Bab 2: A Heart - Break Leave

105 16 4
                                    

Kami berpelukan cukup lama. Rasanya aku tidak ingin melepaskannya. Ada getaran yang tidak dapat kumengerti di dalam hatiku. Aku mau Kak Arun selalu bersamaku, tapi dia pasti akan semakin menderita. Aku tidak mau itu terjadi padanya. Kupeluk tubuhnya erat-erat seolah ini adalah pertemuan terakhir kami. Aku menepuk-nepuk punggungnya lembut untuk meyakinkannya bahwa pergi dari rumah adalah jalan terbaik.

Kak Arun melepaskan pelukan dan memegang kedua lenganku. Dia tersenyum kecil padaku, lalu memijit pucuk hidungku. Aku membuat wajah lucu sambil tersenyum manja. Selama berada di dekat Kak Arun, aku bebas berekspresi. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Kadang aku sengaja mengubah wajahku sejelek mungkin agar dia tertawa. Kalau aku sedang rindu pada ibu, aku selalu memeluk Kak Arun. Dia akan mengelus rambutku, sama seperti yang sering ibu lakukan padaku. Kak Arun bukan sekedar menjadi kakak bagiku, tapi sekaligus menjadi ibu. Sejak aku berumur tujuh tahun, dialah yang merawatku.

"Kamu sendiri gimana, Mika?" tanya Kak Arun sedih. Aku sudah menduga dia akan menanyakannya dan aku sudah menyiapkan jawabannya.

"Gue nggak bisa pergi, Kak. Ayah bisa menemukan gue dengan mudah. Nggak ada gunanya gue kabur."

Aku masih ingin sekolah. Masih ingin kuliah di jurusan sastra seperti yang aku mimpikan selama ini. Ujian kelulusan tinggal dua bulan lagi. Kalau aku ikut kabur bersama Kak Arun, aku pasti akan putus sekolah dan otomatis aku tidak bisa kuliah. Kak Arun tidak mungkin membayar uang sekolahku. Semangkuk mie saja harus kami bagi dua supaya kami bisa makan. Kak Arun pasti dapat mengerti alasanku untuk tidak ikut dengannya. Dia selalu mendorongku untuk terus sekolah. Dia mau aku melanjutkan pendidikan sampai ke bangku kuliah.

Sebagai seorang kakak, dia pasti mengkhawatirkan keadaanku jika hanya tinggal berdua dengan ayah. Kak Arun selalu bilang kalau ayah itu monster. Dia memintaku untuk melawan jika ayah berbuat yang tidak pantas padaku. Aku meyakinkannya, hal itu tidak akan terjadi padaku, meskipun sebenarnya aku sendiri juga merasa takut.

"Sini, Kak." Aku berbaring di tempat tidur dan menarik selimut sampai ke atas dagu.

"Kemarin gue dengar ada lagu baru, ya?" lanjutku.

Kak Arun tersenyum, lalu ikut berbaring di sebelahku. Selain senang merajut, Kak Arun juga senang musik. Dia pandai menciptakan lagu. Akulah yang selalu menjadi pendengar pertamanya jika dia membuat lagu baru.

"Iya, tapi belum lengkap. Bagian reffrain-nya belum."

"Nyanyiin untuk gue, plis?"

Kak Arun menyanyikan lagu yang baru diciptakannya dengan suara pelan. Kepala kami saling menempel. Aku menikmati suara merdu Kak Arun sambil memejamkan mata. Kuresapi setiap kalimat yang dilantunkannya. Sebentar lagi suara indahnya itu tidak akan bisa kudengar. Tidak akan ada lagi tempat bagiku untuk bermanja-manja. Nanti aku harus melakukan semuanya sendiri. Rasanya berat, tapi tidak ada pilihan lain.

Suara Kak Arun semakin lama semakin menghilang. Hingga akhirnya dia benar-benar berhenti bernyanyi. Aku menengok ke arah Kak Arun. Dia sudah terpejam. Matanya bengkak akibat menangis terlalu lama. Kuperhatikan wajahnya yang cantik. Kupandangi sampai puas. Dada kak Arun turun naik. Dalam hitungan jam aku tidak bisa melihatnya lagi. Entah kapan aku bisa bertemu lagi dengannya. Aku ingin sekali memeluknya lagi, tapi kuurungkan niatku. Aku takut dia terbangun.

Dia lelah.

Dia harus istirahat.

Dia butuh banyak tenaga setelah keluar dari rumah ini.

