Bab 1: LOUDEST CRY

161 19 6
                                    

Kehangatan dari kuah mie yamin akhirnya sampai ke perutku yang keroncongan. Aku menahan lapar sejak pulang sekolah. Tidak ada apa pun yang bisa di makan di rumah. Kak Arun membeli semangkuk mie yamin, lalu kami memakannya berdua. Aku menyukai makan malam bersamanya karena hanya dia yang benar-benar kumiliki dalam hidupku. Jarak usia kami hanya terpaut dua tahun saja.

Malam ini dia kembali bilang kalau aku cantik seperti ibu. Aku bahagia mendengar perkataannya itu. Setidaknya rasa rindu Kak Arun pada ibu bisa terobati dengan melihat wajahku. Aku selalu menikmati saat seperti ini. Duduk di sebelahnya seperti sekarang membuatku merasa aman. Aku bisa mendengar suara tawanya dan menatap wajahnya dari dekat.

"Aku udah kenyang." Kak Arun mendorong mangkuk porselen ke arahku.

"Aku juga kenyang." Aku mendorong mangkuk kembali ke arahnya dan memasang wajah begah. "Kakak aja yang habisin," lanjutku. Padahal, sebenarnya aku masih lapar. Mie yamin yang Kak Arun bawa rasanya enak sekali, tapi aku tidak mau Kak Arun menahan lapar supaya aku merasa kenyang.

"Kita bagi dua, ya." Kak Arun mengambil sendok untuk memotong mie yang sudah hampir habis. Aku tersenyum. Mie bagianku habis dengan cepat. Aku tahu Kak Arun berbohong. Mana mungkin semangkuk mie bisa mengenyangkan perut dua orang yang sama-sama kelaparan.

Suasana menyenangkan itu harus terhenti ketika kami mendengar suara pagar terbuka. Senyum di wajahku mendadak hilang. Buru-buru aku merapikan semua peralatan makan. Aku mencucinya secepat yang kubisa, lalu meletakkannya di tempat pengering. Sambil berbalik, aku mengelap tanganku yang basah ke celana pendek lusuh yang kupakai. Kak Arun menatapku, seperti ada yang ingin dia sampaikan padaku. Namun, aku lebih dulu bersuara.

"Semoga ayah nggak mab ---"

"Sst!" Kak Arun memotong kalimatku. Dia mendorong punggungku pelan supaya aku meninggalkan dapur dan segera masuk ke kamar. Kamar kami bersebelahan dan letaknya tidak jauh dari dapur. Aku mendengar suara mobil ayah terkunci. Tidak lama lagi dia pasti akan masuk. Aku segera menutup pintu kamar. Jantungku berdetak cepat sekali. Perempuan mana lagi yang ayah ajak ke rumah malam ini? Apakah dia mabuk seperti biasanya? Hatiku penuh harap. Semoga ayah pulang dalam keadaan waras.

Setelah kudengar suara pintu kamar Kak Arun tertutup, aku memberanikan diri untuk membuka pintu kamarku. Sedikit saja. Aku hanya ingin sedikit celah untuk bisa mengintip dengan siapa ayah pulang malam ini. Dengan langkah gontai ayah menaiki tangga seorang diri. Tidak ada wanita yang biasanya bergelayut manja di tubuh ayah. Tidak ada suara hak sepatu yang beradu dengan lantai. Aku menutup pintu kamar perlahan, lalu berjongkok sambil menangkupkan kedua telapak tanganku di wajah. Air mataku jatuh. Kejadian selanjutnya sudah bisa kutebak. Pasti tidak jauh berbeda dari malam-malam sebelumnya ketika ayah pulang sendiri dalam keadaan mabuk. Aku berusaha agar suara tangisku tidak terdengar ke kamar Kak Arun.

Dari lantai atas, terdengar suara ayah yang berteriak memanggil Kak Arun. Namun, tidak ada jawaban. Mungkin dia sudah tidur. Tak berapa lama kemudian, suara ayah kembali terdengar dengan intonasi lebih tinggi. Pintu kamar Kak Arun terbuka. Aku berdiri, lalu kembali mengintip dari balik pintu kamarku. Kulihat Kak Arun menaiki anak tangga. Mataku semakin basah.

