Tiga

549 50 1
                                    


Tenggorokan Alden terasa tercekat. Ditatapnya Kayla lekat-lekat untuk memastikan gadis itu tidak sedang melemparkan candaan. "Kamu ... Serius?"

Kayla mengangguk.

"Kenapa?"

"Urusan keluarga," jawab gadis itu pendek. Terlihat jelas dia enggan mengatakan apa maksud dari urusan keluarga itu.

Sekelebat pikiran buruk melintas di kepala Alden. "Apa ... umm ... Kamu dijodohkan?"

Pertanyaan bodoh, rutuk Alden dalam hati. Kayla langsung tergelak mendengarnya.

"Wow ..." Kayle menggeleng beberapa kali dengan mulut tersenyum lebar. "Dugaan yang luar biasa, Al."

Alden menyeringai. "Barangkali." Dia mengangkat bahu. "Siapa tahu karena adikmu nikah duluan, orang tuamu nggak bisa nerima kenyataan. Kamu kan anak perempuan, masa dilangkahin adikmu yang cowok. Terus mereka cari-cari deh, siapa perjaka yang mau dinikahkan sama kamu."

Kayla tambah tergelak. "Astaga! Imajinasimu gila, deh! Kenapa kamu nggak jadi penulis aja, sih? Pasti bukumu laris manis dengan pikiran ajaib kayak gitu!"

"Jadi ... Apa itu maksudnya urusan keluarga?" tanya Alden setelah tawa Kayla mereda.

Kayla berdeham. "Begini ... umm ... Papaku minta aku ngurusin bisnis keluarga."

Alden mengembuskan napas lega mendengar jawaban gadis berambut kecoklatan itu. "Oh ... Syukurlah kamu nggak dilamar orang."

"What? Kamu serius punya pikiran kayak gitu?" Mata Kayla membulat. "Kamu pikir ini zaman apa? Siti Nurbaya? Orang tuaku nggak sekolot itu. Aku juga mana mau disuruh-suruh nikah sama orang nggak dikenal." Kayla bergidik, membayangkan dirinya bersanding di pelaminan dengan seorang pria yang sama sekali asing.

Alden menatap Kayla lekat-lekat. Dadanya berdebar keras ketika bertanya, "Kalau aku yang melamarmu, kamu mau?"

Untuk beberapa saat, Kayla merasa telinganya salah mendengar. "Apa?"

"Kalau aku yang melamar kamu, gimana?" ulang Alden. Kini matanya menatap lembut pada seraut wajah oval di hadapannya. Kedua tangannya meraih tangan Kayla di atas meja dan menggenggamnya.

Pipi Kayla merona. Jantungnya berdebar tak karuan. Kepalanya menunduk, menatap kedua tangannya yang kini dilingkupi tangan Alden. Genggaman itu terasa hangat dan menyenangkan.

Namun kehangatan itu seketika lenyap ketika bayangan gaun pengantin teronggok di sudut suatu kamar melintas dalam ingatannya.

Dengan halus Kayla menarik kedua tangannya, melepaskan diri dari genggaman tangan Alden. Tanpa menjawab pertanyaan pria itu, Kayla bangkit. "Sudah malam, besok kita masih kerja. Yuk, pulang."

Alden memperhatikan gerak-gerik Kayla dengan perasaan kecewa. Namun dia tak mengatakan apa-apa. Diikutinya langkah gadis itu menuju ke tempat parkir.

***

Setelah mandi, Alden ke luar kamar. Dia mengempaskan diri di atas sofa di ruang tamu, sementara Jemmy, sepupunya, duduk di bagian sofa yang lain dengan remote televisi di tangannya. Namun alih-alih menonton satu acara, pria yang sedang menyusun tesisnya itu malah berpindah dari satu saluran televisi ke saluran lainnya.

"Kamu mau nonton apaan, sih?" tegur Alden setelah beberapa kali Jemmy berpindah saluran.

"Nggak ada acara yang bagus," gerutu Jemmy. "Mau nonton film juga itu lagi, itu lagi. Ulangan melulu."

UNFORGETTABLE THINGSWhere stories live. Discover now