Bab 5: HELPLESS

84 13 1
                                    

Malam ini ayah kembali mengamuk. Dia pulang seorang diri dalam keadaan mabuk dan berteriak-teriak memanggil Kak Arun. Apa sebegitu rindunya ayah pada Kak Arun? Atau dia hanya mencari Kak Arun untuk menyalurkan nafsunya saja? Apakah dia sudah tidak punya uang lagi untuk membayar perempuan-perempuan yang dikencaninya? Apa ayah masih belum sadar kalau Kak Arun kabur dari rumah akibat perbuatannya? Belum genap seminggu Kak Arun pergi, tapi sikap ayah semakin mengerikan.

Pintu kamar Kak Arun terbuka. Sepertinya ayah mencari kakakku itu di kamarnya. Saat itu aku sedang belajar untuk persiapan ujian kelulusan. Aku bersandar pada kursi belajarku, lalu menarik nafas panjang. Tak lama berselang, pintu kamarku terbuka. Aku menengok ke arah ayah. Matanya merah. Bau alkohol mengisi kamarku. Pakaian kerjanya sudah tidak rapi lagi.

"Di mana, Arun?" Ayah berteriak penuh emosi.

"Aku nggak tahu, Yah," jawabku.

Aku memang tidak tahu di mana Kak Arun sekarang berada. Sama sekali tidak ada komunikasi di antara kami berdua sejak Kak Arun pergi meninggalkan rumah. Aku hanya bisa berharap dia yang meneleponku terlebih dahulu. Saat ini aku sama sekali tidak punya uang untuk membeli pulsa atau paket data. Kak Dira pun belum membayarku karena aku baru beberapa hari bekerja di tokonya. Biasanya pembayaran gaji akan dilakukan setiap akhir bulan. Aku harus menghemat uang jajan yang ayah berikan supaya aku bisa membeli makanan selama beberapa hari ke depan. Kalau bukan karena ingin menyelesaikan sekolah, aku pasti sudah ikut kabur bersama Kak Arun.

"Kamu sembunyikan di mana dia?" bentaknya.

"Aku nggak menyembunyikan Kak Arun, Yah."

Ayah mendekatiku. Seketika nafasku menjadi tidak beraturan. Aku ketakutan. Aku ingin lari, tapi lagi-lagi kakiku tak bisa diajak kerjasama. Ayah menjambakku hingga aku terbangun dari kursi. Aku berteriak kesakitan, tapi ayah tidak menggubrisku. Dia menyeretku sampai keluar dari kamar. Ayah melepaskan tangannya dari rambutku, lalu memukuliku dengan ikat pinggangnya. Salah satu caraku untuk bertahan adalah dengan menjatuhkan diri ke lantai, seolah-olah aku sudah tidak kuat lagi berdiri. Lenganku membentur lantai. Sakit sekali. Biasanya cara itu berhasil. Setelah terjatuh, ayah memang masih memukuliku bertubi-tubi, tapi tidak lama. Mungkin dia pikir, kalau aku jatuh berarti dia menang. Dia berhasil menunjukkan sisi kelaki-lakiannya di hadapanku. Aku hanya bisa menangis..

"Ayah nggak suka lihat mukamu. Anak nggak berguna!"

Ayah menendangiku sekuat tenaga. Setiap ayah marah, dia selalu mengucapkan kalimat itu. Entah apa yang salah dengan wajahku. Kak Arun bilang wajahku cantik. Seharusnya ayah juga bisa melihat itu. Namun, ayah selalu bilang dia tidak menyukai wajahku. Aku juga dianggapnya tidak berguna. Apakah definisi berguna bagi Ayah adalah melayaninya di atas ranjang seperti Kak Arun? Namun, dia tidak pernah memintaku untuk melakukannya. Sama sekali tidak pernah. Satu-satunya kontak fisik yang dia lakukan padaku adalah memukulku sesuka hatinya, sampai dia benar-benar puas. Setelah tenaganya habis, ayah meninggalkanku dan naik ke lantai atas menuju kamarnya.

Ketika aku bangun keesokan harinya, tubuhku terasa sakit sekali. Setelah kuperhatikan, ternyata banyak sekali lebam di tubuhku. Aku mengoleskan salep pada setiap bagian yang memar dan memberikan plester pada bagian yang luka. Aku memakai jaket kemudian menyandang ransel. Sambil menahan rasa sakit, aku berangkat ke sekolah.

Aku selalu melewati jalan yang sama setiap hari. Melewati rumah-rumah warga, lapangan, dan taman. Udara Bandung di pagi hari menyuntikkan semangat baru untukku. Aku berangkat ke sekolah dengan antusias. Apalagi hari ini akan ada kegiatan penting yang dapat memengaruhi masa depanku nanti. Sekolah merupakan tempat menyenangkan sekaligus aman bagiku.

