_05 Rahasia Gudang Bawah Tanah

30 8 0
                                    

Gemboknya berkarat, keluar bunyi berdecit yang memekakkan telinga ketika ditarik sedikit saja. Jisung berdiri di depan pintu menuju ruang bawah tanah tersebut sembari membawa perkakas. Ia sama sekali tak curiga atau merasa penasaran dengan terkuncinya ruangan itu, keberadaannya di sini untuk membenahi pintu dan membuat tempat persembunyian yang aman ketika ada yang datang.

Walaupun kemungkinan kecil, karena tempat ini sulit diendus aparat, tak memungkiri kedatangan orang-orang berseragam itu bisa terjadi. Ia harus siaga mempersiapkan segalanya untuk keselamatan.

Palu

Obeng

Linggis

Sedikitpun tak berhasil menggerakan pintunya. Justru karena suara gaduh yang ditimbulkan, mendatangkan Minho yang merasa terganggu.

Jisung melirik siapa yang datang mendekatinya, "Kau tahu, gembok berkarat ini sama sekali tidak bergerak."

"Coba dobrak."

Kedua pria itu sudah siaga sembari meremas bahu masing-masing, berusaha melemaskan. Dalam hitungan ketiga, keduanya mengerahkan energi sekuat tenaga hingga akhirnya pintu berhasil di bobol. Gemboknya masih saling terkait, justru pintunya rusak parah akibat diterjang.

Masih ada tangga menuju ke bawah ketika pintu terbuka. Kegelapan yang menguar dari dalam sana membuat kedua pria itu agak ragu melangkahkan kaki semakin turun. Namun, setelah menganggap sejauh ini berada di mansion pun mereka baik-baik saja, keduanya memutuskan masuk tanpa banyak bicara.

Jisung meringis sesaat setelah dirinya menginjak lantai, kakinya tergores sesuatu yang tajam.

Minho menyalakan fitur senter di ponsel, menyorot suasana di dalam ruang bawah tanah yang tak disangka sangat besar tersebut. Sontak keduanya terkejut ketika menyadari apa saja yang ada di sekeliling.

Puluhan, atau mungkin ratusan perabotan kaca dan cermin diletakkan secara berjajar di tempat tersebut, dan paling parahnya, semua sudah pecah, seolah sengaja dilempari hingga hancur.

"Rak kaca di kamarku juga pecah." Jisung bergumam.

"Kaca sekat kamar mandi juga pecah kan," timpal Minho. Mereka saling menatap ketika menyadari kejanggalan tersebut. Kebingungan menerpa keduanya, tapi tak ada jawaban yang bisa didapat.

•••

"Kau menyembunyikan sesuatu?"

"Menurutmu, kenapa kamarku persis seperti kamar pengantin?" Yiseul menyapu pandangan ke sekitar,  "Sudah lama berada di sini, entah sejak kapan, aku kesepian dan impianku adalah menikah. Jujur saja, itu rahasia yang ku sembunyikan."

"Aku menanyakan tentang cermin Yiseul—" ucapan Changbin lekas terpotong oleh perkataan gadis itu.

"Semua cermin itu ku pecahkan, oh, tidak—semua benda yang memantulkan wajah ku pecahkan," ucapnya dengan nada penuh penyesalan, "Melihat pantulan diriku yang sama sekali tidak menua, membuatku khawatir kalau akan berada di sini selamanya sendirian. Ku hancurkan semua cermin di mansion ini ketika marah tak terkendali waktu itu."

Jemarinya meraih gagang laci, menariknya perlahan, hingga terlihat berbagai bentuk cincin, mulai dari yang warna perak, perunggu, hingga emas. Seluruh cincin itu mirip milik pengantin, dengan desain simpel elegan nan bermakna, "Dan kau tahu kan, aku tak bisa keluar dari tempat ini."

Perkataannya membuat si pendengar berpikir keras sembari terdiam memandangi benda bernilai tersebut.

Dirinya mrngambil salah satu yang berwarna perak, memasangkan dengan hati-hati ke jari manisnya, "Kalaupun ada yang mau menikahiku, apakah mungkin mereka bersedia tetap berada di sini untukku."

"Aku kesepian, aku cuma kesepian," ungkapnya sendu, memandang cincin perak yang melingkari jari.

Mendengar semua itu, Changbin merasa terenyuh. Jujur saja ia bukan tipikal seseorang yang mudah terbawa perasaan, namun kali ini kasusnya berbeda, seolah ada yang menariknya untuk bersimpati, "Lain waktu kita coba keluar, setelah keadaanku aman kau boleh ikut."

Yiseul menahan air mata yang ingin mengalir akibat pembicaraan mereka kini, "Bagaimana kalau gagal? kau juga akan... pergi."

"Tidak, aku akan membantumu sampai berhasil."

Ia mengusap pipinya yang mulai basah, "Jangan menjanjikan sesuatu, aku akan tersiksa akibat perkataanmu ini kalau semua tidak berjalan seperti yang bibirmu ucapkan."

"Tidak, ini janji." Changbin berkata penuh kepercayaan diri, "Orang-orang mengenalku sebagai pria berprinsip, janji adalah janji, harus ditepati."

Prinsipnya berlaku untuk siapapun, baik yang bernhyawa maupun tidak.

•••

"Kami menemukan satu fakta." Minho dan Jisung muncul dari arah lain, menghadang Changbin yang baru turun dari lantai atas.

"Seluruh cermin dan benda yang memantulkan bayangkan kita, semuanya pecah. Rongsokan kaca itu banyak sekali di ruang bawah tanah."

"Menurutmu apa kita harus mencari tahu?" Minho mengulum senyum, menganggap hal ini akan seru, "Pemilik rumah ini dulunya mungkin saja penganut sekte tertentu."

Changbin menghela napas, baru saja ia mengetahui langsung alasan cermin-cermin itu hancur, "Rumah ini sudah tua, orang-orang luar yang mungkin saja melakukannya, mengingat cermin itu benda yang tabu untuk makhluk mistis."

"Tumben realistis sekali," goda Jisung.

Changbin menatap kexuanya dengan pandangan serius, "Dengar ya teman-temanku, kita di sini sebagai tamu, selagi tidak terjadi sesuatu, sebaiknya jangan berulah. Pemilik rumah ini bisa mengamuk kapan saja."

"Sekalipun dia sosok yang cantik," sambungnya.

Yiseul tersenyum, ia lega karena Changbin berusaha mencegah teman-temannya yang ingin berbuat tak sopan terhadap rumah ini. Namun, separuh senyumannya mengandung hal lain hingga membuat pipinya terasa panas dan memerah.

"Aku cantik ya?"

Sedetik kemudian wajahnya berubah murung, setetes air mata meluncur di pipinya, "Aku memang cantik."

To be continued...

Days After My Death [] ChangbinWhere stories live. Discover now