Bab 9: PISS OFF

66 13 7
                                    


Aku mengeluarkan kaos berlengan pajang dan juga celana kain yang panjangnya sampai mata kaki dari dalam tas. Kuletakkan pakaianku di sisi meja yang kosong. Pertama, aku mengganti rok abu-abuku dengan celana kain. Sebelum aku memakai celana, aku mengoleskan salep pada bagian kakiku yang memar terlebih dahulu. Untuk bagian yang terluka, aku sudah menempelkan plester sebelum berangkat sekolah. Sebenarnya, saat kakiku penuh luka seperti sekarang ini, akan lebih nyaman menggunakan rok panjang. Namun, sejak bekerja di toko Kak Dira aku harus menggunakan celana untuk mempermudah gerakanku. Aku sengaja memilih celana yang agak longgar agar lukaku tidak terasa terlalu sakit saat bersentuhan dengan kain.

Dengan tinggi badanku yang hanya 155 cm, akan sangat sulit bagiku untuk mengambil barang yang letaknya di atas rak. Jadi, aku harus menggunakan tangga. Bila aku menggunakan rok panjang, akan sangat membahayakan diriku. Bisa saja aku menginjak ujung rok kemudian terjatuh dari atas tangga. Selain itu, menaiki tangga dengan rok juga tidak sedap dipandang. Pakaian dalamku bisa terlihat oleh orang yang berada di bawah.

Aku melepas jaket kemudian meletakkannya di atas tas, bersama dengan rok abu-abu. Aku membuka kancing satu per satu, kemudian meletakkan seragam putihku di atas jaket. Kuoleskan salep pada luka bakar bekas sundutan rokok ayah. Aku meringis. Kulitku sedikit terkelupas dan memerah. Aku juga mengobati luka dan lebam di punggung sejauh jangkauan tanganku.

"Mika, kamu belum pulang?"

Aku terkejut.

Hampir saja salep yang kupegang terjatuh ke lantai. Suaranya tidak asing. Benar dugaanku, itu suara Bu Lia. Dia ada di belakangku. Sejak kapan dia ada toilet juga? Sepertinya Bu Lia juga baru selesai berganti pakaian. Buru-buru aku mengenakan pakaianku lalu dengan asal memasukkan seragam dan jaket ke dalam tas. Secepat kilat aku berlari keluar sambil memeluk tas ransel di dada. Ketika sampai di halaman sekolah, aku melihat Arsa yang sedang asyik melahap cilok dalam bungkus plastik bening. Aku menghampirinya.

"Arsa, sepeda lu mana? Buruan anterin gue ke tempat naik angkot!"

Aku bolak-balik melihat ke belakang. Aku takut Bu Lia mengikutiku. Jantungku berdegup kencang sekali.

"Ada di tempat parkir sepeda. Kenapa?" Mulut Arsa masih terus mengunyah makanan.

"Buruan ambil! Jangan lama-lama!" perintahku dengan nada sedikit tinggi.

"Iya... iya...."

Arsa berjalan menuju tempat parkir sepeda, tapi karena aku merasa gerakannya terlalu lambat aku menyusulnya. Aku meraih tangannya kemudian menariknya agar dia berjalan sedikit lebih cepat sampai akhirnya kami sampai di tempat parkir sepeda.

"Buruan naik, Sa."

"Gue habisin ciloknya dulu, ya."

Aku merebut bungkusan cilok dari tangannya dan memaksanya menaiki sepeda.

"Ada apa sih, Mik?"

Arsa memindahkan ransel di punggungnya ke bagian depan. Aku langsung duduk di belakang tanpa menjawab.

"Buruan jalan!" kataku seraya menepuk punggungnya. Arsa mulai mengayuh sepedanya. Aku baru bisa bernapas lega ketika kami sudah melewati pagar sekolah.

"Ada apa sih, Mik? Nggak biasanya lu kayak gini."

Aku mengatur napas.

"Tadi pas lagi ganti baju di toilet, Bu Lia tiba-tiba keluar dari bilik toilet. Gue kaget, Sa. Kayaknya dia ngeliat luka di badan gue, deh."

"Memangnya lu nggak ngecek dulu di toilet ada orang apa nggak?"

"Nggak. Gue pikir sekolah udah benar-benar sepi. Pasti nggak ada orang lagi yang ke toilet, kan? Terus tiba-tiba Bu Lia muncul. Gue kaget banget, Sa. Jadi, gue langsung buru-buru kabur."

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now