_04 Cermin Pecah

32 7 2
                                    

Tungku api menyala kecil, Minho sangat berhati-hati untuk tidak membiarkan asap lolos ke atas melalui cerobong hingga menimbulkan kecurigaan dari luar. Ubi dan kentang yang terbungkus alumunium foil ditaruhnya diantara kayu-kayu tersebut, lantas dibakar hingga matang.

Makanan yang mereka bawa hanya berupa roti dan umbi-umbian, sangat banyak. Mengingat entah berapa lama mereka akan bertahan di tempat seperti ini. Belum lagi, tak bisa melakukan sembarang aktivitas, mau tak mau hidup serba ada, yang penting bisa makan dan tidak mati cepat.

Menjadi buronan memang buruk, baik di dalam maupun di luar waktu kerja tidak pernah ada sensasi menyenangkan, selalu dikejar waktu dan tidak pernah bebas menghadapi sekeliling. Andai waktu bisa diulang, ketiganya memilih tidak turun ke jaringan dunia gelap seperti ini, karena untuk masuk maupun keluar sama-sama dipersulit.

Changbin turun ke lantai satu ketika Minho memintanya mencari kayu yang bisa dibakar lagi. Mau tak mau ia memotongi meja yang kelihatan masih kokoh, karena hampir tak ada barang lapuk di sini.

Yiseul tiba-tiba muncul dan mengejutkan seperti biasa, "Romeo itu mau memasak apa?"

"Romeo?" tanya Changbin, mulai terbiasa dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

"Kau selalu memanggilnya Romeo 'kan."

"Oh, dia mau membakar ubi dan kentang."

"Aku belum pernah makan kentang," kata gadis itu antusias ingin mencoba.

Changbin melirik ke pintu depan yang terbuka, Jisung sedang berada di luar untuk mengambil peralatan yang masih ada di mobil, "Yiseul, sebaiknya kau pergi ke tempatmu. Mereka akan curiga kalau aku terus berbisik atau berbicara sendiri seperti ini, nanti ku antarkan makanannya."

"Oke, aku akan pergi ke kamarku."

Changbin mengangkat sebelah alis—makhluk itu, si gadis misterius itu punya kamar ternyata, sebenarnya dia ini arwah atau memang masih hidup? ada banyak sekali hal-hal janggal mengenai Yiseul, namun Changbin memilih abai dan tidak terlalu mempedulikannya selagi tidak membahayakan. Lagipula Yiseul kelihatan bersahabat dan menyenangkan.

"Ayo ikuti aku!" Gadis itu bersorak sembari menariknya ke atas.

Lantai paling atas di tangga menuju perpustakaan.

Tidak pernah terduga ketika dinding itu didorong, mirip seperti pintu yang berkamuflase. Di dalamnya, sebuah ruangan bernuansa putih pun terlihat, ada ranjang besar dengan kelambu dan bunga mawar putih mengelilingi. Selain indah, aromanya sangat memikat.

Decakan kagum menjadi respon pertama yang Changbin berikan, setelahnya ia mulai memuja, "Gila! Wow! Tempat ini benar-benar luar biasa, bahkan punya ruangan tersembunyi!"

"Aku belum lama menemukannya, dulu tidak sebagus ini—tidak ada apapun, hanya ruangan kosong. Barang-barangku yang dulu ada di kamar lain ku pindah kemari." Yiseul menggeser buffet kecil disamping ranjangnya, menunjukkan sebuah pintu yang ketika dibuka menampakkan lorong gelap, "Lihat, lorong kecil ini adalah jalan rahasia menuju ruang bawah tanah. Ada lagi lorong di belakang lemari, menuju kebun belakang rumah."

Changbin lagi-lagi berdecak kagum, di dalam ruang rahasia, masih ada lorong rahasia menuju area lain. Sungguh luar biasa, tempat ini dibangun pasti dengan banyak makna. Siapapun pemiliknya, sangat mengedepankan keamanan, andai terjadi sesuatu mereka bisa melalui jalan keluar lain.

Atensinya terlaih ke dinding, tepat pada jajaran potret kuno milik Yiseul. Semua foto tampak dipotret dalam waktu berdekatan, persis dengan usia Yiseul yang sekarang, sekitar sembilan belas atau masuk dua puluhan, "Foto-fotomu ini..."

