Bab 10: MOTIONLESS

60 12 1
                                    

Perasaan kesalku pada Arsa sedikit teralihkan selama aku bekerja. Banyaknya pengunjung yang datang membuatku tak punya waktu untuk bersantai-santai. Masih banyak barang dan harga yang belum bisa aku ingat. Terkadang aku salah memberikan pesanan pembeli, tapi Kak Dira selalu membantuku. Dia sama sekali tidak marah, justru memaklumi kesalahanku karena aku masih baru bekerja di tokonya. Namun, begitu aku menaiki angkot untuk pulang ke rumah, aku teringat pada Arsa yang mengejar angkot dengan sepedanya.

Rasa kesalku padanya kembali muncul. Seandainya dia tidak memanjatkan doa itu, pasti perasaanku masih akan baik-baik saja malam ini. Padahal, kami sudah berteman sejak kecil. Dia tahu semua penderitaan yang aku alami. Untuk apa dia memanjatkan doa agar ayah diberi umur panjang dan rejeki berlimpah? Ayah tidak akan pernah mengingatku bila dia punya banyak uang. Yang dia ingat hanya minuman dan wanita.

Ketika aku sampai di depan pagar rumah, mobil ayah sudah terparkir di garasi. Ayah pulang cepat malam ini. Pasti dia sudah tidak punya uang lagi untuk membeli minuman. Baguslah. Setidaknya malam ini aku bisa beristirahat dengan tenang. Kalau ayah pulang dalam keadaan tidak mabuk, biasanya suasana rumah menjadi sangat tenang. Andai saja suasana rumah bisa seperti ini terus, pasti sangat menyenangkan.

"Malam, Yah."

"Malam, Mika. Kamu baru pulang?"

"Iya, Yah. Mika ke kamar dulu."

Aku melewati ayah yang sedang asyik menggonta-ganti saluran televisi dan berjalan menuju kamar. Betul, kan? Ayah lebih baik tidak punya uang supaya dia tidak mabuk-mabukan lantas memukuliku. Setelah membersihkan diri, aku mengeluarkan semua isi tas sekolah. Aku merapikan buku-buku yang tadi dipakai di sekolah dan menyusunnya berdasarkan ukuran buku. Mulai dari yang paling besar sampai yang paling kecil. Aku juga meletakkan kotak pensil di sebelah buku-buku yang sudah tersusun rapi.

Aku menatap buku milik Arsa yang tidak ikut kususun. Tadinya aku mau membaca tulisannya yang akan kuterjemahkan untuk tugas pelajaran bahasa Inggris, tapi hatiku kembali kesal. Aku masukkan kembali buku itu ke dalam tas bersama dengan buku pelajaran yang akan dipakai besok. Entah kapan aku akan membacanya. Mungkin besok, lusa, atau minggu depan. Dan entah kapan aku akan menerjemahkannya.

Mumpung ayah dalam keadaan waras, aku ingin tidur cepat malam ini. Rasanya lelah sekali. Sebelum tidur aku mengobati luka-lukaku terlebih dahulu. Perih, tapi harus kutahan agar lukanya cepat sembuh. Saat hendak mengoleskan obat di punggungku, aku teringat pada kejadian di toilet sekolah tadi siang. Pasti Bu Lia melihat luka di punggungku dan dia akan memanggilku ke ruangannya. Setelahnya, Bu Lia akan memanggil ayah untuk dimintai keterangan. Aku tertunduk lemas. Kenapa banyak kejadian yang membuatku kesal hari ini?

Aku meletakkan salep dan cutton bath di meja belajar kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Aku pusing. Seperti ada batu besar yang menindih kepalaku sehingga membuatku tidak bisa berpikir. Menyebalkan sekali. Aku tidak ingin bertemu Arsa. Aku juga tidak ingin bertemu Bu Lia besok. Aku menggaruk-garuk kepala dengan kedua tangan kemudian mengembuskan napas.

Apa aku tidak usah berangkat sekolah besok?

Sepertinya itu ide bagus. Ya... aku tidak akan sekolah besok. Aku malas bertemu mereka. Lagipula, ayah juga tidak akan berada di rumah karena harus bekerja. Jadi, aku bisa bersantai-santai sesukaku. Siang harinya baru aku berangkat ke toko Kak Dira. Aku tersenyum puas. Ternyata, otakku cukup bisa diandalkan.

Aku berjalan mengambil tas sekolah yang kuletakkan di kursi dan merogoh saku di dalamnya. Mendadak jantungku berdebar kencang. Aku mengeluarkan kembali semua isi tas dengan cepat dan memeriksa semua kantongnya. Ponselku tidak ada. Aku memeriksa meja belajar dan tempat tidur, tetapi aku tidak menemukannya. Bagaimana ini? Bagaimana kalau Kak Arun meneleponku dan aku tidak menjawab? Dia pasti khawatir dengan keadaanku.

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now