Dua Puluh Dua

329 35 0
                                    

Ketika Kayla masuk ke kantor Harry, dilihatnya Adrian sudah ada di sana. Mereka duduk di sofa berlapis kain biru tua itu dengan wajah tegang.

"Duduk sini, Kay." Harry menunjuk salah satu sofa.

Kayla mendekat dan duduk. Di atas meja di tengah sofa, tergeletak selembar kertas.

Harry menunjuk lembaran kertas itu, meminta Kayla membacanya lebih dulu.

Surat pengunduran diri dari Jonas.

Setelah selesai membaca, Kayla mengembalikan surat itu ke atas meja.

"Kay, Papa mau tanya. Apa semalam ada kejadian sama Jonas?"

Kayla melengak, menatap Adrian sesaat. Dilihatnya anggukan kepala Adrian. Kayla merasa lemas, dia sudah minta Adrian merahasiakan peristiwa itu dari sang ayah untuk melindungi Jonas.

"Bukan aku yang mulai," kata Adrian, seakan tahu apa yang dipikirkan kakaknya.

"Tadi pagi Jonas kemari dengan surat ini. Terus terang, Papa kaget. Lebih kaget lagi mendengar Jonas mengakui sudah melakukan apa ke kamu." Harry menatap putrinya. "Jadi, semalam Jonas mabuk dan memaksa kamu?"

Dengan berat hati Kayla mengaku.

Harry menghela napas. "Karena di sini kamu adalah korban, kamu bisa lapor ke polisi atas perbuatan Jonas tadi malam."

Mata Kayla membelalak. "Polisi?" Suaranya bergetar.

Sang ayah mengangguk. "Jonas nggak akan melawan seandainya kamu lapor ke polisi. Dia mengakui semua kesalahannya, dan dia bersedia bertanggung jawab. Kamu bisa lapor ke polisi dengan tuduhan pelecehan atau perbuatan tidak menyenangkan."

"Nggak perlu, Pa." Kayla menukas cepat. "Apa yang terjadi tadi malam Kayla anggap tidak sengaja. Dia mabuk. Dia bener-bener nggak sadar waktu itu."

"Kamu yakin?" tanya Harry sekali lagi.

Kayla mengangguk. "Kayla nggak akan lapor polisi. Kayla anggap semua sudah selesai tadi malam."

"Baiklah."

Adrian menunjuk surat pengunduran diri itu. "Jadi, ini gimana? Apa perlu diproses?"

Kayla mengangkat sebelah tangannya. "Kalau Kay coba ngobrol sama Jonas dulu, gimana? Boleh?"

Harry dan Adrian saling berpandangan dengan bingung.

"Salah satu alasan yang perlu kita pertimbangkan adalah posisinya sebagai kepala keluarga," kata Kayla. "Memang ada banyak hotel di sini. Tapi nggak semuanya buka lowongan yang sesuai dengan performance Jonas. Apalagi dari standar salary, Hotel S punya standar yang lebih bagus kalau dibandingkan perusahaan sejenis."

Kayla berhenti sejenak, memandang ayah dan adiknya bergantian. "Kayla sudah nggak punya perasaan pribadi ke Jonas. Jadi, ini murni karena pekerjaan."

"Baiklah." Pada akhirnya Harry menyetujui pendapat putri sulungnya itu. "Kamu boleh coba ngobrol dulu sama dia. Barangkali dia mau batalin surat resign-nya ini."

Adrian bangkit dari sofa dan berpamitan. "Adrian muter dulu ya, Pa."

Kayla pun mengikuti Adrian. "Pa, ada yang mau kenalan sama Papa."

Harry mengangguk.

Di luar, Adrian dan Alden saling melemparkan salam. Kayla yang melihat hal itu menegur, "Hei, kalian nggak pernah cerita-cerita ya, kalau sudah kenal?"

Adrian mengedipkan mata, menepuk bahu Alden. "Dia ini anak konglomerat. Sisanya kapan-kapan aja ceritanya ya, Sis ... Atau ... Kamu tanya sendiri, deh."

Adrian melambaikan tangan dan berlalu dari sana.

Kayla menarik lengan Alden. "Ayo masuk. Papa udah nungguin."

***

Vini memandang ruangan sempit itu. Terlalu banyak barang. Jemarinya bergerak menyusuri kotak-kotak kardus dan lemari. Ada lapisan debu yang menempel di sana. Wanita itu menghela napas. Bagaimana mungkin Jonas tahan berada di sini selama berjam-jam? Meskipun itu atas nama pekerjaan sekali pun.

Vini mulai membuka kardus satu persatu dan mengecek isinya. Benda-benda yang sudah terlalu lama dan dipastikan tidak akan pernah terpakai lagi dimasukkannya dalam kantong-kantong terpisah. Sisanya yang sekiranya masih akan dipakai, disimpannya lagi. Dengan begitu dia mulai mengurangi tumpukan barang tidak terpakai di sana.

Ketika selesai dengan satu sudut, Vini memandang ke sekelilingnya dengan puas. Ruangan jadi sedikit lebih lapang. Jonas pasti senang melihatnya.

Vini memandang lemari di sudut ruangan dan mendekat. Kakinya berjinjit dan jemarinya meraba bagian atas lemari. Lapisan debu tebal lagi-lagi menempel di ujung jarinya.

Vini mendongak dan mempertimbangkan menutup bagian atas lemari itu dengan lembaran koran bekas. Hal itu akan memudahkannya membersihkan bagian atas lemari. Tinggal menarik koran yang menjadi penutup, membuangnya, dan menggantinya dengan yang baru.

Wanita itu keluar dari ruangan untuk mencari koran bekas dan kursi kecil sebagai tempat pijakan. Setelah menemukan apa yang dia perlukan, Vini meletakkan bangku kecil itu di depan lemari.

Dia melepas sandal dan naik ke atas bangku. Setelahnya, dia bisa melihat keadaan di atas lemari.

Lapisan tebal debu menutupi bagian atas lemari. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Ada buku tebal yang tergeletak di sana.

Tangannya menggeser buku tebal itu, kemudian mengambilnya. Sebuah Alkitab. Dia bertanya-tanya mengapa ada Alkitab di atas sana.

Leni turun dari bangku dan membuka halaman pertama. Mungkin di sana tercantum nama pemiliknya. Apakah Alkitab itu milik Jonas?

Tak ada nama siapa-siapa yang tertulis di sana sebagai tanda kepemilikan. Ketika dia membalik halaman paling belakang, beberapa lembar kertas terjatuh ke lantai.

Leni berjongkok untuk memungut lembaran-lembaran kertas itu.

Dan disadarinya, kertas-kertas itu bukan kertas biasa, melainkan foto-foto.

Tangannya gemetar ketika melihat siapa yang ada dalam foto-foto itu.

Kayla dan Jonas. Kayla seorang diri. Kayla lagi. Kayla dan Jonas lagi. Kayla dan Jonas lagi ...

Tangan Leni gemetar hebat. Rasa marah menguasai hati dan pikirannya. Jadi, ini yang dilakukan Jonas ketika ada di ruangan ini? Hanya untuk memandang foto-foto Kayla dan dirinya dengan pakaian pengantin?

Rasanya dia ingin muntah. 

UNFORGETTABLE THINGSWhere stories live. Discover now