Enam Belas

267 30 0
                                    

"Kayla, Alden Haryanto itu siapa?" tanya Harry di balik meja kerjanya yang berukuran cukup besar. Dia sedang memeriksa beberapa berkas di dalam map, dan sesekali melirik putri sulungnya yang sedang berdiri menunggu. Pengusaha dengan gaya sederhana itu sudah mendengar dari Adrian tentang seseorang bernama Alden yang bermaksud menyewa salah satu kamar tipe suite untuk satu tahun.

"Teman," jawab Kayla. Kedua tangan gadis itu bertumpu pada tepi meja.

Harry mengambil bolpoin dan mulai mencoret-coret berkas di tangannya. "Teman apa?"

"Hmm ... Ya, teman. Teman aja."

"Bukan pacar?" Harry kembali, dan sekilas matanya menangkap rona merah di pipi sang putri yang kini menunduk. "Papa senang lho, kalau dia ternyata pacarmu. Artinya, kamu sudah bisa melupakan Jonas."

"Kayla memang sudah nggak ada perasaan kok sama Jonas," ucap Kayla cepat.

"Bener?"

"Pastilah, Pa. Kayla nggak mau ngerusak rumah tangga orang lain."

"Bukan ... Maksud Papa, bukan perasaan cinta atau semacamnya." Harry menarik napas dalam dan berkata dengan nada hati-hati, "Sepertinya kamu trauma karena kejadian dengan Jonas. Kamu tahu, Papa khawatir kamu nggak mau punya pacar atau nggak mau nikah karena trauma itu. Sekarang ini pun, Papa masih khawatir karena kalian ada di kantor yang sama."

"Iya, Kayla memang sakit hati sama Jonas." Kayla menarik napas. Mungkin ini pertama kalinya dia bicara dari hati ke hati dengan sang ayah tentang cinta masa lalunya. "Sampai Kay pergi keluar kota selama bertahun-tahun, supaya sakit hati ini sembuh, supaya Kay lupa semua. Tapi itu sudah lewat. Sudah cukup semua yang Kay lakukan buat Jonas dan Vini."

Harry mendongak dengan kening berlipat. "Maksudmu apa? Papa nggak ngerti tentang sudah cukup semua yang kamu lakukan buat Jonas dan Vini." Pria itu menutup map dan meletakkanya di atas meja bersama bolpoin di tangannya. Kemudian lengannya bersedekap di depan dada.

Kayla mengambil tempat duduk di depan meja kerja ayahnya. "Dulu Kay nggak bilang kenapa Kay harus pergi dari Jonas," ucapnya. "Waktu itu Vini sudah hamil. Vini nggak mau berita kehamilannya tersebar kemana-mana dan membuat orang tuanya malu."

Pada waktu itu ...

Kayla sedang ada di kamarnya, sekali lagi menatap gaun pengantin yang akan dikenakannya sepuluh hari lagi. Gaun itu dibungkus plastik bening dan digantung di pengait besi yang menempel di dinding kamar. Model gaun pengantin berwarna putih itu sederhana namun elegan. Panjangnya semata kaki tanpa ekor. Kayla hanya perlu merias rambutnya memakai mahkota bunga dengan warna-warni cerah.

Semua persiapan untuk pernikahannya dengan Jonas sudah selesai. Mereka hanya tinggal menghitung hari.

Pintu diketuk dari luar.

"Non, ada Non Vini." Suara Bik Siti.

"Suruh ke sini aja, Bik."

Sebentar kemudian, pintu kamar Kayla diketuk lagi, lalu terbuka sebelum Kayla sempat mempersilakan tamunya masuk.

Kayla memalingkan wajah dan melihat Vini berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang tak bisa ditebak.

"Hai, Vin. Ayo, masuk." Kayla meraih lengan gadis itu, mendorongnya lembut, kemudian menutup pintu. Dia menarik kursi untuk Vini, lalu duduk bersila di atas tempat tidur. "Ada apa, Vin? Tumben kamu ke sini nggak ngasih kabar duluan."

Vini menatap Kayla, kemudian berkata pelan. "Aku hamil, Kay."

"Ha?" Kayla menutup mulutnya yang setengah terbuka dengan tangan. "Kamu hamil? Serius?"

