Dua Puluh Satu

317 30 0
                                    

Dengan susah payah Vini membantu Jonas membersihkan diri, mengganti pakaian, dan naik ke tempat tidur. Setelah suaminya pulas, dia mematikan semua lampu, kecuali satu lampu meja di atas nakas.

Dalam keremangan, Vini menatap wajah suaminya dalam-dalam. Banyak kenangan melintas dalam benaknya.

Saat itu...

Vini mengenal Jonas nyaris separuh umurnya. Jonas yang baik hati, sopan, dan lemah lembut. Jonas yang selalu cerah ceria dan banyak tertawa.

Dia jatuh hati setengah mati pada Jonas yang itu. Gambaran pria yang sempurna di matanya.

Tapi, Jonas tidak jatuh hati padanya.

Jonas hanya jatuh hati pada Kayla.

Kayla, sahabatnya, tapi juga yang diam-diam dibencinya.

Kayla yang diam-diam selalu membuat hatinya dipenuhi kecemburuan.

Kayla punya segalanya.

Kayla kaya-raya, putri pengusaha terkenal di Kota K. Dan di kota sekecil Kota K, semua orang saling tahu siapa yang punya apa, bahkan bisa bergosip berapa banyak harta kekayaan si anu dan si itu.

Kayla selalu memikat dan membuat orang jatuh cinta padanya, meskipun gadis itu masih kalah cantik dari dirinya.

Ketika Jonas dan Kayla menjalin hubungan, dia patah hati. Tapi, apa yang bisa dilakukannya? Bahkan namanya pun mungkin sudah tidak diingat oleh pria itu.

Ketika Kayla lulus kuliah dan memilih bekerja di Jakarta selama dua tahun, Vini melihat kesempatan untuk kembali dekat dengan Jonas. Entah mengapa, pria itu terlihat sangat kesepian. Dia tahu Jonas sangat merindukan Kayla, namun dia harus menunggu hingga gadis itu kembali.

Kesempatan itu tiba ketika secara tak sengaja dia tahu Jonas tidak bisa minum alkohol. Dia selalu mabuk dan meracau tak jelas, meskipun hanya minum sepersekian mili. Dalam keadaan seperti itu, dengan mudah dia bisa mengendalikan Jonas.

Dan Vini pun mengambil resiko itu.

Dia bahkan tak peduli ketika pria itu menggemakan nama Kayla, bukan namanya.

Dia tak peduli ketika pria itu marah, merasa terjebak karena kehamilannya. Dia pikir, apalagi yang bisa dipertaruhkan untuk mendapatkan Jonas?

Dia hanya terlambat menyadari, sejak saat itu, dia sudah kehilangan Jonas yang pernah membuatnya jatuh cinta.

***

Adrian membawa Kayla ke ruangannya di lantai dua. Harry sudah pulang sejak sore, jadi mereka bisa bebas bicara.

Adrian mengulurkan botol air mineral pada Kayla, lalu mengempaskan diri di atas sofa. Diperhatikannya wajah gadis itu yang pucat pasi. Dia masih terguncang dengan apa yang baru saja dialaminya.

"Besok Jonas aku pecat," kata Adrian.

Kayla diam sesaat sebelum menggeleng. "Jangan, Yan."

Dahi Adrian terlipat, menatap kakaknya dengan keheranan. "Kenapa kamu masih belain dia, sih? Kalau tadi aku datang terlambat, bisa saja dia melakukan hal yang lebih jahat daripada sekedar mencium!"

"Jangan, Yan." Kayla memandang adiknya dengan tatapan memohon. "Dia kepala keluarga. Gimana dia mau menanggung keluarganya kalau dia nggak kerja?"

"Cari aja kerjaan di tempat lain!" Adrian mendengkus. "Hotel banyak! Dengan pengalaman kerjanya selama ini, kurasa dia gampang cari kerjaan baru."

"Tapi, kurasa standar penggajian di tempat kita lebih baik daripada di hotel lain."

Adrian tersenyum sinis. "Apa peduli kita? Setelah dua kali dia nyakitin kamu, Kay! Ingat, ya! Dua kali! Masih kurang? Aku rasa kamu juga nggak mau kan, disakiti lagi sama dia?"

