Bab 13: HELP

54 9 2
                                    

Aku berjalan menuju rumah. Dari kejauhan aku melihat ada dua mobil yang terparkir di garasi. Salah satunya milik ayah, satunya lagi pasti milik temannya. Kalau dilihat dari merk mobilnya, harganya jauh lebih mahal dari punya ayah. Malam ini keadaan rumah pasti ramai lagi. Teman-teman ayah memang kadang datang ke rumah. Mereka menghabiskan malam dengan merokok dan mabuk. Kira-kira ada berapa banyak perempuan yang ayah bawa ke rumah? Dua atau tiga?

Rasanya malas sekali untuk masuk ke dalam rumah. Biasanya aku tidak pernah ke mana-mana bila tidak bekerja. Aku memilih mengurung diri di kamar dan mengunci pintu dari dalam. Sampai rasa ingin buang air kecil pun aku tahan agar tidak bertemu mereka. Ayah selalu menyeramkan kalau sedang mabuk. Namun, kali ini aku harus pulang. Semoga ayah dan teman-temannya masih waras ketika aku masuk ke rumah. Aku berdiri sejenak di depan pintu pagar, lalu menyiapkan diri untuk melangkah ke dalam. Setelah benar-benar yakin, baru aku masuk.

Di ruang tamu hanya ada tiga orang, yaitu ayah, perempuan yang bergelayut manja pada ayah, dan Om Ralph. Perempuan itu sudah beberapa kali datang ke rumah, tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kalau dilihat dari bentuk fisiknya, aku bisa bilang sempurna. Namun, aku tetap tidak suka padanya. Dia hanya ingin uang ayah saja. Kalau Om Ralph, dia sangat sering ke rumah. Kurasa hanya dia orang yang mau berteman dengan ayah, tapi menurutku ayah memanfaatkannya. Meskipun wajah Om Ralph menjijikkan, tapi uangnya banyak. Kadang aku memanggilnya Om Tambun. Nama aslinya terlalu bagus untukknya.

Di meja terdapat beberapa botol minuman, gelas, dan asbak rokok. Ayah masih belum mabuk, dan semoga dia akan baik-baik saja sampai aku masuk ke dalam kamar. Aku buru-buru menuju kamar tanpa menyapa mereka terlebih dahulu. Aku ingin secepatnya merasa aman. Belum jauh aku melewati mereka, ayah memanggilku. Aku menengok pada ayah yang sedang membuang abu rokok di asbak.

"Duduk di sini, Mika. Kamu temani Om Ralph."

Temani??? Temani apa maksud ayah???

"Mika mau istirahat, Yah. Besok Mika harus berangkat pagi ke sekolah."

"Sebentar saja, Mika. Tidak akan lama, kok."

Mau sebentar, mau lama, aku tak mau bergabung dengan mereka. Aku harus mencari cara untuk bisa masuk ke kamar.

"Mika mau ke kamar dulu sebentar, Yah."

Ayah berdiri. Aku sudah siap-siap bertahan bila ayah akan memukulku lagi.

"Gue serahin dia sama lu. Terserah mau lu apain. Dia udah lu bayar lunas. Gue tinggal, ya," kata ayah pada Om Ralph.

Ada apa ini? Apa maksudnya dibayar lunas? Ayah menjualku? Aku terus memandangi ayah. Dia menarik tangan perempuan yang tadi bermanja-manja padanya hingga berdiri. Perempuan itu tersenyum angkuh ketika melewatiku.

"Ayah, Mika nggak bisa temanin Om Ralph. Mika mau istirahat," protesku.

Tapi ayah cuek dan terus menaiki tangga menuju kamarnya. Aku membalikkan badan, Om Ralph sedang melepas ikat pinggangnya. Apa yang mau dia lakukan? Kenapa dia melepas ikat pinggangnya. Aku melangkah menuju kamar, tapi Om Ralph berhasil meraih pergelangan tanganku.

"Lepasin, Om!" kataku sedikit kasar. Aku berusaha melepaskan tanganku. Tenaga Om Ralph lebih besar dari tenagaku. Dia menarikku ke sofa.

"Om, lepasin Mika!"

"Kamu milikku malam ini, Mika. Saya sudah bayar mahal pada ayahmu."

Ayah benar-benar jahat. Dia tega menjualku demi mendapatkan banyak uang.

"Mika nggak bisa temani Om malam ini."