Gadis itu menatap Vini dengan perasaan tak percaya. Sepengetahuannya, wanita hamil pasti mengalami perubahan bentuk badan. Tapi tak ada ciri-ciri itu pada diri Vini. Gadis itu hanya terlihat sedikit lebih gemuk. Tapi, gemuk bukan berarti hamil, kan? Bisa saja dia sedang doyan makan.

"Aku serius," kata Vini dengan nada tegas. "Aku mau minta tolong ke kamu."

"Minta tolong apa?" Kayla menatap wajah sahabatnya dengan cemas. Apakah Vini akan minta tolong mencari dokter yang mau melakukan aborsi atau obat-obatan untuk menggugurkan kandungannya? Dia mulai ketakutan sendiri dengan pikiran-pikiran itu.

"Aku minta tolong jangan sampai orang lain tahu kalau aku hamil sebelum nikah. Aku nggak mau orang tuaku malu. Aku nggak kepingin orang-orang mengolok-olok anak penatua gereja tapi MBA—married by accident."

Kayla merasa aneh dengan permintaan itu, tapi dia hanya mengiyakan. "Baiklah. Nggak masalah. Kamu tahu kan, kalau aku pinter nyimpen rahasia."

Vini mengangguk.

"Rencanamu apa?"

"Nikah."

"Oh ... Syukurlah bapaknya mau tanggung jawab. Kapan rencananya?"

"Secepatnya, sesudah semua urusan beres."

Kayla mengangguk-angguk mendengar semua jawaban itu. "Semoga semua urusannya lancar ya, Vin. Aku senang pacarmu bertanggung jawab. Dia pasti cowok yang baik."

Vini bangkit dari kursi dan berjalan hendak keluar kamar. Kayla buru-buru turun dari tempat tidur.

Tangan Vini sudah menyentuh gagang pintu, tapi sebelum membukanya, dia berbalik, menatap Kayla yang berada tak jauh darinya. "Kamu nggak tanya siapa bapak dari bayiku, Kay?"

Kayla memandang Vini dengan keheranan. Tapi gadis itu belum sempat mengatakan apa-apa ketika Vini berkata, "Jonas ... Jonas Suryadi Putra. Dia ayah dari bayiku."

Vini tersenyum manis, membuka pintu dan berjalan keluar.

Dalam sepersekian detik dunia Kayla jungkir balik.

Rencana masa depannya bersama lelaki impiannya punah sudah.

Harry mendengar cerita yang dikisahkan Kayla dengan mulut ternganga. Dia memang selalu mengira Jonas lah yang meninggalkan Kayla hingga putrinya itu terpuruk dan memilih pergi. Tapi, dia tak pernah menyangka, Jonas dan Vini punya hubungan cinta di belakang punggung putrinya, jauh sebelum rencana pernikahan itu dibatalkan. Disangkanya Jonas dan Vini bersama setelah berbulan-bulan Kayla pergi.

Pria paruh baya itu menelan ludah yang terasa pahit di lidahnya. Dia tak bisa membayangkan bagaimana putrinya bisa bertahan setelah calon suami dan sahabat yang dipercaya justru mengkhianatinya.

Harry mengepalkan kedua tangannya. Pelan-pelan raut wajahnya mengeras. "Papa ingin Jonas keluar dari sini!"

"Nggak perlu, Pa!" kata Kayla cepat. "Papa nggak perlu khawatir. Kayla baik-baik aja. Kayla dan Jonas hanya sebatas rekan kerja. Kami profesional."

Harry diam, sekali lagi menatap Kayla, kemudian mengangguk. "Baiklah. Papa percaya kamu. Tapi Papa nggak bisa terlalu percaya sama Jonas, meskipun performance dia selama beberapa bulan di sini bagus sekali. Papa sering lihat Jonas diam-diam merhatiin kamu. Sepertinya dia masih sayang sama kamu, Kay. Kamu harus hati-hati."

Kayla mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk punggung tangan Harry yang kini bertumpu di atas meja. "Jangan khawatir, Pa. Kay bisa jaga diri." Lalu dia berdiri, mengambil map berisi berkas yang tadi dicorat-coret oleh Harry. "Ini Kay revisi dulu, ya."

Selepas Kayla keluar dari ruangannya, Harry meraih ponsel dan menekan tombol cepat nomor dua. Nomor anak bungsunya.

"Adrian, bisa ke kantor Papa sebentar? Ada yang mau Papa bicarakan."

***

UNFORGETTABLE THINGSDove le storie prendono vita. Scoprilo ora