_01 Gadis Manis Di Depan Pintu

64 11 0
                                    

Para bandar tengah kelimpungan karena salah satu rekan mereka telah terendus aparat. Demi menyelamatkan diri dan menjaga keamanan komunitas agar tetap berjalan normal, atasan menyuruh semua anggota untuk bersembunyi selagi transaksi dihentikan sementara sampai keadaan memungkinkan.

Tiga orang dari sekian banyak bandar turut kebingungan sampai akhirnya sebuah jalan keluar terlintas, "Di kaki bukit ada mansion kosong, rumornya kadang kala bangunan itu menghilang atau muncul sendiri, hanya segelintir orang yang pernah melihatnya sejauh ini. Kalau kita bersembunyi di sana, kemungkinan besar bisa lolos dari kejaran polisi—"

"Iya, lolos dari kejaran polisi lalu masuk alam baka," potong lelaki yang tengah berbaring di sofa rusak sembari memakan apel. Tubuhnya yang kekar dan besar membuat sofa terlihat hampir ambruk.

"Demi keselamatan, setidaknya menghindari hukuman penjara."

Pria kekar itu berdecak malas, "Jisung, kau tidak memikirkan kira-kira makhluk apa saja yang ada di sana?!"

"Aku tidak takut!" sela Jisung percaya diri.

"Ah, sial! terserah kalian, aku tetap akan pergi ke pelabuhan dini hari. Masa bodoh dengan mansion berhantu, aku lebih baik berlayar setahun penuh sampai pencarian resmi dihentikan," kata si pria kekar, tetap teguh pada pendiriannya, ia adalah seorang pemegang prinsip yang kuat.

"Gudangnya sudah dibobol, atasan memindahkan barang-barangnya lewat jalur laut. Polisi kemungkinan juga berpartroli di perairan sekitar," lelaki yang sedari tadi terdiam di sudut ruangan, mencari posisi ternyaman bermain game ponsel tiba-tiba menimpali seraya ikut duduk di sofa rusak, "Jangan bodoh, Changbin!"

"Kau yang bodoh, bagaimana kalau kalian justru terjebak di mansion misterius itu selamanya? walau aku tak punya kepercayaan, aku tahu dunia gaib itu ada!"

"Tidak ada! sudahlah percaya padaku!" Jisung tersulut emosi, "Kalau aku nekat pergi dan tertangkap, kami pun akan terancam, Changbin!"

"Dasar Changbin penakut," ledek pria yang masih sibuk bermain game.

"Hei Romeo, aku tidak takut ya!"

Minho, nama asli pria yang dipanggilnya Romeo hanya menanggapi dengan tawa kecil. Dia tampan dan mempesona bak malaikat tak bersayap, siapapun tidak pernah menduga kalau dirinya seorang kaki tangan bandar, wajahnya lebih cocok jadi aktor opera ketimbang kriminal.

"Kita berkemas sekarang, jangan buang waktu."

•••

Sepanjang perjalanan menuju mansion tua di kaki perbukitan, hanya ada pepohonan tinggi yang menjulang hingga menutupi cahaya dari langit, kabut juga begitu tebal menimbulkan terbatasnya jarak pandang. Jarang sekali ada rumah, pemukiman terakhir yang mereka lewati jaraknya hampir lima kilometer.

"Tempat yang kita tuju sudah dekat?" Changbin bertanya. Sedari tadi dirinya menyetir mulai terasa pegal, apalagi medan yang terjal, kini sudah keluar dari jalanan beraspal. Memungkinkan sekali kalau tempat seperti ini sangat jarang dikunjungi manusia.

"Harusnya sedikit lagi," balas Jisung sembari menamati kertas lusuh mirip peta kuno, entah dari mana dia dapat benda itu, "Menurut rumor orang-orang yang pernah melihatnya, beberapa meter arah kebalikan dari jalur menuju kamp pendakian."

"Bagaimana kalau kita tidak menemukannya?"

"Sayang sekali kita menemukannya, aku melihat atap kubah kerucut." Minho menyahut dari jok belakang, matanya menyipit ke jendela ketika mendapati bangunan tersebut tampak beberapa kali ketika tak terhalang pepohonan, "Ke arah selatan, Changbin."

Changbin mengikuti arahan tersebut, lewat penglihatan rekan-rekannya, mereka pun berhasil sampai di mansion tua.

Bangunan itu mewah, besar, dan luas, namun bersuasana suram karena berada di tengah-tengah hutan, belum lagi tanaman merambat dan lumut yang menghinggapi tiap dinding, menambah kesan horor.

Ketiganya terdiam memandang bangunan tersebut, sampai akhirnya Changbin berkata, "Kalian yakin?"

"Ya, tak ada pilihan lain." Jisung menyahut percaya diri, ia turun terlebih dulu tanpa keraguan sedikitpun, "Minho, ayo turun membuka gerbangnya."

Keduanya segera membuka gerbang besi berkarat tersebut hingga menimbulkan deritan, sembari menyingkirkan tanaman rambat yang cukup menganggu karena terlalu banyak.

Usai mobil berhasil masuk, mereka mulai menurunkan barang dari bagasi. Kebanyakan bawaan hanyalah makanan untuk persediaan yang entah sampai kapan akan berlangsung, dan beberapa potong pakaian.

"Dulu rumah ini bekas apa?" Changbin bertanya-tanya, matanya mengedar ke seluruh penjuru arah.

Jisung menyahut, "Hanya rumah biasa, tapi karena jauh dari pemukiman ditinggalkan pemiliknya tanpa berhasil terjual."

"Kau yakin?"

"Iya! sudah jangan banyak tanya penakut!"

"Aku bukan penakut, hanya waspada!"

Selagi Minho dan Jisung mengangkuti barang-barang dari bagasi dibawa ke samping rumah dan ditutup terpal rapuh kemudian ditimpa semak berbentuk sulur yang tumbuh banyak sekali di sekitar, Changbin terdiam di depan pintu utama, tingginya tiga meter, lebarnya empat kali lipat orang dewasa. Mansion ini sungguh mewah, harganya bisa miliaran jika berada di pemukiman elit. Sayang sekali kalau bangunan megah seperti ini harus dibiarkan kosong hingga ditutupi tanaman belukar.

Changbin berdecak kagum, sesaat setelah ia ikut turun membantu Minho yang tengah membenahi gerbang. Sulur tanaman tadi dikembalikan seperti semula, agar terlihat seolah rumah ini tak pernah didatangi.

Ketika tak sengaja ia berbalik, di teras mansion, dengan pintu sedikit terbuka, ada sesosok gadis—cantik, pakaiannya bersih dan anggun, dia memakai pita kecil berwarna ungu susu senada dengan gaunnya. Rambutnya hitam legam sepanjang pinggang. Gadis itu tersenyum, sembari melambaikan tangan.

Changbin mengerjapkan mata, berusaha percaya kalau yang dilihat hanya ilusi semata. Namun sosok gadis itu malah menertawakannya.

To be continued...

Days After My Death [] ChangbinWhere stories live. Discover now