spontanku beranjak dari kursi dan meninggalkannya.

Tak lama kereta yang kutunggu pun datang. Cepat-cepatku naik dan mencari tempat duduk. Penumpang untuk jadwal terakhir tidak terlalu banyak. Kuambil tempat duduk di samping jendela.

"Kenapa kamu pergi?" tanya Wanita itu, yang sudah duduk di sampingku.

"Mbak mending turun, daripada nanti nyasar gak bisa pulang," ucapku melalui batin.

"Aku tidak akan pergi sebelum kamu menolongku." Tangan dinginnya mulai menyentuh tanganku. Gambaran demi gambaran mulai muncul di pikiran.

Wanita itu sedang berjalan, menyusuri rel kereta. Sesekali duduk di bangku, di tengah peron. Dia menunduk dan menangis. Seperti sedang menghadapi masalah pelik. "Aku tak sanggup menafkahi anakku," ucapnya pelan dengan bibir bergetar.

"Terus, ke mana suamimu?" tanyaku.

"Dia pergi dengan wanita lain."

Gambaran berlanjut, dia bangkit dari bangku. Berjalan mendekati rel kereta dengan langkah ragu. Kemudian menutup mata dan berdiri di pinggir rel kereta. Terlihat air mata muali membasahi pipinya.

Beberapa saat kemudian, kereta pun datang. Lalu dia melompat ke tengah rel. Hingga tubuhnya tersambar kereta itu. Mati seketika.

"Kenapa kamu melakukan hal semacam itu?" tanyaku kesal.

"Aku terpaksa. Anakku membutuhkan uang untuk makan dan biaya sekolah. Aku malu, setiap hari harus berhutang. Sampai tidak ada seorang pun yang mau lagi meminjamkan uang."

"Apa dengan melakukan itu, masalahmu langsung selesai? Bahkan sudah mati pun kamu masih tersiksa. Aku saja jijik melihat bentukmu."

"Setidaknya anak-anakku sekarang bisa hidup dengan layak."

"Maksudmu?"

"Salah satu tetanggaku pernah bilang. Jika aku melakukan itu, maka anak-anakku akan mendapatkan uang santunan."

"Dengan polosnya kamu mengikuti ucapannya?"

"Mau bagaimana lagi?"

"Berapa lama anak-anakmu bisa hidup tanpa kehadiran seorang ibu dan ayah? Santunan itu hanya sementara, tapi pandangan buruk orang-orang terhadapmu, akan terus menghantui anak-anakmu kelak."

Wanita itu pun menangis tersedu-sedu. "Lalu aku harus bagaimana?"

"Sekarang lebih baik kamu pergi. Jangan mengikuti dan mengangguku."

"Tapi kamu belum menolongku?"

"Nggak!"

"Tolong sampaikan maaf pada anak-anakku."

"Percuma! Semuanya sudah terlambat. Seharusnya kamu berpikir dua kali sebelum melakukan hal itu."

"Tolong ...."

"Pergi atau aku terpaksa berbuat kasar."

"Dasar manusia jahat!"

"Ih ...." Aku mulai membaca doa. Pelan-pelan kutiupkan padanya yang masih duduk di sampingku.

"Aduh panas tau!"

Dia masih tidak mau pergi. Lalu kutiupkan ke wajahnya yang rusak itu.

"Perih ... ampun," ucapnya seraya terbang ke luar gerbong. Akhirnya aku bisa terbebas dari gangguan wanita jelek itu.

SEKIAN

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now