"Gue akan baik-baik saja di sini, Kak. Lu harus semangat di luar sana, ya. Gue sayang banget sama lu, Kak," bisikku. Aku tak tahu apakah Kak Arun mendengarnya. Sepanjang sisa malam itu, aku sama sekali tidak bisa tidur. Aku terus bolak-balik melihat jam dinding yang gerakannya terasa lambat sekali.

Otakku terus bekerja. Banyak pertanyaan yang membuatku gelisah. Kak Arun nanti akan tinggal di mana, ya? Apakah dia akan tetap tinggal di Bandung? Kalau bisa dia pergi sejauh mungkin, sampai monster yang selalu menyakitinya itu tidak bisa menemukannya. Apakah kehidupannya akan lebih baik? Kapan kami akan bertemu lagi? Siapa yang nanti akan membelikanku makanan kalau ayah tidak memberikan uang jajan? Siapa yang akan melindungiku jika ayah tidak bisa mengontrol emosinya saat mabuk? Bagaimana caraku melawan ayah kalau dia mulai menyakitiku? Aku menghela napas. Pikiran-pikiran itu membuatku perasaanku semakain tak karuan.

Aku kembali melihat jam dinding, sudah jam setengah empat pagi. Pelan-pelan aku turun dari tempat tidur, lalu mengikat rambut panjangku. Kuperiksa lagi semua barang yang tertinggal di dalam kamar Kak Arun. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Dan semoga aku mengambil keputusan yang benar.

"Kak, udah jam empat. Lu harus pergi sekarang. Sebelum ayah bangun." Aku menarik tangannya supaya dia duduk. Aku memberikan jaket yang belum dipakainya. Kak Arun memakainya asal-asalan. Dia masih mengantuk. Aku membantunya mengancingkan ritsleting jaket sampai ke atas dan memakaikan tudungnya. Setelah itu, Kak Arun memakai ransel yang penuh sesak dengan barang-barangnya.

"Apa aja yang kamu masukin ke situ, Mika?" tanya Kak Arun sambil memakai sepatu kedsnya. "Lalu kapan kita ketemu?" tanyanya lagi. Pertanyaannya itu tidak aku gubris sama sekali. Aku sedang berkonsentrasi membuka pintu sepelan mungkin agar tidak mengeluarkan suara. Kalau ayah sampai bangun, semua rencanaku akan gagal total. Kak Arun mendorong punggungku pelan. Aku sedikit terkejut. Dia memberi kode supaya aku keluar dari kamar. Aku mengikuti perintahnya lalu pergi ke dapur sebentar sebelum akhirnya membuka pintu utama.

Langit masih sangat gelap ketika kami berhasil keluar rumah. Aku mengerutkan tubuh. Dingin. Aku membuka gembok dengan sangat hati-hati. Setelahnya, aku berjongkok, lalu mengoleskan minyak sayur yang tadi kuambil di dapur pada roda pagar. Selesai. Aku menarik pintu pagar perlahan dan berhasil. Pintu pagar tidak menimbulkan suara sama sekali.

Kak Arun keluar, lalu berbalik menghadapku. Dia kembali mengingatkanku untuk kabur bila ayah membahayakanku. Aku mengangguk.

"Uang hasil jualan lu udah gue selipin di kantung tas yang di dalam."

"Sumpah, nggak apa-apa aku pergi?" Dari nada suaranya aku tahu, dia berat meninggalkanku.

Aku menyipitkan mata.

"Daripada lu di sini lalu hamil! Pikirin jauh-jauh, Kak. Lu anti aborsi, kan? Apa lu mau hamil dari ayah?" Kak Arun terdiam. Sepertinya perkataannku membuatnya berpikir.

"Pergi, Kak. Nanti keep in touch lagi, ya." Aku tersenyum dan berusaha menutupi rasa sedihku. Gembok sudah kembali terpasang di pagar. Aku membalikkan badan dan meninggalkan Kak Arun yang masih berdiri di seberang pagar. Selama aku masih ada di hadapannya, dia pasti tidak akan pergi. Aku memasuki rumah dengan perasaan hampa. Buru-buru aku mengunci pintu, lalu masuk ke dalam kamar.

Aku naik ke atas tempat tidur. Kututupi tubuh dan kepalaku dengan selimut. Rasa kehilangan yang amat besar kini menguasai hatiku. Pandanganku buram. Aku kembali menangis. Semoga aku bisa bertemu dengannya lagi.

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang