Bab 18: STITCH OUR SCARS

122 10 1
                                    


Kak Dira membawaku keluar ruangan. Dia memeluk pundakku dan menuntunku untuk duduk di kursi tunggu. Aku terus menangis. Rasanya sakit sekali mendengar perkataan Ayah. Aku tidak tahu apakah ibu benar-benar seorang pelacur, tapi rasa kagumku pada ibu mendadak hilang. Tidak ada lagi rasa rindu untuk bertemu. Kalau ibu memang seorang pelacur, berarti ada kemungkinan aku bukan anak ayah. Mungkin itu sebabnya dia selalu memukuliku.

Aku teringat kalimat ayah setiap kali dia memukulku. Ayah tidak suka melihat mukaku. Dengan melihat wajahku, Ayah selalu teringat Ibu yang kabur dengan laki-laki lain. Kak Arun bilang wajahku mirip Ibu. Berarti dengan memukuliku, Ayah bisa meluapkan rasa kesalnya pada ibu. Aku benci dengan wajahku. Kenapa wajahku harus secantik Ibu? Rasa kagumku pada Ibu mendadak hilang.

Aku terus menangis di pelukan Kak Dira. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun dan membiarkan aku menangis sampai puas. Kak Dira memelukku erat seolah-olah aku keluarganya sendiri. Dia baik sekali padaku dan Kak Arun.

Setelah Ayah mendapatkan tindakan, dokter yang menangani Ayah menghampiri kami. Dia bilang kalau Ayah hampir saja terlambat mendapatkan penanganan. Aku sedikit kesal. Kenapa dia tidak mati saja sekalian. Namun, aku hanya memendamnya dalam hati. Sementara Kak Arun kembali berteriak-teriak karena tidak bisa menerima kalau Ayah masih tetap hidup. Kak Dames sampai membekap mulut Kak Arun. Suasana lobby menjadi sedikit gaduh, sampai security datang menegur kami agar bisa tidak membuat keributan.

Tidak lama setelah hari itu, Ayah dirawat di ICU karena pernapasannya memburuk. Kak Arun melaporkan Ayah ke polisi. Dua hari setelahnya, Kak Arun menjalani pemeriksaan untuk mendapatkan bukti-bukti kejahatan Ayah. Polisi bekerja cukup cepat sehingga tidak berapa lama ayah ditetapkan menjadi tersangka. Kamar rawatnya dijaga polisi.

Akhirnya kami bisa pulang. Kak Dira meminta kami menginap di rumahnya karena semua pakaian dan peralatan sekolah ada di rumahnya. Kami tidak pernah menjenguk Ayah lagi. Buat apa juga mengunjungi orang yang jelas-jelas tidak menganggap kami sebagai anaknya.

"Apa yang bakal terjadi pada Ayah, ya?" tanyaku pada Kak Arun. Kami berbaring bersisian menatap langit-langit kamar.

"Pengadilan. Penjara. Maksimal lima tahun."

"Terlalu sebentar," balasku dengan nada kecewa.

"Memang. Aku pingin dia mati saja di sana."

Hujan menemani kami malam ini. Aku suka hujan. Aku suka mencium bau tanah yang terkena air. Hujan biasanya membuat imajinasiku melayang jauh.

"Apa kita anak Ayah?"

Aku terus memikirkan pertanyaan itu.

"Kenapa nanyanya aneh?"

"Yah, bisa saja, kan. Mengingat Ibu ternyata... begitu." AKu tidak sanggup mengatakan kalau Ibu seorang pelacur.

"Kita punya banyak pertanyaan, ya." Kak Arun tidak dapat menjawab pertanyaanku. Dia malah membuat pernyataan baru.

"Aku nggak bisa jawab semua, Mik. Tapi, siapa pun Ayah kita sebenarnya, yang penting Ibu kita satu. Aku diam saja mendengar kalimat Kak Arun. "Kita satu rahim, itu menjadikan kita saudara. Nggak penting siapa yang sumbang sperma," lanjut Kak Arun.

"Benar. Barangkali aja ayah kita sebenarnya jutawan."

"Kamu mulai halu." Kak Arun memencet hidungku.

"Kata Arsa, halu itu boleh. Dia juga suka SuJu, kok. Paling nggak, dia mau belajar menerima SuJu.

"Kok melenceng ke SuJu?" Kak Arun sepertinya bingung dengan perkataanku. 

Aku suka SuJu karena mereka bisa menerima kekurangan satu sama lain. Mereka berasal dari keluarga yang berbeda, tapi mereka seperti saudara. Dengan mendengarkan lagu-lagu SuJu aku bisa memiliki semangat lagi. 

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang