Bab 14: FLEE

54 7 0
                                    

Tante Mira berjalan di belakang Arsa. Begitu melihatku, dia sangat terkejut. Dia menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Sebelumnya Arsa telah menceritakan apa yang terjadi padaku sehingga Arsa sampai meminjam mobil Tante Mira untuk membawaku ke rumah sakit. Tante Mira mengambil kotak P3K untuk mengobati lukaku sebelum mendapatkan penanganan lebih lanjut di rumah sakit.

"Kamu harus ganti baju, Mika. Tidak mungkin kamu pergi ke rumah sakit dengan pakain robek begitu." Tante Mira mengajakku ke kamarnya dan meminjamkan baju yang sedikit longgar untukku. Tante meninggalkanku di kamarnya agar aku dapat mengganti pakaian. Untung saja.... Aku sudah ketakutan kalau Tante Mira akan melihat semua bekas luka di tubuhku. Setelah selesai berganti pakaian, Tante Mira membantu merapikan rambutku yang berantakan tak karuan. Dia mengikatnya menjadi ekor kuda.

Tiba-tiba saja aku teringat ibu. Waktu masih kecil, ibu sering mengikat rambutku dengan berbagai macam model. Kata ibu aku terlihat semakin cantik. Aku rindu ibu. Andai saja ibu masih ada, dia pasti akan menjagaku, tetapi sikap ayah membuatnya pergi dari rumah. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari ayah. Malam ini saja dia sudah menjualku kepada orang menjijikan itu.

"Setelah dari rumah sakit, kamu nginap di sini saja, Mika. Terlalu bahaya jika kamu pulang ke rumah sekarang."

"Terima kasih, Tante."

Aku dan Arsa meninggalkan rumah dan menuju rumah sakit. Aku menyandarkan kepala di kursi sambil menahan sakit yang mulai semakin terasa. Arsa bolak-balik melirik ke arahku. Dia nampak sangat khawatir.

"Mik, lu harus kuat, ya. Sebentar lagi kita sampai, kok."

"Iya, Sa," kataku lemah.

Arsa nampak keren saat sedang menyetir. Ini adalah kali pertama aku berdua dengan Arsa di dalam mobil seperti ini. Dia baru saja mendapatkan SIM. Aku sendiri baru tahu kalau dia bisa menyetir mobil.

"Hati-hati ya, Sa. Nggak usah ngebut-ngebut," kataku mengingatkan.

"Tenang aja. Gue udah professional, kok."

Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya.

"Sa, sebenarnya kita nggak perlu ke rumah sakit. Nanti juga lukanya sembuh sendiri."

Arsa memandangku sebentar kemudia kembali fokus pada jalan di hadapannya.

"Luka lu itu cukup dalam, Mik. Harus dijahit. Kalau dibiarin malah bisa infeksi."

Perkataan Arsa memang ada benarnya. Luka kali ini terasa sakit sekali dan ada banyak darah yang keluar.

"Sa, sebenarnya gue nggak ada uang buat bayar rumah sakit. Kalau gue pake gaji gue, nanti ke depannya gue nggak punya uang lagi. Apalagi dengan kejadian malam ini, ayah pasti marah banget sama gue. Kita pulang aja deh, Sa."

"Pake uang gue aja. Kemaren ada yang baru beli lukisan gue lagi."

"Nanti gue ganti ya, Sa."

"Nggak usah diganti. Kayak sama orang lain aja."

"Nggak apa-apa, Sa. Nanti kalau gue udah ada uang bakal gue ganti uang lu."

"Terserah lu aja deh. Yang penting sekarang kita obtain dulu tangan lu."

"Makasih ya, Sa. Lu udah banyak banget bantuin gue."

"Sama-sama." Arsa tersenyum padaku.

Aku termenung menatap jalan yang kami lewati dari balik jendela. Lampu-lampu jalan menjadi satu-satunya alat penerangan. Malam ini kota Bandung masih ramai. Masih banyak mobil yang melintas. Penjual makanan pun masih ramai pengunjung.

Aku teringat ayah. Aku semakin membencinya. Dia tega sekali menjualku pada Om Tambun demi mendapatkan banyak uang. Kenapa ayah melakukan semua ini padaku? Apa belum cukup aku menjadi sasaran amarah dan keganasannya? Kenapa dia selalu membuatku menderita? Kenapa ayah tidak mati saja? Kalau dia mati, hidupku dan Kak Arun pasti tidak akan susah seperti ini.

