Bab 8: EMBARRASSED

86 15 6
                                    

Suasana kelas mendadak ramai. Suara murid-murid yang sedang bertukar pikiran dengan pasangannya masing-masing mengisi ruangan, termasuk aku dan Arsa. Mungkin suara dari kelasku terdengar sampai di kelas sebelah. Arsa mencoba melirik kertasku, sepertinya dia ingin tahu apa yang aku tulis untuk tugas bahasa Inggris kali ini. Buru-buru aku menutup bukuku. Aku tidak mau memberitahunya sebelum dia mengerjakan bagiannya.

"Liat dong, Mik. Lu nulis apa, sih?"

"Nggak usah mengalihkan situasi, deh. Lu tulis dulu punya lu, kalau udah selesai baru boleh liat punya gue."

"Yah, Mika." Wajah Arsa memelas. "Ini kan bukan ujian," lanjutnya lagi kemudian kembali fokus pada buku catatannya. Aku hanya tersenyum, lalu mengubah posisi dudukku. Kini aku bersandar pada dinding. Aku bisa melihat wajah Arsa dengan jelas. Dia menggaruk-garuk kepalanya. Bingung. Arsa mencoba menuliskan beberapa kalimat di bukunya, tapi tak lama kemudian di coretnya. Arsa memainkan pulpen dengan jari-jarinya yang panjang. Pandangannya tertuju pada langit-langit kelas, seolah sedang benar-benar memikirkan kalimat apa yang akan dia tulis tentang mimpinya.

Tanpa dia sadari, aku terus memerhatikan wajahnya. Memerhatikan rambutnya, matanya, juga hidungnya. Ketika Arsa menyugar rambutnya, aku melihat ada sebuah tahi lalat di dekat keningnya. Selama ini tahi lalat itu tidak terlihat karena tertutup oleh poninya. Walaupun kami berteman sejak kecil, ternyata masih ada hal-hal tersembunyi yang tidak aku ketahui tentangnya. Aku asyik memandangi wajahnya. Rupanya Arsa sadar kalau aku sedang memerhatikannya.

"Kenapa lu merhatiin gue terus dari tadi? Naksir, ya?" tanya Arsa.

Aku tersentak dengan pertanyaannya. Aku mengutuki diri sendiri karena terlalu asyik melihatnya.

"Jangan ge-er lu. Siapa juga yang merhatiin lu?" elakku.

"Muka udah kayak udang rebus gitu masih aja bohong." Arsa terkekeh.

Benarkah? Apakah wajahku benar-benar seperti udang rebus? Ah, tidak mungkin. Tapi, kenapa aku merasa malu. Aku mengambil rautan bulat berkaca dari kotak pensilku. Benar. Wajahku memerah. Aduh, bagaimana ini? Perlahan aku mengubah posisi dudukku lalu pura-pura sibuk dengan peralatan sekolah yang ada di atas meja.

Aku mencoba melihat Arsa dari ujung mataku. Ternyata, sekarang dia balik memerhatikanku. Gawat. Aku mendadak susah bernapas. Bagaimana ini? Rasanya aku ingin sembunyi di bawah meja. Mendadak aku merasa jadi orang paling bodoh saat ini. Aku kembali melirik, Arsa masih memandangiku sambil terus tersenyum. Posisi duduknya kini menghadap langsung padaku. Dia bisa melihat dengan jelas semua gerak-gerikku yang mendadak canggung.

"Punya lu udah selesai lu tulis belum?" Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. Tak ada jawaban. Semoga dia mengubah posisi duduknya. Please. Nggak enak banget rasanya kayak gini. Lebih tepatnya malu. Jangan-jangan Arsa mulai sadar kalau aku naksir dia.

Arsa masih terus memandangiku. Dia bertopang dagu dengan siku tangannya di atas meja. Dan... dia masih terus tersenyum. Kalau aku ini balon, mungkin aku sudah hancur berkeping-keping dari tadi terkena hawa panas dari senyuman mautnya.

"Arsa, jangan liatin gue kayak gitu terus, dong."

Bagaimana mukaku sekarang? Sepertinya malah bertambah merah.

"Jangan ge-er lu. Siapa juga yang merhatiin lu."

Hah? Itu kan kalimat yang tadi aku pakai untuk Arsa. Sekarang dia kembalikan kalimat itu padaku. Spontan aku mengubah posisi dudukku hingga kami benar-benar saling berhadapan. Tanpa kami sadari, ternyata Pak Carlos sudah berdiri di belakang sejak tadi. Dia bersandar di dinding sambil memerhatikan kejadian yang membuatku merasa sangat malu barusan. Aku memang duduk di kursi paling belakang, tapi kursiku tidak menempel di dinding. Masih ada jarak sekitar satu setengah meter. Pak Carlos menghampiri kami.

