Bab 16: MEET AGAIN

52 7 0
                                    


Aku mendekati tempat tidur ayah. Kuperhatikan sejenak wajah lelaki yang sering menyiksaku. Dalam keadaan seperti sekarang, ayah terlihat sangat tampan. Dia tampak gagah. Rambutnya bergelombang, hidung mancung, dan bentuk bibirnya sempurna. Pastas saja banyak wanita yang terpikat padanya, termasuk ibu. Namun sayang, hatinya iblis. Sejenak aku merasa kasihan melihat ayah, tapi ada suara lain dalam hatiku yang merasa puas karena ayah terbaring lemah tak berdaya. Mungkin sebentar lagi dia akan mati.

"Sa, gue mau keluar sebentar. Gue belum kasih tahu Kak Arun kalau ayah di rawat."

"Gue ikut keluar juga, deh."

Kami berjalan bersisian dan duduk di kursi tunggu. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Untung saja aku sudah mengisi pulsa, walaupun tidak banyak. Jariku dengan cepat mencari nomor Kak Arun di daftar kontak, kemudian aku melakukan panggilan. Tak berapa lama, Kak Arun mengangkat panggilanku.

"Mika?"

"Kak, Ayah masuk rumah sakit. Aku di IGD sama teman."

"Rumah sakit?"Kak Arun diam sejenak. "Kenapa? Rumah sakit mana?" lanjutnya kemudian.

Aku menyebutkan nama rumah sakit tempat ayah di rawat dan memintanya untuk datang secepat mungkin. Aku tidak bisa menceritakan semuanya di telpon karena pulsaku hanya sedikit.

"Aku segera datang. Tapi harus pulang dulu."

"Pulang dulu? Emang lu dari mana, Kak?"

"Nanti aku ceritakan. Dan... jangan kaget lihat keadaanku, Mik. Aku baik-baik aja. Aku juga akan ajak Dames."

"Oke, Kak. Hati-hati di jalan, ya."

Aku mematikan panggilan dan menyimpan ponsel ke dalam tas. Aku menoleh ke arah Arsa yang dari tadi duduk di sebelahku. Hanya dia yang benar-benar aku percaya, selain Kak Arun.

"Maaf ya, Sa, gue sering banget ngerepotin lu."

Arsa tersenyum padaku. "Santai aja lagi."

"Terima kasih ya, Sa. Lu selalu ada saat gue butuhkan."

"Sama-sama. Gue seneng bisa bantu lu, Mik."

Spontan aku mengecup pipinya. Pipiku rasanya memerah. Karena saking malunya, aku pindah tempat duduk dan membelakanginya.

"Ada yang naksir gue nih kayaknya."

Aku tidak menjawab pernyataannya. Aku hanya diam sambil tersenyum malu-malu. Entah apa yang ada di pikiran Arsa setelah aku mencium pipinya. Dan entah kenapa juga aku mendadak melakukannya.

"Mik, itu Kak Arun datang."

Aku membalikkan badan. Aku langsung berlari begitu melihat Kak Arun. Dia datang bersama seorang pemuda, dan sudah pasti itu Kak Dames. Aku dan Kak Arun berpelukan. Rasanya sudah lama sekali kami tidak bertemu. Kak Arun menangis, aku pun ikut menangis di pundaknya. Dia membelai rambutku. Ada rasa hangat yang menyelinap masuk ke dalam hatiku. Kak Dames melewati kami dan menghampiri Arsa. Mereka saling berkenalan.

Kak Arun menarikku ke bangku lain yang letaknya agak jauh dari Kak Dames dan Arsa. Kami duduk bersisian. Aku perhatikan Kak Arun dari ujung kepala sampai ujung kaki, dia pun melakukan hal yang sama.

"Mana tanganmu yang sakit?" tanya Kak Arun.

Aku menarik lengan jaket sampai ke atas. Kuperlihatkan luka yang masih belum benar-benar sembuh itu. Luka yang cukup panjang dan masih bengkak. Kak Arun meringis.

"Ini kenapa, Mik?"

Aku menceritakan peristiwa malam itu yang menyebabkan tanganku harus dijahit. Aku ceritakan betapa teganya ayah menjualku pada Om Tambun. Kak Arun sangat terkejut mendengar ceritaku. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya berkaca-kaca.

