Dua

630 67 1
                                    


Kayla menarik napas panjang dan mengembuskannya sebelum menekan simbol telepon berwarna hijau. "Halo."

"Kayla. Ini Mama."

Suara yang sudah sekian lama tak pernah didengar Kayla. Bukan hanya sekedar tak didengar. Lebih tepat, dihindarinya. "Ya, Ma." Dan jawaban Kayla sudah mirip suara robot.

"Apa kabar, Kay? Kamu baik-baik aja? Sehat?"

"Ya. Kay baik." Nada suara Kayla terdengar statis. Tanpa emosi.

"Adrian sudah ngasih kabar kalau dia mau nikah bulan depan, kan?" tanya Leni, sang ibu. "Kamu sudah terima kartu undangannya?"

"Ya, sudah."

"Kapan kamu pulang? Kamu mau cari gaun di sini atau di sana? Mau Mama temenin nyari?" tanya Leni beruntun.

Kayla menahan napas. Adrian yang suka melemparkan banyak pertanyaan sekaligus jelas mewarisi kebiasaan ibu mereka.

Leni berkata lagi dengan nada cepat, "Mama sudah ada gaun, sih. Apa kamu mau kembaran sama Mama? Nanti Mama minta Tante Sian bikin sesuai ukuranmu. Apa kamu tambah gemuk? Atau tambah kurus?"

Tanpa disadarinya, bibir Kayla mencebik. Bagaimana Tante Sian tahu ukuran tubuhnya? Sudah bertahun-tahun dia tak pernah bertemu dengan tukang jahit langganan ibunya itu.

"Kay nanti cari di sini aja, Ma. Masih sebulan, kan? Masih cukup waktu buat nyari."

"Tapi kalau kita pakai baju kembaran kan, keren. Biasanya keluarga pengantin pakai baju yang sama. Atau, paling nggak bahan dan warna kainnya sama."

Kayla menggeleng, kemudian disadarinya sang ibu tidak akan bisa melihat gerak-geriknya. "Nggak usahlah, Ma. Tadi Adrian juga sudah kasih tahu gaunnya bebas, kok. Warna, model, bahan. Semuanya terserah Kay."

Leni terdiam beberapa saat. "Baiklah. Terserah aja. Yang penting kamu datang di pestanya Adrian. Sudah ambil cuti?"

"Belum."

"Jangan terlalu mepet."

"Ya."

Selama beberapa detik kesunyian melanda di antara sambungan telepon jarak jauh itu. Telinga gadis itu hanya menangkap segala bunyi-bunyian yang terdengar di sekitarnya. Percakapan di antara rekan kerjanya, deringan telepon atau ponsel, dan bunyi ketikan pada papan laptop.

"Sudah ya, Ma?" Akhirnya Kayla memutuskan kecanggungan itu. "Kay harus balik kerja."

Tanpa menunggu jawaban, Kayla menutup ponsel dan menyimpannya ke dalam salah satu saku celana jeans-nya. Setelah mengambil setumpuk dokumen, gadis berkulit putih itu bangkit dan berjalan menuju meja Edwin di tengah ruangan.

***

Kayla membasahi bibirnya yang terasa kering dengan ujung lidah. Diambilnya lip balm warna pink yang selalu dibawanya ke mana pun dan memoleskan pada bibirnya. Setelah memastikan tak ada noda apapun di wajahnya, Kayla menutup cermin kecil dan menyimpannya di dalam tas. Matanya yang besar memandang keluar jendela mobil.

"Kafe di depan itu, Pak." Kayla menunjuk sebuah bangunan berlantai dua dengan latar yang cukup luas.

Sopir mobil menurunkan kecepatan hingga berhenti di depan kafe yang ditunjuk oleh Kayla. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu mengayunkan pintu hingga terbuka dan turun.

Hampir pukul lima sore dan pelataran parkir masih sepi. Hanya ada satu motor besar di sisi lain. Kayla tersenyum menyapa tukang parkir yang biasa berjaga di depan kafe dan ruko-ruko di sekitarnya. Pria setengah baya yang dikenal Kayla dengan nama Pak Noto itu membalas sapaannya dengan mengacungkan jempol.

UNFORGETTABLE THINGSWhere stories live. Discover now