Kayla terdiam.

"Ayolah, Kay ... Jangan seperti itu. Atau ..." Adrian menelan ludah, menatap Kayla kelu. " Atau ... Kamu masih cinta padanya?"

Kayla melengak, kemudian cepat-cepat menggeleng. "Nggak! Aku sudah nggak punya perasaan apa-apa sama Jonas."

Adrian tampak lega mendengar jawaban Kayla.

"Aku ... umm ... Sekarang aku berhubungan dengan ... Alden." Semburat merah jambu merona di wajah Kayla.

Mata Adrian membesar. "Alden, tamu kita? Alden yang mau sewa suite room satu tahun itu?"

Kayla mengangguk.

Adrian melonjak senang. Dia bangkit dan memeluk kakaknya erat-erat. "Aku sukaaaaa ..."

Tubuh Kayla sedikit terguncang dengan pelukan Adrian yang tiba-tiba itu. "Hei! Hei! Bisa nggak kamu tenang sedikit? Ini yang pacaran aku atau kamu, sih?"

Adrian melepas pelukannya, merangkum wajah Kayla di kedua tangannya. "Kamu tahu kenapa aku bahagia? Karena cowok itu, Alden!"

"Maksudmu apa, sih?" Kayla melepaskan diri dari pelukan Adrian. "Kamu sudah kenal Alden? Di mana? Kapan?"

Adrian menyeringai lebar, lalu mengangguk. "Pokoknya, aku sudah kenal dia, aku tahu sifatnya, dan aku bisa mempercayainya! Itu cukup, kan?"

"Hei, kamu harus cerita!" Kayla memprotes. "Begitu aja nggak cukup, tahu!"

"Kapan-kapan, deh." Adrian bangkit, meraih tas kerjanya. "Ayo pulang. Aku antar kamu. Mobilmu biar parkir di hotel aja."

Kayla menyerah. Dia akan bertanya lagi kapan-kapan. Dia melangkahkan kaki mengikuti Adrian.

Di pelataran parkir, sebelum membuka pintu, Adrian berpesan. "Kay, ajak Alden ketemu Papa."

***

Tanpa Kayla meminta pun, Alden sudah mengatakan dia akan menemui Harry.

"Kenapa mau ketemu Papa cepat-cepat?" tanya Kayla.

"Aku mau minta izin ke papa kamu, aku mau pacaran sama kamu. Begitu doang." Alden tersenyum. "Papa kamu harus tahu sama siapa sekarang kamu menjalin hubungan. Jadi seandainya terjadi sesuatu sama kamu, misalnya kamu ... umm ... hamil gitu, papa kamu tahu siapa yang bertanggung jawab." Alden menepuk dadanya dengan bangga.

Mata Kayla membeliak. "Apa? Maaf ya, aku tidak semurah itu!"

Melihat Kayla cemberut, Alden semakin bersemangat menggodanya. "Kenapa? Kamu takut aku ngajak kamu kawin? Ayo! Siapa takut!" Pria itu menempelkan ujung hidungnya pada ujung hidung Kayla. "Gimana? Kita kawin, sekarang?"

Kayla mendorong bahu Alden. "Idih ... Nggak asyik banget sih, kamu! Baru pacaran berapa hari udah ngajak kawin. Eh ... Nikah, ya! Bukan kawin!"

"Sama aja!" Alden mendekat lagi, sedikit menunduk, dan tiba-tiba bibirnya sudah menempel di bibir Kayla. Menciumnya lembut dan cepat.

Semburat merah terlihat di pipi Kayla yang putih. Gadis itu menunduk malu.

"Jadi, kapan aku bisa ketemu papa kamu?" tanya Alden.

"Mau sekarang?"

Alden mengangguk. "Boleh, kalau papa kamu punya waktu senggang."

Kayla membuka ponsel dan menekan nomor cepat sang ayah. Dalam hitungan detik, Harry menjawab teleponnya.

Tapi sebelum Kayla sempat mengatakan tujuannya, Harry berkata, "Kay, ada sesuatu. Kamu bisa datang ke kantor Papa sekarang?"

***

UNFORGETTABLE THINGSWhere stories live. Discover now