"Kamu di suruh melayani temannya?" Kak Arun mendadak emosi. "Dasar monster keparat!"

"Tapi nggak jadi, Kak. Gue gigit si Om itu. Meski akhirnya dia ambil botol dan tanganku tergores. Tapi, intinya gue selamat." Aku menatap bibir Kak Arun yang sedikit bengkak. "Lu kenapa, Kak? Digigit juga?" Aku menggodanya. "Sama cowok keren tadi?"

"Hush!" Kak Arun menoyor keningku. "Aku hampir diperkosa tadi sore."

Kak Arun menceritakan kejadian buruk yang menimpanya tadi sore. Kini giliranku yang ingin menangis. Aku memeluk Kak Arun sebelum dia selesai bercerita.

"Gue selalu doa supaya ada orang-orang yang jagain lu di sana, Kak. Karena gue jauh. Do ague terjawab. Bukan cuma Kak Dames, tapi lu juga punya Kak Yus." Pelukanku semakin erat.

"Kak Dira cemas sama lu, Kak."

"Aku tahu. Aku udah telpon dia."

"Terus, Arsa tadi hubungi guru BP kami." Aku menatap lantai.

"Kenapa harus hubungi guru?" Kak Arun panik. Aku tahu apa yang dipikirkan Kak Arun. Kami sama-sama tidak mau ada orang lain yang tahu tentang keadaan kami.

"Katanya, gue bisa menderita trauma kalau ini nggak diberesin. Lu juga sama, Kak. Lu trauma, kan?" Kak Arun termenung setelah mendengar perkataanku.

"Aku nggak akan lagi ninggalin kamu, Mik. Mulai hari ini, kita sama-sama ngadepin ayah."

Kak Arun menarik tanganku dan kami kembali berpelukan. Aku menangis di pelukan Kak Arun dan dia balas memelukku erat. Kami akan menghadapi semuanya berdua. Mulai sekarang aku tidak sendiri lagi.

Kak Dames menghampiri kami dan memberitahu kalau Arsa harus pulang. Kami berjalan mendekati Arsa. Kak Arun mengucapkan terima kasih karena telah banyak membantuku. Aku mengantar Arsa sampai ke mobilnya. Aku berdiri di dekat pintu kemudi. Arsa menurunkan kaca jendela.

"Hati-hati, ya. Nggak usah ngebut-ngebut."

"Siap, Bos."

Kami tertawa kecil. Arsa mengulurkan tangannya dan menyentuh puncak kepalaku. Spontan aku mengerutkan badan dan menutup mata.

"Gue nggak akan nyakitin lu, Mik." Arsa mengelus rambutku. Aku merasa lega dan tersenyum padanya.

"Gue balik, ya. Kalau ada apa-apa kasih tahu gue, ya."

Aku mengangguk. Arsa menutup jendela mobil kemudia meninggalkan area rumah sakit. Aku kembali ke IGD. Aku berjalan sambil terus mengingat belaian lembut Arsa. Apa dia juga menyukaiku? Seperti iya.

Kak Dames sedang merayu Kak Arun ketika aku sampai di ruang IGD. Kak Arun tidak sadar kalau aku sudah duduk di dekatnya. Kak Dames yang memberitahunya. Aku melihatnya dengan tatapan menggoda ketika Kak Arun menengok ke arahku. Kak Arun memintaku untuk duduk di dekatnya.

"Kita tidur di mana malam ini?" tanya Kak Arun padaku.

"Harus ada keluarga yang menjaga Ayah. Kalau-kalau dokter ingin ketemu."

"Berarti harus aku. Kamu masih di bawah umur."

"Tapi, gue mau sama lu, Kak. Gue nggak berani sendirian di rumah." Kak Arun memelukku.

"Iya. Kita sama-sama di sini. Tidur gentian, ya. Kamu duluan."

Malam hari seperti sekarang ini, rumah sakit sangat sepi. Sudah tidak ada lagi pasien yang berobat. Paling-paling hanya keluarga pasien yang berada di IGD saja yang ikut beristirahat di ruang tunggu. Aku pindah ke kursi di belakang Kak Dira. Kak Dames meminjamkan jaketnya untuk kupakai sebagai bantal. Jaketnya harum sekali. Aku memejamkan mata sambil mengingat ulang belaian Arsa di puncak kepalaku sampai akhirnya aku terlelap. 

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang