Bab 17: TRUTH HURTS

63 8 0
                                    


Keesokan paginya Arsa datang menjemputku untuk berangkat ke sekolah. Untung seragamku masih ada di tas, walaupun agak sedikit kusut. Aku memakai jaket sehingga bagian kusutnya tidak terlihat lagi. Aku bisa mencatat pelajaran hari ini di buku yang lain dulu, baru nanti aku salin kembali. Aku dan Arsa berpamitan pada Kak Arun dan Kak Dames. Tante Mira sedang tugas keluar kota, sehingga Arsa diperbolehkan memakai mobilnya sampai Tante Mira pulang. Sekolahku termasuk sekolah menegah ke atas. Banyak murid yang juga membawa mobil ke sekolah. Namun, biasanya Arsa lebih memilih naik sepeda, karena jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh.

Pada malam harinya aku tidak pulang ke rumah setelah bekerja di toko Kak Dira. Kak Dira memintaku untuk menginap di rumahnya selama beberapa hari. Dia mengantarku ke rumah untuk mengambil semua keperluanku. Kak Dira terkejut melihat keadaan rumah yang berantakan. Botol minuman keras berjajar di atas meja. Abu rokok mengotori meja dan lantai. Aku memang tidak sempat membersihkannya karena selalu pergi sebelum ayah bangun dan pulang sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan ayah.

Dua hari kemudian, ayah dipindahkan ke kamar kelas I atas permintaannya sendiri. Sebenarnya kami diperbolehkan untuk tidur di kamar ayah, tapi aku dan Kak Arun tidak mau. Aku tidur di rumah Kak Dira, sementara Kak Arun dan Kak Dames lebih memilih beristirahat di lobby.

Aku dan Kak Dira datang ke rumah sakit pada malam ketiga. Kak Dira menutup toko lebih cepat dari biasanya. Begitu melihat Kak Arun, Kak Dira langsung memeluknya, seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Aku langsung duduk di kursi sambil memerhatikan Kak Dira dan Kak Arun melepas kangen.

"Aku takut banget waktu Mika bilang ayah kalian terkena serangan jantung. Kukira dia sendirian di rumah sakit. Ternyata kamu pulang." Kak Dira meremas pundak Kak Arun. "Kamu kurus banget, Run."

"Iya, Kak. Maklumlah, makan harus hemat-hemat. Kadang-kadang dibayarin dia." Kak Arun menunjuk Kak Dames.

"Terima kasih sudah jagain Arun," kata Kak Dira pada Kak Dames.

Kak Dira membawa sekotak donat dan memberikannya pada kami. Aku dan Kak Arun langsung melahapnya. Rasanya enak sekali.

"Sudah lama banget kita nggak makan donat ya, Kak."

Aku bercerita pada Kak Arun bagaimana aku mengatur uangku sejak Kak Arun pergi. Aku harus super hemat supaya uangku cukup sampai gajian lagi. Biasanya aku hanya makan dua kali sehari, siang dan malam. Kadang Arsa memberikanku roti dan susu supaya aku bisa sarapan. Sementara kami makan, Kak Dira asyik mengobrol dengan Kak Dames.

Sepintas Kak Dira membicarakan tentang ibu. Aku langsung mendengarkannya sambil terus mengunyah donat.

"Berapa umurmu waktu ibu kalian pergi?"

"Aku sembilan."

"Aku tujuh."

"Masih kecil sekali," kata Kak Dames. "Ibuku selalu ada, tapi hanya fisiknya sih. Dia agak tolol, hidup dalam kehaluan tinggi.

"Maksudnya?" Sepertinya Kak Dira tertarik mendengarkan kisah hidup Kak Dames.

"Yah, begitu. Ibuku cinta harta. Kerjanya Cuma nyari suami kaya. Kalau sudah bosan ditinggal. Aku ikut dia terus, tapi sebenarnya hidup sendirian."

Ternyata hidup Kak Dames tidak semulus perkiraanku. Hidupnya juga menderita sejak kecil.

"Sekarang di mana ibumu?" tanya Kak Dira lagi.

"Ada. Masih begitu saja, karena suami terakhirnya ternyata gila seks. Semua cewek diembat. Untung aja aku bisa menyelamatkan yang terakhi." Kak Dames meihat Kak Arun dengan tatapan sedih. Kak Arun membenarkannya dan kembali menceritakan peristiwa itu. Kuperhatikan Kak Arun yang bercerita dengan penuh emosi. Apakah aku salah karena menyuruhnya kabur dari rumah? Untung saja ada orang-orang baik yang masih mau menolongnya.

Kak Dira menganjurkan Kak Arun untuk berkonsultasi ke psikolog. Karena menurutnya trauma yang Kak Arun alami akan berdampak pada pernikahannya nanti. Obrolan mereka terlalu tinggi bagiku, jadii kuputuskan untuk melihat ayah di ruangannya.

"Kak, lihat ayah dulu, yuk." Aku berdiri dan berjalan menuju kamar ayah. Kak Arun mengekor di belakangku.

"Ngapain sih harus lihat? Aku nggak peduli dia sakit, Mik."

"Gue juga enggak." Aku membuka pintu kamar pasien. "Tapi gue ngerasa wajib aja ngelihat keadaannya."

Aku tidak berani berdiri di dekat tempat tidur ayah. Aku masih terus waspada kalau tiba-tiba ayah bangun lalu memukulku. Aku belum bertemu ayah lagi sejak dia menjualku. Ayah menengok ke arah kami. Dia sangat terkejut ketika melihat Kak Arun. Kak Arun berdiri di sebelahku. Dia juga tidak mau berada di dekat ranjang ayah.

"Kelakuanmu." Suara ayah terdengar lemah. Dia menatap Kak Arun dengan tatapan mengejek. "Persis ibumu."

"Jangan ngomong gitu, Yah," kataku gusar. "Yang kuingat, ibu baik. Dia pergi gara-gara ayah main cewek terus."

Ayah tertawa mendengar perkataanku, tapi tak lama kemudian dia batuk-batuk. Wajahnya memerah dan napasnya sesak.

"Kalian ini tolol." Ayah tersenyum menghina. "Kalian kira ibu kalian itu suci, ya?"

Aku tersinggung dengan perkataan ayah. Napasku tak beraturan. Justru ayahlah yang tolol karena telah membiarkan ibu pergi dan lebih memilih bersama perempuan-perempuan nggak jelas yang hanya menghabiskan uangnya saja. Justru ayahlah yang kotor karena tega menjual anaknya sendiri hanya untuk mendapatkan uang. Kak Arun meraih tanganku. Aku tahu itu kode darinya agar aku tetap tenang.

"Tahu nggak kenapa dia pergi?" Ayah kembali bertanya dengan nada mengejek.

"Karena Ayah nggak peduli sama ibu." Aku berusaha untuk tetap tenang. Ayah menatapku tajam.

"Ibumu pelacur, dasar anak-anak tolol! Dia itu pergi sama laki-laki lain." Ayah tertawa sinis. "Kalian ditipu oleh iblis betina itu, tahu? Bodohnya kalian berdua. Anak pelacur!"

Hatiku seperti tertikam. Kata Kak Arun ibu orang baik. Tidak mungkin ibu seorang pelacur. Aku jadi berpikir apa aku dan Kak Arun bukan anak kandungnya sehingga dia memperlakukan kami sekejam itu. Apakah ibu benar-benar pergi dengan lelaki lain? Air mataku jatuh. Aku berusaha untuk tidak memercayai perkataan ayah.

Berbeda dengan Kak Arun, dia tidak terima dengan perkataan Ayah. Dia mendekati tempat tidur ayah, lalu menarik selang oksigen di hidung ayah. Ayah melotot pada Kak Arun. Mereka saling berusaha mempertahankan selang oksigen.

"AYAH SETAN!!!" Kak Arun berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Makian yang selama ini ditahannya keluar dari mulutnya.

"Kak Arun... sudah, Kak. Stop, Kak!" Aku ikut berteriak-teriak sambil menangis.

"Kalau Ayah mati nanti lu bisa masuk penjara, Kak." Aku berusaha melerai ayah dan Kak Arun. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli bila ayah mati. AKu hanya tidak mau Kak Arun masuk penjara. Tempat itu seharusnya untuk Ayah, bukak Kak Arun. Ayah mulai susah bernapas. Dia melepas selang lalu memegangi dadanya. Ayah membiarkan Kak Arun memegang selang oksigennya.

Tak berapa lama, Kak Dira, Kak Dames, dan dua orang perawat masuk ke dalam kamar. Para perawat sibuk menangani ayah. Kak Dames memeluk Kak Arun dari belakang. Dia menahannya supaya tidak membahayakan nyawa ayah. Aku berlari ke arah Kak Dira dan membenamkan mukaku di pelukannya. Kak Arun masih terus meronta dan berteriak-teriak memaki ayah. Dia baru berhenti berteriak ketika Kak Dames menampar pipinya. Para suster membawa ayah keluar dari ruang rawat. 

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now