"Aku menemukannya di ruang bawah tanah," kata gadis itu.

"Kau tetap tidak ingat apapun?"

Kepalanya menggeleng kecil, terpampang ekspresi murung sekilas, namun berusaha dialihkan.

"Sepertinya foto ini sudah lama sekali dicetak, sekitar awal tahun 1900-an mungkin."

Yiseul kembali berusaha mengalihkan pembicaraan yang selalu jadi hal sensitif baginya, "Sudah jangan dilihat terus! sana pergi, nanti bawa makanannya ke sini."

Changbin menghela napas, "Kenapa kau tidak memunculkan diri di depan teman-temanku sekalian, mereka juga bukan orang jahat—maksudku, yah mereka jahat tapi tidak akan menyakitimu kok."

"Tidak mau, aku belum siap."

"Lalu kenapa kau hanya menunjukkan diri padaku, kenapa bukan Minho atau Jisung saja?"

Yiseul terdiam, bola matanya bergulir ke segala arah—kemanapun, asal tak menatap langsung pria di hadapannya, 'Ada yang tidak beres di antara salah satu dari mereka.'

•••

"Dari mana saja kau?"

"Oh, sekarang sudah kebal dan pemberani."

Sesaat setelah Changbin kembali memasuki ruangan sembari membawa tumpukan kayu bekas kaki meja, Minho dan Jisung langsung mencercanya dengan pertanyaan juga cibiran. Jisung tertawa melihat bagaimana Changbin yang sekarang terlihat lebih pemberani, dan bahkan kesana kemari sejak pagi hingga menemukan beberapa ruangan yang menyimpan banyak benda berguna.

Pria itu lekas duduk mendekati sebagian makanan yang sudah matang. Ia pun berdusta, "Aku cuma pergi ke perpustakaan sebentar, kita harus tetap mengawasi keadaan di luar walau kelihatannya masih tenang."

"Aku menemukan tangga menuju ruang bawah tanah, tapi terkunci. Padahal kita bisa menggunakannya untuk sembunyi kalau kalau ada yang datang," kata Jisung.

Minho menimpali, "Oh, aku juga ke sana tadi, gemboknya juga sudah berkarat, mustahil bisa dibuka."

"Sepertinya kita harus segera menemukan ruang persembunyian lain. Polisi bisa datang secara tak terduga."

Changbin tiba-tiba berdiri, padahal belum lama dirinya duduk dan bercengkerama dengan para rekan. Ia juga mengambil beberapa kentang dan ubi.

"Mau kemana kau?"

"Mencari tempat persembunyian," balasnya singkat. Hal itu sering terjadi, sehingga tidak satu pun dari temannya merasa curiga.

Langkah kaki membawanya ke tempat semula, di tangga menuju perpustakaan.

"Yiseul, buka pintunya," jemari Changbin bergerak mengetuk kecil di pintu yang berkamuflase bak dinding.

Yiseul seketika merebut semua yang ada dalam genggaman pria itu, ekspresinya tampak antusias, "Wow! kentang dan ubi!"

"Karena kau sebenarnya tidak makan, aku tidak akan sering membagi makanan. Persediaan kami terbatas." Changbin duduk di ranjang besar berkelambu. Saat melihat bunga mawar di sekeliling, ia merasa sedikit gemetar, belum lagi suasana ruangan ini mengingatkannya pada latar tempat di beberapa film horor favorit Jisung. Walau tak memungkiri, juga serupa dengan kamar pengantin baru yang wangi dan serba putih.

"Tidak masalah, aku cuma mau mencicipi kok."

Makin lama perasaannya jadi aneh ketika duduk di ranjang. Ia pun berpindah mendekati Yiseul yang duduk manis di depan meja rias sembari mengupas ubi. Meja itu terlihat masih bagus, hanya saja kacanya sudah tinggal puing di beberapa bagian, "Aku baru sadar, kenapa semua cermin dan kaca di sini pecah?"

"Mungkin karena sudah terlalu lama."

"Bisa begitu?"

Yiseul mulai tampak gugup, "Entahlah, aku juga tak ingat."

Changbin terdiam sejenak, lantas berkata, "Kau menyembunyikan sesuatu?"

To be continued...

Days After My Death [] ChangbinWhere stories live. Discover now