Bab 3: New Life

94 16 2
                                    

Jam pelajaran masih berlangsung, tapi aku sama sekali tidak tertarik mendengarkan penjelasan guru di depan kelas. Aku duduk di kursi paling belakang. Kursi paling depan sangat kujauhi. Seperti ada yang mengawasi gerak-gerikku jika aku duduk di depan. Kursi di bagian tengah juga tidak menjadi pilihanku karena masih ada orang yang duduk di belakangku. Dari kursi paling belakang, aku bisa memerhatikan semuanya, termasuk memandangi punggung Arsa. Selain itu, aku juga bisa melihat ke luar kelas dari jendela di sampingku.

Telunjukku mengetuk-ngetuk meja pelan. Aku memandangi langit hitam dari balik jendela kelas. Rupanya langit memiliki perasaan yang sama denganku. Sejak Kak Arun pergi tadi subuh, aku merasa ada yang hilang. Aku kangen Kak Arun, tapi aku tidak tahu harus menemuinya di mana. Menahan rindu rasanya berat sekali. Aku terus bertanya-tanya, di mana Kak Arun sekarang? Apa dia baik-baik saja?

Suara bel tanda jam sekolah sudah berakhir mengejutkanku. Aku merapikan semua peralatan belajar dan memasukkannya ke dalam ransel. Aku menunggu semua murid keluar kelas, baru kemudian aku pulang. Berada di keramaian membuatku tidak nyaman. Jadi, begitulah setiap hari aku menyelesaikan aktivitasku di sekolah.

Jarak dari sekolah ke rumah tidak terlalu jauh. Aku biasa berjalan kaki. Ayah juga jarang memberikanku uang lebih untuk naik kendaraan umum. Dapat uang jajan saja aku sudah bersyukur. Kadang kalau hasil rajutan Kak Arun habis terjual, dia suka memberikan uang jajan tambahan untukku.

"Mau pulang bareng, nggak?"

Suara Arsa membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Arsa berada di atas sepedanya. Satu kaki menahan pedal, kaki lainnya menjejak di tanah.

"Nggak, deh. Gue jalan kaki aja," jawabku sambil terus melangkah. Arsa berusaha menyamai langkahku.

"Hari ini lu nggak pake jaket. Berarti semalam aman dong?"

Aku tersenyum tipis. "Semalam kejadiannya beda."

"Apa tuh? Cerita dong." Arsa turun dari sepedanya, lalu berjalan di sampingku.

"Lain kali aja, ya. Plis." Aku memasang tampang memohon padanya. Hatiku masih belum siap untuk menceritakan apa yang terjadi semalam.

"Ya udah kalau gitu. Lu beneran nggak mau gue anterin nih?"

"Iya. Gue mau ke tempat Kak Arun kerja dulu. Lu pulang aja sana. Keburu hujan."

"Oke, deh. Gue duluan. Hati-hati, ya."

Aku mengangguk. Arsa mengayuh sepedanya. Aku memerhatikan punggungnya yang semakin lama semakin menghilang dari pandanganku. Setiap kali berada di dekatnya, aku merasa ada sesuatu yang nggak beres dengan hatiku. Sesuatu yang indah, yang tidak bisa kuungkapkan. Kalau boleh jujur, aku ingin terus berada di dekatnya.

Aku berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan umum yang akan membawaku ke tempat kerja Kak Arun. Butuh waktu setengah jam untuk sampai ke sana. Ketika berada di dalam angkot, aku membuka jendela sedikit lebih lebar. Membiarkan angin menyapa wajahku. Dingin. Semoga hujan turun ketika aku sampai di sana.

Hujan turun ketika aku memasuki sebuah toko yang penuh dengan perlengkapan kerajinan tangan. Ada benang rajut beraneka warna, jarum, pembidang rajutan, dan masih banyak lagi benda-benda lainnya yang tidak aku tahu namanya. Kak Arun bekerja di toko ini dan dia juga sering menitipkan hasil rajutannya. Aku pernah datang ke tempat ini beberapa kali sehingga tata letaknya sudah tidak asing lagi bagiku. Aku melihat-lihat ke sekeliling mencari Kak Dira. Dia pemilik toko ini. Usianya lebih tua dari Kak Arun. Mungkin sekitar 27 atau 28 tahun.

"Hai, Mika," sapa Kak Dira. Dia melambaikan tangan, lalu menghampiriku.

"Hai, Kak Dira."

"Kamu datang sendirian? Arun mana?"

Kak Dira melihat ke kanan dan kiri mencari Kak Arun.

"Kak Arun nggak bisa datang, Kak. Dia dapat beasiswa kuliah di luar kota dan sudah berangkat tadi pagi."

Kak Dira sedikit terkejut karna Kak Arun pergi mendadak dan tidak pamit sama sekali. Belakangan ini toko sedang ramai dan Kak Dira sangat membutuhkan bantuan Kak Arun.

"Bagaimana kalau kamu aja yang gantiin Arun?"

Aku mengerjap.

"Aku, Kak?"

"Iya." Kak Dira mengangguk. Dia menatapku penuh harap.

"Tapi aku kan masih sekolah, Kak. Aku juga nggak tahu apa-apa tentang kerajinan tangan."

"Semua bisa dipelajari."

Kak Dira memberikan kelonggaran jika aku mau bekerja di sana karena aku masih sekolah. Kalau biasanya Kak Arun bekerja sampai jam delapan malam, Kak Dira mengizinkanku untuk bekerja sehabis jam sekolah sampai jam tujuh malam supaya aku masih punya waktu untuk belajar. Setelah dipikir-pikir, tawarannya ada bagusnya juga. Aku bisa punya uang sendiri. Apalagi sekarang sudah tidak ada Kak Arun yang bisa memberikan uang tambahan. Kalau uang hasil kerjaku masih ada sisa, aku bisa menyimpannya untuk biaya kuliahku nanti. Aku ingin jadi penerjemah. Ayah pasti tidak akan mau membiayai kuliahku. Kak Arun saja tidak bisa mewujudkan mimpinya untuk kuliah dan harus bekerja setelah lulus SMA.

Aku menyetujui tawaran Kak Dira. Sambil menunggu hujan reda, aku mempelajari barang-barang yang dijual di toko Kak Dira. Memerhatikan bagaimana cara melayani pembeli dan mengingat beberapa harga barang. Kak Dira juga membelikanku semangkuk bakso. Lumayan. Saat hujan memang paling enak makan makanan berkuah dan hangat. Aku pamit pulang setelah hujan benar-benar reda.

Begitulah hari-hariku setelah Kak Arun pergi. Setelah pulang sekolah, aku langsung mengganti pakaian, kemudian pergi ke toko Kak Dira. Setidaknya itu lebih baik daripada aku berdiam diri saja di rumah. Mungkin aku bisa stres karena rindu pada Kak Arun.

Dua hari setelah Kak Arun pergi, ketika aku baru pulang dari toko Kak Dira, kulihat mobil ayah sudah terparkir di garasi. Tumben banget dia sudah pulang sebelum jam delapan malam. Jantungku berdegup kencang. Apakah ayah sudah tahu kalau Kak Arun kabur? Semoga ayah tidak mabuk dan juga tidak membawa perempuan-perempuan nggak jelas itu ke rumah. Aku memantapkan hati, lalu masuk ke rumah. Ayah sedang menikmati makanannya. Dia tahu aku datang.

"Arun mana? Sudah beberapa hari ayah nggak lihat dia?" tanya ayah.

Syukurlah, ayah pulang dalam keadaan waras. Dia tidak mabuk sama sekali.

"Aku nggak tahu, yah. Beberapa hari ini aku pulang lebih malam dari biasanya."

Aku memberitahu ayah kalau sudah beberapa hari ini aku bekerja paruh waktu. Namun, aku tidak memberitahu kalau aku kerja di tempat Kak Arun dulu pernah bekerja. Responnya sudah bisa ditebak. Dia sangat senang aku bisa menghasilkan uang sendiri, tapi rasa senangnya itu tidak tulus. Karena jika aku bisa mendapatkan uang, otomatis dia akan semakin jarang memberikan uang jajan padaku. Dan sudah pasti uangnya akan dihambur-hamburkannya untuk membeli minuman atau membayar perempuan yang diajaknya ke rumah.

"Masa kamu nggak tahu ke mana kakakmu selama beberapa hari ini?"

"Aku benar-benar nggak tahu, yah."

"Anak kurang ajar! Pasti dia kabur." Ayah memukul meja dengan tangannya yang terkepal.

Aku menyimpan ransel di kamar kemudian kembali ke dapur untuk mengambil air minum. Ayah masih duduk di kursi makan dengan wajah emosi.

"Kita lapor ke polisi aja, yah. Mereka pasti bisa menemukan orang hilang." Kalau ayah berani melakukannya, dia pasti akan masuk penjara dengan tuduhan pemerkosaan terhadap anaknya sendiri. Aku dan Kak Arun akan bebas serta tidak perlu melihat wajahnya lagi. 

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now