"Punya kalian sudah selesai?" Suara Pak Carlos membuat aku dan Arsa terkejut. Kami sama-sama mendongak ke arah suara. Tangan pak Carlos memegang sandaran kursi kami berdua.

"Belum, Pak." Kami menjawab bersamaan.

"Apa kalian mengalami kesulitan?"

"Nggak, Pak." Kami kembali menjawab secara bersamaan.

"Kalau memang kalian mengalami kesulitan, Bapak bisa meminta pada temanmu untuk bertukar pasangan?"

"Nggak usah, Pak." Lagi-lagi kami menjawab berbarengan.

"Cie... yang jawabnya barengan terus...," goda Pak Carlos. "Kalau begitu, ayo selesaikan tugas kalian," lanjutnya lagi kemudian pergi memeriksa pekerjaan murid lainnya. Apakah Pak Carlos mendengarkan semua percakapan kami tadi? Semoga tidak.

"Lu sih ngeliatin gue mulu," protesku pada Arsa.

"Loh... kok nyalahin gue. Kan lu duluan tadi yang merhatiin gue." Arsa balik protes.

"Mending sekarang lu kerjain punya lu. Biar bisa gue terjemahin."

"Oke."

Arsa kembali fokus pada buku tulisnya. Sepertinya kali ini dia menulis dengan lancar. Aku jadi penasaran, apa yang dia tulis, ya? Segala sesuatu tentang Arsa selalu menarik untukku. Bahkan, lebih menarik dari pelajaran bahasa Inggris kesukaanku. Namun, kali ini aku memutuskan untuk tidak memerhatikannya lagi. Aku tidak mau merasa malu seperti tadi lagi.

Aku mengambil ikat rambut di tas lalu meletakkannya di atas meja. Kurapikan rambutku dengan kedua tangan hingga membentuk ekor kuda. Saat aku memegang ikat rambut, aku terdiam sejenak. Ikat rambut ini dibuat oleh Kak Arun. Dia merajutnya sendiri. Di mana Kak Arun sekarang? Apakah dia sudah mendapatkan tempat tinggal? Tiba-tiba aku merasa sedih. Aku kenakan ikat rambut biru itu di rambutku yang lurus.

Aku memandang ke luar jendela sambil bertopang dagu. Semoga Kak Arun sehat-sehat saja di luar sana. Semoga uang yang aku selipkan di tasnya cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya sampai dia mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal. Semoga dia tidak bertemu dengan orang jahat lagi. Semoga kami bisa bertemu lagi. Jaga Kak Arun, Tuhan. Seandainya saat ini aku ada di kamar, pasti aku sudah menangis.

Aku tersadar dari lamunanku ketika bel tanda jam pelajaran selesai berbunyi. Arsa memberikan buku tulisnya padaku. Sepertinya dia sudah selesai menuliskan semua mimpinya. Aku menerimanya kemudian memasukkan bukunya itu ke dalam tas.

"Nanti kalau udah selesai gue terjemahin, bukunya gue balikin lagi ke lu."

"Iya. Jangan lama-lama, ya. Gue juga butuh waktu buat hapalinnya. Kita juga harus latihan, kan."

Aku mengangguk.

Arsa kembali ke mejanya. Dia merapikan semua perlengkapan sekolah miliknya. Aku pun merapikan semua buku dan alat tulis kemudian memasukkannya ke dalam tas. Aku terbiasa melakukannya perlahan untuk mengulur waktu sembari menunggu semua murid keluar dari kelas. Arsa melambaikan tangan padaku, lalu dia juga meninggalkan ruangan.

Setelah aku yakin kalau sekolah sudah benar-benar sepi, barulah aku pulang. Begitulah setiap hari. Namun, sejak aku bekerja di toko Kak Dira, aku selalu pergi ke toilet terlebih dahulu untuk mengganti pakaian. Sambil berjalan menuju toilet, aku mengeluarkan ponsel dari dalam saku tas. Siapa tahu Kak Arun mengirim pesan. Aku mendorong pintu toilet dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya mengecek pesan masuk. Hanya ada beberapa pesan masuk dari provider yang kupakai. Sama sekali tidak ada pesan atau telepon masuk dari Kak Arun. Aku meletakkan tas dan ponsel di sebuah meja kecil dekat wastafel.

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now