Arsa menepuk pundakku lembut. Aku tidak menyadari kalau kami sudah sampai di rumah sakit. Arsa mengajakku turun dari mobil dan masuk ke dalam. Jantungku berdebar. Baru kali ini aku berurusan dengan rumah sakit. Sesakit apa pun pukulan ayah di tubuhku, aku selalu berusaha menahannya dan mengobatinya sendiri.

Kami menunggu tidak terlalu lama sampai aku mendapatkan penanganan. Perban yang dililitkan di tanganku oleh Tante Mira dibuka kemudian lukaku dijahit. Aku tidak kuat melihatnya, jadi kuputuskan untuk mengalihkan pandangannku. Aku terbiasa menahan rasa sakit, tapi tidak untuk kali ini. Untuk pertama kalinya aku merasakan jarum yang menembus kulitku. Arsa berdiri di sampingku dan memerhatikan para tenaga medis yang sedang menangani lukaku. Setelah mendapatkan antibiotik dan penghilang nyeri, kami diperbolehkan pulang. Aku hanya bisa bersandar di jok mobil sambil menahan rasa sakit di tanganku.

Ketika memasuki kompleks perumahan, aku meminta Arsa untuk melintas di depan rumahku. Mobil Om Tambun sudah tidak ada. Berarti dia sudah pulang, tapi aku tidak berani ke rumah sekarang. Bisa saja ayah menungguku dan memukuliku lagi karena menolak permintaannya untuk menemani Om Tambun. Jadi, aku mengikuti usul Tante Mira untuk menginap di rumahnya. Begitu sampai di rumah Arsa, Tante Mira langsung mengantarku ke kamar tamu dan menyuruhku istirahat. Rumah Arsa rasanya nyaman sekali. Tenang. Jarang sekali aku bisa merasakan suasana seperti ini atau malah tidak pernah karena saking jarangnya.

***

Ketika aku keluar kamar, Arsa sudah siap dengan seragam sekolahnya, sementara Tante Mira sudah berangkat ke kantor.

"Sa, gue boleh minta tolong buat anterin gue ke rumah, nggak? Gue mau ambil seragam sama buku pelajaran."

"Nggak usah sekolah dulu aja, Mik. Lu istirahat aja dulu di sini."

"Nggak, Sa. Gue mau sekolah.

"Tangan lu gimana?"

"Gampang ini mah. Bisa gue tutupin pake jaket. Biasanya juga begitu, kan."

"Lu yakin mau sekolah?"

"Iya. Lu mau kan nganterin gue ke rumah. Semoga ayah udah berangkat kerja, jadi gue bisa ambil seragam."

"Oke."

Aku menikmati sarapan yang sudah disiapkan oleh Tante Mira. Meskipun Arsa bukan anak kandungnya, tapi Tante Mira memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Tante Mira yang mencukupi semua kebutuhan Arsa. Tante Mira sendiri memutuskan untuk tidak menikah. Jadi, di rumah ini hanya ada Arsa, Tante Mira, dan asisten rumah tangga. Hidup itu aneh. Aku yang tinggal bersama ayah kandung tidak pernah merasakan hangatnya memiliki keluarga, sementara Arsa yang dibesarkan oleh tantenya dilimpahi dengan kasih sayang dan materi.

Setelah selesai sarapan, Arsa memboncengku menuju rumah. Aku harap-harap cemas. Semoga ayah sudah berangkat kerja. Setelah kejadian tadi malam, aku benar-benar tidak ingin bertemu ayah. Aku benar-benar berharap ayah mati secepatnya, agar dia tidak terus-menerus menyiksaku. Kalau bukan karena ingin menyelesaikan sekolah, aku pasti sudah menyusul Kak Arun.

Mobil ayah sudah tidak ada ketika kami sampai di depan rumah. Ayah sudah berangkat kerja. Rasanya lega sekali mengetahui bahwa ayah tidak ada di rumah. Aku meminta Arsa untuk menungguku di luar. Aku membuka pintu dengan kunci cadangan yang kumiliki. Suasana rumah kacau balau. Botol minuman dan puntung rokok masih berserakan di ruang tamu. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah aku kabur tadi malam. Aku bergegas mengganti pakaian, memakai jaket yang sedikit kebesaran dan mengambil buku pelajaran yang digunakan hari ini. Setelah mengunci pintu, aku menghampiri Arsa. Dia kembali memboncengku sampai sekolah.

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon