_02 Son Yiseul

36 8 1
                                    

"Aku melihatnya, sungguh!" Changbin berteriak seraya menuding teras, "Dia ada di depan pintu tadi!"

Minho menghela napas, "Kita akan tinggal di sini untuk waktu yang tidak sebentar, ku harap kau menyamankan diri, Changbin. Makhluk-makhluk seperti itu memang ada, kalau kau melihatnya lagi abaikan saja."

"Bagaimana bisa diabaikan..."

"Seperti apa wujudnya?"

"Can... tik,"

Minho menoleh dengan mata menyipit, tatapannya sinis. Sedetik kemudian dia tertawa meledek, "Baguslah, ku harap hantu di sini cantik semua."

"Aku serius, Romeo."

Masih dengan tawanya yang menyebalkan, Minho menjawab, "Aku juga serius, semoga ada hantu yang punya badan berbentuk gitar spanyol."

"Teman-teman ayo masuk!"

Changbin mengalah, ia dengan sangat berat hati mengikuti teman-temannya melangkah masuk ke bangunan mengerikan tersebut usai menyembunyikan barang-barang mereka termasuk mobil yang ikut ditimpa semak belukar.

Pintu dibuka.

Tampaklah ruangan penuh perabotan mahal yang masih bagus namun berdebu. Semuanya terlihat masih bisa digunakan bahkan lampu juga berpijar terang ketika dinyalakan. Tapi karena mereka tak mau membuat perkara, lampu itu tak akan berguna, tempat ini harus tetap kelihatan mati agar tidak menimbulkan kecurigaan orang yang mungkin berlalu lalang di luar. Walau mustahil ada orang yang datang.

"Orang kaya macam apa yang memiliki rumah semegah ini," gumam jisung, berkeliling kesana-kemari melihat seluruh perabotan yang sudah jelas bermerek.

"Bahkan lantai marmernya mahal bukan main," timpal Minho.

Minho dan Jisung mulai menapak tangga menuju lantai atas, tanpa sepengetahuan Changbin yang sibuk memandang benda-benda unik di dalam almari kaca. Ia membatin, seluruh pernak-pernik di sini semuanya premium, pemiliknya dulu pasti orang kaya raya.

Atensinya teralih ke meja kecil di ujung ruangan, ia mendapati ada pergerakan dari tiga lilin hias yang berjajar rapi di sana. Changbin menyentuh permukaan lilin yang masih terasa hangat seakan belum lama dibakar, keningnya mengerut dalam.

Namun tak berselang lama, sebuah jemari lentik ikut menyentuh lilin tersebut. Changbin menoleh, terkejut setengah mati melihat sosok yang sempat dilihatnya di depan pintu tadi.

"Ini milikku," ujarnya.

Changbin perlahan melangkah mundur menjauh. Meskipun sosoknya cantik ditambah murah senyum dan tidak terlihat berbahaya sama sekali, keberadaannya yang misterius tetap membuat siapapun takut.

"Kau siapa? kenapa datang ke rumahku?"

Keringat dingin bercucuran deras, belum lagi tenaganya yang mulai lenyap secara tiba-tiba, Changbin ingin sekali berteriak memanggil kedua rekannya namun bibir terasa kelu. Sementara gadis itu tampak panik melihat kondisinya.

"Kau sakit?" jemarinya yang pucat dan dingin menyentuh permukaan kulit lelaki itu—dan membuatnya semakin gemetar.

Changbin tak tahan lagi, "Keberadaanmu yang membuatku seperti ini hantu sialan!"

Tiba-tiba saja semuanya gelap, lelaki itu tergeletak tak sadarkan diri membuat si gadis bergaun ungu menangis panik merasa bersalah.

•••

Hal pertama yang dilihatnya saat kelopak mata terbuka adalah wajah khas dari dua rekannya. Satu si pipi gembul dan satunya si tampan bak Romeo.

Jisung mencibir, "Euh, otot saja yang besar, nyali seciut semut."

"Makhluk itu seperti menghisap energiku." Changbin bangkit, meregangkan tubuhnya di atas kasur empuk nan lembut walau agak kotor dan lusuh. Ruangan yang ditempatinya ini masih cukup baik, hanya tinggal merapikan barang yang berserakan dan membersihkan debu akan jadi mewah kembali.