Tak lama setelah sampai di sekolah, kami diminta untuk berkumpul di aula. Acara yang kutunggu dari beberapa hari lalu akhirnya akan segera dimulai. Beberapa mahasiswa dari sebuah universitas di Bandung datang ke sekolah untuk memberikan penyuluhan seputar dunia perkuliahan. Aku sangat bersemangat. Setiap penjelasan yang diberikan aku dengarkan baik-baik. Mereka menerangkan tentang sistem belajar yang sangat berbeda dengan yang aku jalani saat ini. Saat kuliah kita bisa memilih sendiri mata kuliah apa yang ingin kita ambil. Selain itu, saat menjadi mahasiswa, kita tidak perlu memakai seragam sama sekali. Berarti aku bisa mengenakan pakaian lengan panjang dan celana panjang setiap hari untuk menutupi luka-lukaku. Menarik sekali.

Seorang mahasiswa perempuan menjelaskan tentang fakultas yang ada di kampus mereka. Aku teringat Kak Arun. Dia juga ingin kuliah. Begitu acara selesai, aku mengambil brosur dari jurusan yang aku incar, sastra. Aku juga mengambil brosur tentang fakultas musik yang akan kuberikan pada Kak Arun saat kami bertemu nanti. Dia pasti akan sangat senang sekali.

Saat hendak kembali ke kelas, Bu Lia, guru BP, memanggilku. Dia memintaku untuk datang ke ruangannya sebelum jam belajar dimulai lagi. Ruangan Bu Lia tidak terlalu besar. Di sana ada sofa coklat yang terlihat sangat empuk. Ada juga kursi yang saling berhadapan dengan kursi kerja Bu Lia yang dibatasi sebuah meja. Ruangannya sangat nyaman dan wangi. Bu Lia mempersilakanku duduk di sofa yang ternyata benar-benar empuk, sementara dia duduk di sofa lainnya yang letaknya tidak terlalu jauh.

"Mika, bagaimana keadaanmu hari ini?" Bu Lia membuka percakapan. Suaranya sangat lembut.

"Saya baik-baik saja, Bu."

Aku mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin ditanyakan Bu Lia.

"Ibu lihat kamu sering pakai jaket belakangan ini. Padahal, udara sedang sangat panas. Kamu sakit?"

"Saya cuma merasa nggak enak badan aja kok, Bu."

Aku berbohong.

"Sudah ke dokter?" tanyanya lagi.

"Nggak, Bu. Paling sebentar lagi juga baikan."

Bu Lia menatapku penuh tanda tanya. Aku memang terlihat seperti orang aneh karena terlalu sering menggunakan jaket. Jaket itu tidak pernah kulepas selama jam pelajaran berlangsung. Aku tidak mau orang lain melihat luka dan lebam di sekujur tubuhku. Aku harus berusaha untuk tetap tenang selama menjawab pertanyaan Bu Lia.

"Begini, Mika. Beberapa guru yang mengajar di kelasmu bilang kalau belakangan ini kamu semakin tidak konsentrasi saat belajar. Kamu sering melamun dan terlihat mengantuk di kelas. Apa kamu sedang ada masalah?"

"Nggak kok, Bu. Semua baik-baik saja."

Aku berbohong lagi.

"Ibu harap kamu bisa lebih baik lagi di kelas. Ujian kelulusan sudah dekat. Kalau kamu terlalu banyak melamun, nanti nilai-nilaimu bisa turun."

"Iya, Bu."

"Baiklah. Jam istirahat sebentar lagi selesai. Sebaiknya kamu pergi makan siang."

"Baik, Bu. Terima kasih. Saya permisi."

Bu Lia mengangguk, lalu tersenyum lembut padaku. Aku berdiri, lalu berjalan membelakanginya menuju pintu keluar. Belum juga aku memegang gagang pintu, Bu Lia kembali memanggilku.

"Nanti kalau kamu mau cerita ke sini aja, ya."

"Baik, Bu. Terima kasih."

Apa Bu Lia melihat luka dan lebam di kakiku sehingga dia berkata begitu? Rok abu-abu yang kami pakai memang tidak terlalu panjang. Hanya sampai di bawah lutut saja. Bagian betisku pasti terlihat dengan jelas. Ada beberapa plester yang kutempel di betisku hari ini. Walaupun Bu Lia menawarkan diri sebagai pendengar ceritaku, rasanya aku tidak akan datang padanya untuk bercerita. 

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now