Aku berusaha kabur. Dengan cepat tangan Om Ralph menarik bajuku hingga sobek. Pakaian dalamku sedikit terlihat. Tasku terjatuh di lantai. Om Ralph mendorongku hingga terjatuh di sofa. Dia berdiri tepat di depanku dan berusaha membuka pakaianku. Aku berontak. Dengan tubuhnya yang gendut, dia agak sedikit kewalahan dengan gerakanku yang terus mencoba melawan. Aku terus mencari alasan supaya dia melepaskanku. Mataku mencari celah agar aku bisa kabur.

Tiba-tiba dia memegangi kedua tanganku, hingga aku terbaring di sofa. Jantungku berdetak tak karuan. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Lipatan di lehernya membuatku semakin jijik padanya. Om Ralph berusaha mendaratkan bibirnya di pipiku. Seketika air mataku mengalir. Aku meronta-ronta agar dapat kabur, tapi tidak berhasil. Perut besarnya membuatku semakin susah bergerak.

"Ayah... tolong Mika...!!!"

Untuk pertama kalinya aku meminta pertolongan ayah. Berulang kali aku minta tolong, tapi ayah tidak turun menolongku. Kuputuskan untuk berteriak sekali lagi, tapi tetap tidak ada jawaban. Aku benar-benar benci ayah.

"Ayahmu tidak akan menolongmu, Mika. Kamu dengar sendiri tadi, aku bebas mau melakukan apa pun padamu."

Aku menatapnya tajam. Bukannya takut, dia semakin bergairah. Otakku terus berputar. Begitu Om Ralph mencium bibirku, aku menggigit bibirnya yang tebal itu sekuat mungkin. Aku gigit dengan penuh kebencian dan amarah hingga aku merasakan ada rasa asin di mulutku. Darah keluar dari bibirnya. Om Ralph memukuli pipiku dan menjambak rambutku karena kesakitan. Aku melepaskan gigitanku. Dia berdiri. Tidak terima dengan perbuatanku, dia mengambil botol minuman di atas meja, lalu memecahkan bagian tengahnya. Bagian tajamnya mengarah padaku.

Aku berusaha bangun lalu mendorong tubuhnya yang masih berdiri di hadapanku dengan sekuat tenaga. Dengan tubuhnya yang gemuk dan rasa sakit di bibirnya, dia langsung jatuh menimpa meja. Tangannya terayun. Bagian ujung botol yang tajam melukai tanganku ketika aku berusaha lari.

Darah mengucur dari tanganku. Perih. Sakit. Namun, aku harus menyelamatkan diri. Aku mengambil tas di lantai lalu langsung lari ke luar rumah. Aku berlari sekencang mungkin menuju rumah Arsa sambil mengelap mulutku dengan lengan baju. Hanya dia yang ada dalam pikiranku saat ini. Letak rumahnya juga tidak terlalu jauh dari rumahku. Aku bolak-balik menengok ke belakang. Aku takut Om Ralph mengikutiku.

Begitu sampai di depan rumah Arsa, aku memencet bel berkali-kali tanpa jeda. Napasku tersengal. Arsa keluar dengan wajah bingung saat melihatku di depan pagar rumahnya.

"Cepetan buka pintunya, Sa!" teriakku.

Arsa buru-buru membuka pintu pagar. Dia sudah paham betul, bila aku berteriak, berarti aku sedang dalam bahaya. Begitu pintu terbuka, aku langsung masuk ke dalam rumah. Aku duduk di sofa sambil mengatur napas. Akhirnya aku bisa bernafas lega.

Setelah mengunci pagar, Arsa ikut masuk ke rumah. Dia tampak semakin terkejut melihat penampilanku. Rambut panjangku berantakan dan bajuku sobek. Aku langsung menutupi dadaku dengan tas supaya Arsa tidak melihat pakaian dalamku. Arsa semakin terkejut begitu melihat tetesan darah di lantai rumahnya.

"Lu kenapa, Mik? Kok ada darah?"

Aku melihat apa yang Arsa lihat. Tetesan darah di lantai.

"Maaf, gue jadi ngotorin rumah lu, Sa."

"Tangan lu kenapa? Di lengan baju lu juga banyak darah."

Aku menggulung lengan bajuku sampai ke atas. Botol itu rupanya tajam sekali hingga membuat lengan bajuku sobek dan melukai tanganku. Lukanya cukup panjang dan agak dalam. Darah terus keluar. Arsa kembali terkejut melihat luka di tanganku.

"Ayo kita ke rumah sakit, Mik!

"Nggak usah, Sa. Tinggal diobatin aja, nanti juga sembuh."

"Luka lu dalam, ini harus dijahit."

Arsa meninggalkanku lalu kembali dengan membawa kunci mobil.  

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now