Bab 12: PLAY

52 7 0
                                    

 Ponsel di saku celanaku sudah bergetar beberapa kali, tapi aku tidak bisa menerima panggilan telepon karena sedang melayani pembeli. Toko Kak Dira belakangan cukup ramai. Tugasku di toko juga bertambah. Bila sedang tidak ada pembeli, Kak Dira memintaku untuk membungkus manik-manik dalam ukuran kemasan yang lebih kecil.

Ponselku kembali bergetar. Begitu pembeli yang kulayani membayar seluruh belanjaannya, aku langsung mengeluarkan ponsel dari saku celana. Di layar tertera nomor yang tidak aku kenal. Awalnya aku agak ragu untuk menjawab panggilan itu, tapi aku memutuskan untuk menerimanya. Mungkin saja si penelepon ingin menyampaikan kabar penting. Aku mengangkat telepon sambil berjalan menuju tempat yang lebih sepi dan tidak terlihat oleh Kak Dira.

Rupanya Kak Arun yang menelepon. Dia meminjam ponsel Dames. Pantas saja aku tidak kenal nomornya. Aku senang sekali bisa mendengar suara Kak Arun lagi. Hampir saja aku teriak saking senangnya. Setelah menanyakan kabar, Kak Arun memintaku untuk mengirimkan benang rajut yang dia simpan di lemari.

"Kamu punya uang, Mik?"

"Bisalah untuk ngirim sekilo, Kak. Ke mana?"

Kak Arun menyebutkan alamat tempat dia tinggal sekarang. Aku menghafalkan alamat yang disebutkan. Kak Arun juga menceritakan tentang ajakan Dames untuk menyanyi di kafe.

"Hati-hati ya, Kak. Kakak kan orang baru di sana, nggak kenal siapa-siapa."

Aku agak kurang suka dengan ajakan yang Dames berikan pada Kak Arun. Bandung kecil, bisa saja ayah menemukannya saat sedang menyanyi. Kalau sampai ayah menemukannya, sia-sia semua yang sudah kami lakukan.

"Aku cukup kenal Shera, kok." Kak Arun mencoba menenangkanku.

"Gimana dengan cowok itu... siapa namanya?"

"Dames." Suara Kak Arun mengecil. "Yah, aku memang masih hati-hati sama dia. Kelihatannya baik, tapi hidupnya agak mencurigakan."

"Mencurigakan gimana, Kak?" Aku mengecilkan suara. "Aku lagi di toko. Takut Kak Dira dengar."

"Aku nggak pernah lihat dia pergi kerja. Keluar siang sampai malam, main gitar, nyanyi pelan-pelan. Tapi bisa bayar kos. Aneh, nggak?"

Aku terus mendengarkan cerita Kak Arun.

"Penasaran banget sama dia, tapi memang sih itu bukan urusanku."

"Bukan urusan Kakak, betul. Tapi kalau ternyata dia penyalur narkoba atau sejenis - "

"Kalau dia punya narkoba pasti kamarnya dikunci terus."

Aku menyetujui pemikiran Kak Arun, meskipun cerita tentang Dames ini terdengar aneh bagiku. Karena Kak Arun sudah berhenti bercerita, aku memutuskan untuk menceritakan tentang ponsel yang tertinggal di toilet dan kecurigaan Bu Lia pada luka-luka di tubuhku. Kak Arun memberiku semangat untuk tetap bertahan sampai dia datang menjemputku untuk keluar dari rumah. Selesai bercerita, aku pamit untuk kembali bekerja dan berjanji akan mengirimkan benang secepatnya. Aku juga mencatat alamat Kak Arun di buku kecil yang selalu aku masukan di tas.

***

Hari Minggu akhirnya tiba. Aku dan Arsa janji bertemu di taman jam sepuluh pagi. Sebelum berangkat, aku membersihkan rumah terlebih dahulu dan juga membuat sarapan. Bukan sarapan mewah dengan roti bakar dan segelas susu, melainkan nasi dan telur dadar. Hanya dua bahan itu yang ada di dapur saat ini. Oh, ada beberapa bungkus mie instan juga di lemari. Ayah belum memberikan uang lagi untuk membeli semua keperluan di rumah.

Aku juga memasaknya untuk ayah. Entah akan di makan atau tidak, yang penting aku sudah buatkan. Hari Minggu seperti ini, ayah jarang bangun pagi. Mungkin karena sudah capek bekerja sepanjang minggu, jadi dia menggunakan hari libur untuk bangun siang. Setelah selesai memasak dan sarapan aku bersiap-siap untuk bertemu Arsa.

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now