Empat

450 40 0
                                    

Dua puluh tujuh hari kemudian, Kayla menepati janjinya pada Adrian.

Senja merembang ketika taksi yang ditumpangi gadis itu melewati gerbang kota. Diperhatikannya baik-baik gerbang berbentuk daun tembakau dengan ruas tulang yang lebar, seakan memayungi sisi kiri dan kanan ruas jalan. Sinar berpendar dari sederet lampu yang menghiasi bangunan setinggi dua belas meter itu, menambah aura kemegahannya.

Beberapa perubahan terlihat ketika Kayla melewati jalan-jalan menuju ke rumahnya. Jalanan yang tampak semakin lebar dan tertata, beberapa bangunan yang sudah direnovasi, satu-dua toko lama yang sepertinya tutup atau berganti pemilik. Melewati alun-alun dengan tujuh persimpangan dengan mesjid megah, kantor kabupaten dan bangunan bekas bioskop yang sekarang menjadi toko-toko dan sederetan rumah makan.

Ada perasaan senang yang menyusup dalam benak Kayla. Pulang ke rumah setelah sekian lama mungkin bisa jadi hal yang menyenangkan. Semua hanya masa lalu, kata gadis itu dalam hati.

Selama beberapa menit mobil yang ditumpangi Kayla melewati jalanan lebar, lalu berbelok menyusuri jalan-jalan yang lebih kecil, masuk ke sebuah perumahan, dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah.

Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Kayla turun dari mobil. Selama menunggu sopir taksi menurunkan koper-kopernya dari bagasi, gadis bertubuh langsing itu menatap bangunan berlantai dua di depannya.

Sepertinya tak ada perubahan sama sekali dari rumah di mana dia menjalani masa kecil dan remajanya itu. Warna catnya masih sama; warna putih dengan aksen abu-abu terang pada kusen jendela dan pintu. Halaman kecil di depan rumah ditanami rumput Jepang yang dipotong dengan rapi, sementara pot-pot kecil berisi tanaman dan bunga-bunga berjajar di tepiannya. Sebuah mobil terparkir di garasi bagian luar.

Setelah taksi berlalu, Kayla melangkah kaki memasuki pekarangan.

***

"Kay, Papa mau kasih tahu sesuatu," kata Harry sembari menatap wajah putrinya. Mereka duduk berhadapan, hanya dipisahkan meja makan selebar satu meter.

Kayla mengalihkan wajah dari piring di depannya. "Ya?"

"Papa mengundang orang tua Jonas di pestanya Adrian. Ini keputusan Papa, bukan Adrian."

Kayla diam sesaat. Dalam pesta pernikahan yang sepenuhnya diselenggarakan oleh orang tua pengantin, memilih siapa yang diundang dan siapa yang tidak diundang sepenuhnya menjadi hak mereka. Bibir gadis itu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Kayla ngerti."

Harry mengembuskan napas lega. "Karena mereka tinggal satu kota dengan kita. Kenalan lama. Papa harap kamu nggak masalah. Terus, gimana rencanamu, Kay? Kapan bisa mulai di kantor Papa?"

Adrian yang semula hanya memperhatikan makanannya dan ponsel di tangan, kini ikut mengalihkan tatapan ke arah sang kakak.

Mendadak Kayla menoleh ke arah Adrian, seperti mengingat sesuatu. "Kamu bilang ada sesuatu yang kamu mau kasih tahu. Apa itu?"

Adrian gelagapan. Astaga! Dia sudah lupa bagian ini. "Oh ... Itu ... " Dengan ragu dia memandang Kayla dan Harry bergantian.

"Ada apa?" tanya Harry. Keningnya berlipat, menanti jawaban.

"Begini ... umm ... Bulan depan, Jonas masuk ke tempat kita. Dia gantiin Pak Anwar yang resign."

Hati Kayla mencelus. Harry pun tampak terkejut mendengarnya.

"Apa?" Harry menatap tajam pada Adrian. "Gimana bisa kamu masukin Jonas tanpa konsultasi dulu sama Papa?"

"Kan Papa sudah nyerahin bagian personalia ke Adrian," jawab sang putra dengan nada membela diri. "Seharusnya nggak masalah, kan?"

UNFORGETTABLE THINGSWhere stories live. Discover now