"Jangan berlebihan, aku dan jisung sudah naik turun ke lantai tiga dan tidak menemukan apapun sampai akhirnya menemukanmu tergeletak di ruang tamu." Minho mengejek, "Apa kali ini hantunya tidak cantik?"

Changbin menghela napas, dua orang itu tak kan berhenti mengejek kalau mereka belum merasakannya sendiri, "Diam kalian, biarkan aku istirahat, pergilah!"

"Kau tidak takut kami tinggal sendirian?" tanya Jisung memastikan.

Namun yang terdengar hanya decakan jengkel. Sebelum Changbin makin tersulut emosi, keduanya sudah bersiap di ambang pintu.

"Baiklah, kami pergi." Jisung menyempatkan diri berkata, "Kamarku berhadapan dengan kamar ini, jangan sungkan datang kalau kau takut."

Minho ikut menggoda, "Kamarku di sebelah kiri ruangan ini, kau juga boleh mengetuk tembok kalau takut. Aku akan bersiaga."

Keduanya sudah berlari ke ruangan masing-masing sebelum Changbin bersiap melempar guci keramik di atas meja samping ranjangnya.

Namun belum sampai lima menit berlalu, sudah terdengar lagi suara ketukan. Itu pasti kelakuan kedua rekannya, mereka benar-benar minta dihajar.

"Sudah ku bilang jangan mengganggu, Ji—"

"Ini aku," sela suara perempuan, pintu dibuka perlahan, menampakkan sosok si gadis bergaun ungu, wajahnya tampak murung dan penuh rasa bersalah, "Maaf membuatmu terkejut, kalau kau tidak nyaman aku akan pergi."

Changbin sontak menegang.

"Aku ke sini hanya untuk minta maaf," gadis itu hampir menutup pintunya kembali, sesaat sebelum Changbin menahannya.

"Tunggu."

"Ya?"

Changbin tampak sedikit ragu bertanya, "Ka-kau manusia?"

"Aku manusia, aku abadi. Bukan hantu yang sering kau anggap menakutkan itu," balasnya meyakinkan.

"Tapi kau muncul dan menghilang tiba-tiba," lelaki itu membantah, membeberkan fakta kalau sosok dihadapannya sangat sukar dipastikan jika kebenarannya ialah seorang manusia biasa, "Tempat ini juga kosong sejak dulu, bagaimana kau bisa berkata ini rumahmu, dan satu lagi, kenapa gadis muda sepertimu bisa tinggal di sini, di rumah tengah hutan sendirian?"

Dicecar pertanyaan membuat gadis itu kebingungan, "Aku ini tidak seperti kalian, aku memang manusia tapi aku berbeda. Dan jangan banyak bertanya karena aku sendiri juga tidak tahu jawabannya, bahkan aku lupa sejak kapan berada di sini."

Helaan napas keluar dari bibirnya, tak ingin memperpanjang masalah. Lagipula sosok cantik itu tak kelihatan ingin mengganggunya, "Ya sudah, kalau begitu aku meminta izin untuk menumpang di rumahmu selama beberapa waktu. Kita hidup berdampingan tapi jangan mengganggu apalagi mengejutkanku seperti tadi."

Kepalanya mengangguk patuh, sedetik kemudian terbit senyuman manis menggantikan eskpresi murung yang sebelumnya melekat, "Tapi ada bayarannya."

"Kau meminta sesajen?" Changbin sudah menduga apabila hal itu terjadi.

Namun balasannya seketika membuat lelaki itu  membulatkan mata, ini di luar nalar, "Bukan, aku ingin benda kotak yang bisa menyala seperti milik temanmu di kamar sebelah. Ku perhatikan, dia terus memainkan itu sepertinya seru sekali."

"Maksudmu ponsel?" tanyanya sembari mengeluarkan benda pipih dari saku, sontak perempuan itu mengangguk antusias, secepat kilat merebutnya dari tangan sang pemilik, "Aku hanya punya satu dan ini penting, kau boleh meminjamnya, tapi jika aku sedang perlu harus dikembalikan."

Ia tampak mengabaikan perkataan Changbin, sibuk dengan mainan baru, seperti anak kecil, "Bagaimana cara menyalakan ini yaa.."

"Kau dengar aku?"

"Iya, dengar," masih berusaha menyalakan ponsel.

"Siapa namamu?"

"Son Yiseul, panggil saja Yiseul."

To be continued...

Days After My Death [] ChangbinUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum