_10 Kilasan Masa Lampau 2

26 7 3
                                    

Hino duduk di teras, membawa sekotak permainan kartu remi. Ia melemparkannya pada Sara yang tengah duduk memandang halaman penuh bunga mawar favorit ibu.

Gadis itu terpekik kecil sebelum sadar siapa yang datang.

"Ayo main kartu," kata Hino. Anak itu menumpahkan seisi kotak, membuat teras seketika berantakan penuh mainannya.

Hino mengambil lima kartu, lantas diacak secara terbalik, kemudian menyuruh Sara untuk memilih salah satu.

Sara mengambil satu, menunjukkan gambar raja yang menancapkan pedang pada kepala sendiri. Ia pun menghadapkannya pada Hino, "Apa arti kartu ini?"

"Menurut gambarnya, kau akan mati, kak." Hino terkikik. Jelas ia hanya bercanda—karena sering mendengar pembicaraan kelewatan tentang Sara dari ayah dan ibunya, Hino pun menjadi kasar pada salah satu kakak perempuannya itu.

Sara menggeleng yakin, "Mana mungkin, umurku kan panjang."

"Tapi aku suka melihatmu mati," lagi-lagi Hino terkikik seolah menganggap hal itu lelucon biasa.

"Hino, jangan bercanda," tegur Sara yang dibalas juluran lidah oleh anak kecil tersebut.

Hino menuding tepat di depan wajah kakaknya, "Ibu selalu bilang kau itu bodoh, makanya aku membencimu."

Sara terdiam, ia tahu seluruh anggota keluarga membencinya, bahkan seringkali menyumpahkan kematian, satu orang yang hampir tidak pernah melukai hatinya hanyalah sang kakek, namun jika terjadi sesuatu kakek pun hanya diam menonton dengan pandangan iba. Karena terbiasa diperlakukan tidak adil dan dipenuhi caci maki, Sara menjadi abai akan perkataan orang lain. Selagi dirinya masih bisa hidup, ia akan tetap diam.

"Sara, bisa kita mengobrol sebentar?" panggil Ibu, mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Hanya karena hal sesederhana itu, Sara jadi bersemangat mengikuti kemana arah pergi wanita baya tersebut. sejak dulu, ia punya impian untuk dekat dengan ibu, sama seperti Hara, tapi belum terwujud sama sekali, "Ya ibu."

Ibu duduk di ruang keluarga dekat perapian, telapaknya menepuk ruang kosong tepat disebelahnya, "Berapa usiamu tahun ini?"

"Menuju 20 tahun," dengan semangat Sara duduk di tempat tersebut. Sedekat ini dengan sang ibu, ia sampai bisa mencium aroma parfum mawar yang khas.

"Tepat sekali, di usia yang matang akan lebih baik kalau kau cepat menikah. Ibu ingin sekali segera menimang cucu, tapi Hara belum mau."

Sara terdiam—apakah ia sedang diharapkan untuk segra menikah?

Gadis itu kembali tersadar dari lamunan saat kepalanya diusap penuh kasih—hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, "Apa kau sudah punya keinginan untuk menikah?"

"Tapi bu, belum ada pria yang menyukai apalagi mau menikahiku," elaknya.

"Sejujurnya ada seseorang yang datang melamarmu, melalui kiriman surat. Orang itu anak teman ayah, dia tampan, pandai, kaya, dan yang paling penting sempurna. Menurutmu bagaimana?"

"Tapi aku belum pernah melihat orangnya." Sara hampir tidak berani menggeleng, takut membuat sang ibu kecewa.

"Kau pernah melihatnya saat pesta perayaan di rumah lama kita yang dulu," balas sang ibu meyakinkan. Padahal Sara masih begitu ingat, ketika pesta perayaan itu dimulai, ia dikunci dalam lemari di gudang belakang rumah. Salah satu dari sekian banyak memori menyakitkan yang sulit dihilangkan dari ingatan.

Sara hendak menolak, namun ibu sudah lebih dulu menyela.

"Bagaimana kalau kau menerima ajakannya untuk menikah? hitung-hitung membantu ayah yang sedang kesulitan finansial."

Bibirnya kembali terkatup rapat. Kalau sudah begini, ia bisa apa?

Ibu lantas kembali membujuk,  "Orang itu menjanjikan modal besar kalau kau menerima ajakan pernikahannya."

"Kalau begitu apapun untuk kalian."

•••

Satu minggu pun berlalu, tepatnya kini Sara telah mengganti pakaiannya dengan gaun putih bersih nan berkilauan. Riasan tipis berhasil mempercantik penampilannya, terlebih ditambah tiara kecil, dan bunga-bunga palsu yang menambah kesan anggun.

Semua kesempurnaan itu berkat Hara yang dengan senang hati meriasnya. Hara yang biasanya cuek, dan gemar memarahinya tanpa sebab tiba-tiba bersikap sangat baik. Sara berpikir hal tersebut karena ini hari spesial baginya, maka dari itu semua orang berusaha membuatnya senang.

Setelah riasan selesai, sang nenek pun datang membawakan karangan bunga mawar putih yang dipetik serta dirangai sendiri seindah mungkin. Ia menaruhnya pada genggaman tangan Sara, menatap gadis itu dengan raut bangga. Sara senang sekali, kala ia hanya terbiasa dipandang raut penuh murka, "Nenek, apa ini ide bagus? aku bahkan tidak tahu sama sekali dengan pengantin pria nya."

"Yang jelas orangnya baik, tampan, masih cukup muda. Kau tidak akan kecewa. Bahkan ibumu bilang, kalian saling mengenal."

Sara menghela napas, kepalanya tertoleh menuju halaman depan yang masih kosong, hanya ada dekorasi sederhana yang dibuatkan ayah, "Tapi kenapa tidak ada orang yang datang ke pernikahanku?"

"Calon suamimu itu tertutup, Sara. Terlebih dia orang penting, jadi tidak mau terlalu diekspos. Nanti tamunya hanya sedikit," Nenek menepuk bahu gadis itu seakan bangga, "Terlebih, kalian juga pasangan yang masih terbilang muda."

Ibu muncul dari pintu, memastikan putrinya, "Sara, sudah siap?"

Sara mengangguk, mereka pun segera turun menuju halaman depan rumah yang disulap menjadi altar sederhana penuh bunga mawar putih. Saat melihat rombongan tamu, kurang lebihnya sepuluh orang, Sara mengerutkan kening.

"Kenapa mereka semua berpakaian hitam—dan kalian juga..." perkataannya terputus ketika ia bahka baru menyadari semua orang mengenakan pakaian serba hitam berbentuk seperti jubah.

"Sesuai permintaan keluarga pengantin pria," balas ibu.

Sara berdiri tepat diantara orang berjubah hitam yang kemudian saling manutkan tangan melingkarinya, "Di mana pengantinnya, bu? kenapa hanya ada orang-orang tertutup di sini?"

"Diam Sara, ikuti saja perintah mereka."

Usai mengatakan hal itu, baik ayah, ibu, nenek, Hara, bahkan Hino ikut bergabung dalam rombongan berjubah. Mereka saling menautkan tangan, lantas mengucapakan sesuatu secara serempak.

"Ini bukan pernikahan! kalian berbohong!"

Sara tak ingat apapun setelah hal itu terjadi.

To be continued...

Days After My Death [] ChangbinDove le storie prendono vita. Scoprilo ora