Aku benci situasi seperti ini. Aku nggak kuat membayangkan apa yang akan terjadi pada Kak Arun selama berada di kamar ayah. Sering kudapati Kak Arun menangis di dalam kamar setelahnya. Sekarang, ingin rasanya aku berlari ke lantai atas untuk menolong Kak Arun. Namun kenyataannya, keberanianku tidak sekuat keinginanku. Aku marah pada diriku sendiri karena tidak bisa menolong Kak Arun saat dia membutuhkan bantuanku. Aku marah karena hanya bisa berdiam diri saja di dalam kamar tanpa melakukan apa pun.

Aku terus menangis dan menangis, sambil memohon dalam hati agar Kak Arun baik-baik saja. Agar tidak terjadi sesuatu yang menyakitkan lagi padanya. Mungkin ayah memang sedang benar-benar membutuhkan bantuan Kak Arun. Mungkin sebentar lagi Kak Arun akan turun. Aku menunggu di balik pintu. Harapanku ternyata tidak terkabul. Tidak ada tanda-tanda kalau Kak Arun sudah kembali ke kamarnya. Pasti ayah melakukannya lagi.

Tiba-tiba terbersit sesuatu di otakku: kakakku satu-satunya tidak boleh terus-menerus disakiti oleh ayah. Malam semakin larut dan aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan niatku. Aku berjalan ke kamar Kak Arun, mengambil ransel sekolah yang sudah lama tidak dipakainya, dan memasukkan pakaian ke dalamnya. Semua barang yang sering dipakainya pun tidak ada yang tertinggal. Aku masukkan semuanya sampai ransel itu terlihat penuh sesak. Sampai tidak ada satu pun tempat yang kosong.

Setelah selesai, aku duduk di ujung tempat tidur sambil menunggu Kak Arun datang. Ransel Kak Arun kuletakkan di dekat kakiku. Aku menyeka mataku dengan punggung tangan serta merapikan rambutku. Aku tidak ingin Kak Arun sedih karena melihatku menangis. Aku hanya boleh membuatnya bangga dan bahagia.

Kuperhatikan seluruh sisi kamarnya. Aku teringat pada setiap peristiwa yang pernah terjadi di kamar ini. Mataku terhenti pada bantal yang tidak pada posisinya. Aku bisa melihat bekas air mata yang mulai mengering di sarungnya. Begitu juga dengan di atas sprei. Pasti dia menangis lagi sebelum naik ke atas.

Lama aku menunggu, akhirnya Kak Arun membuka pintu. Dia terkejut melihatku berada di dalam kamarnya. Tubuhnya yang menggigil hanya terbalut handuk. Rambut panjangnya yang menyentuh punggung masih sangat basah. Kak Arun berdiri di depan pintu. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang.

"Gue sayang lu, Kak," kataku pelan. Suaraku bergetar saat mengatakannya. Dari mana datangnya perkataan itu? Kami jarang mengucapkan kata sayang pada satu sama lain. Sangat jarang. Mungkin bisa dihitung dengan jari berapa kali kami mengucapkannya. Namun, aku tahu kami saling menyayangi. Kami saling melindungi.

Kak Arun masih belum beranjak dari depan pintu. Aku berdiri, lalu membuka lemari pakaiannya. Aku mengambilkan pakaian dalam, kaus yang cukup bagus, celana jins, dan jaket bertudung. Aku sudah menyiapkannya ketika membereskan semua barang-barangnya tadi. Kujejalkan pakaian itu ke tangannya. Dia menerimanya dengan sedikit bingung, tapi tidak mengatakan sepatah kata pun.

"Cepat pakai!" Aku kembali duduk di ujung tempat tidur. Kupalingkan wajah ke arah tembok agar aku tidak melihatnya saat berganti pakaian. Kak Arun mengikuti perkataanku. 

"Lu nggak boleh di sini terus, Kak. Lama-lama lu bisa hamil. Gue nggak mau lu hamil gara-gara ayah." Aku mengerjap beberapa kali, berusaha supaya Kak Arun tidak melihatku menangis. Aku diam sebentar. "Gue sayang lu, Kak. Lu harus pergi," lanjutku. Namun, sekuat apa pun aku menahannya, toh pada akhirnya air mataku jatuh juga. Kak Arun memelukku erat. Malam itu kami menangis bersama sambil berpelukan. 

============================

Akhirnya Stitch Our Scars bisa publish juga. 

Nulis duet ternyata nggak gampang, tapi kami yakin bisa menyelesaikannya. 

Jangan lupa untuk baca versi Arun di akun 

Dan Jangan lupa juga untuk memasukkan SOS ke library kamu, ya.

Terima kasih sudah mau membaca Stitch Our Scars.

Salam 

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora