Bab 11: SOLVED

60 8 0
                                    

Sepulang dari toko Kak Dira, aku langsung membersihkan badan. Aku masih penasaran kenapa Arsa tidak ke sekolah hari ini. Aku duduk di kursi yang biasa aku pakai saat belajar atau mengerjakan PR. Bukan kursi bagus yang dilapisi busa, tapi hanya kursi kayu biasa. Aku mengeluarkan buku milik Arsa yang harus aku terjemahkan dari dalam tas. Aku penasaran, apa yang dia tulis tentang mimpinya? Apa dia menulis cita-citanya sebagai pelukis?

Kubuka lembaran terakhir yang dia tulisi dan membacanya. Ternyata Arsa ingin bertemu ayahnya. Sejak kecil Arsa tinggal bersama tantenya, adik dari ibunya. Sementara ibunya tinggal di luar pulau dan sudah memiliki keluarga baru. Terkadang Arsa masih berkomunikasi dengan ibunya. Arsa sama sekali belum pernah bertemua ayahnya. Arsa menulis bahwa dia ingin bertemu sekali saja. Dia ingin merasakan pelukan seorang ayah.

Keadaanku dan Arsa sebenarnya tidak jauh berbeda. Mungkin itulah yang membuat kami berdua menjadi sahabat. Sama-sama ditinggalkan oleh orang tua. Bedanya, aku pernah merasakan kasih sayang Ibu. Walaupun pada akhirnya dia pergi dan aku tidak tahu di mana Ibu berada sekarang. Aku merindukannya. Arsa tidak pernah bertemu dengan ayahnya, sementara ayahku, dia selalu ada di hidupku, tapi dia monster. Aku masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin Arsa ingin bertemu dengan ayahnya? Padahal, dia sudah ditinggalkan sejak kecil.

Aku mulai menerjemahkan setiap kalimat yang Arsa tulis. Aku juga menyusun dialog percakapan yang harus kami hafalkan untuk mata pelajaran bahasa Inggris. Aku membuatnya semudah mungkin agar Arsa tidak kesulitan saat menghafalnya. Setelah membaca ulang hasil terjemahanku, aku merapikan semua buku dan peralatan yang harus aku bawa ke sekolah besok. Buku Arsa juga aku masukkan ke dalam tas. Aku akan memberikannya besok di sekolah.

***

Aku memasuki gerbang sekolah dengan semangat. Aku ingin bertemu Arsa. Rasa penasaranku lebih besar dari emosiku padanya. Amarahku yang sempat meluap di halte sudah menguap. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya.

Aku memasuki kelas. Keadaan pagi ini masih sama seperti biasa. Ada murid-murid yang sedang bergosip, sarapan, dan bermain game. Aku juga melihat Arsa yang sedang asyik melukis di mejanya. Senyumku merekah. Hatiku berbunga-bunga melihat Arsa sudah berada di tempat duduknya. Buru-buru aku meletakkan tas di kursiku. Rasanya tak sabar untuk melihat senyumnya. Untung aku sudah mengerjakan terjemahannya, jadi aku punya alasan untuk menghampirinya.

"Lagi ngelukis apa, Sa?" Aku duduk di sebelahnya sambil memerhatikan hasil lukisannya di buku gambar. "Siapa dia, Sa?" tanyaku lagi sebelum Arsa sempat menjawab pertanyaanku sebelumnya.

"Ayah gue." Arsa terus melukis.

"Lu kok tahu wajahnya? Kan lu sama sekali nggak pernah ketemu dia."

Arsa meletakkan pensilnya di atas buku gambar, lalu bersandar di kursi.

"Kemarin gue ketemu ayah."

Aku sedikit terkejut mendengar jawabannya. Arsa memang pernah bilang kalau dia ingin bertemu ayahnya. Tapi... kenapa mereka bisa tiba-tiba bertemu?

"Jadi kemaren lu nggak sekolah karena nemuin ayah lu, Sa?"

"Iya." Arsa melirik ke arahku, lalu kembali melihat hasil lukisannya.

"Berarti mimpu lu terwujud dong, Sa?"

Aku tersenyum, ikut senang karena mimpinya tercapai, tapi Arsa menggelengkan kepalanya.

"Dia nggak ngakuin gue sebagai anaknya, Mik."

Senyumku mendadak lenyap. Tiba-tiba aku merasa sedih mendengar semua cerita Arsa. Dia mendapatkan alamat ayahnya dari Tante Mira, adik ibunya. Awalnya Tante Mira tidak mau memberikan alamatnya, tapi karena Arsa terus memaksa, akhirnya Tante Mira menyerah.

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now