01. Bukan Pertemuan Biasa

814 69 2
                                    

Suasana kamar sore ini bagaikan kapal pecah. Lemparan baju menumpuk di salah satu sudut kamar, sementara sudut-sudut lainnya menampung timbunan sepatu, skincare dan barang-barang kecil lainnya.

Aku berjalan pelan di antara tumpukan barang-barang, mencoba melihat dengan lebih saksama semua barang-barangku.

Kemeja biru ini terlalu santai untuk bertemu klien.

Sepatu hitam dengan hiasan Kristal Swarovski terlalu formal untuk berkeliling melihat-lihat lokasi klien.

Tabir surya yang baru saja kubeli kemarin kurang tinggi kandungan SPFnya untuk melindungi kulitku selama menyisir resor tepi pantai.

Aku menyerah, menatap hampa kearah koper yang masih juga kosong dari setengah jam yang lalu.

"Belum selesai packing-nya?"

Aku menoleh kearah pintu kamar dan mukaku otomatis merengut. "Jani bingung harus bawa apa untuk perjalanan bisnis besok, Ma."

Mama berjalan mendekatiku yang terduduk di tengah-tengah chaos yang terjadi di dalam kamar. Melihat gerakan matanya, aku tahu pasti Mama tengah menyisir semua kekacauan yang terjadi. Mengingat kamarku yang tidak terlalu luas, dalam hitungan detik Mama sudah menyusulku duduk di atas ranjang.

"Berangkat jam berapa besok?" tanya Mama seraya melipat beberapa pakaian yang diambilnya saat berjalan mendekatiku.

"Jani masih ke kantor dulu besok pagi. Mungkin lepas makan siang, tergantung atasan Jani sih, Ma," jawabku mengingat-ingat informasi yang diberikan beberapa hari yang lalu terkait perjalanan dinas ini.

"Hanya pergi berdua saja?" tanya Mama.

"Ada sopir kantor dan sekretaris divisi ikut juga."

"Sekretarisnya perempuan kan ya?"

Aku mengangguk.

"Syukurlah, Mama kira kamu pergi dengan pria saja."

"Enggak mungkin dong, Mama. Jani kan sudah cek juga sebelumnya akan pergi dengan siapa saja. Jani pasti menolak pergi kalau tidak ada perempuan lain yang ikut," ujarku sebelum menggamit lengan Mama dan memeluknya erat.

"Sebaiknya memang begitu." Mama tersenyum puas mendengar jawabanku.

Mama memang paling khawatir kalau sudah menyangkut urusan pria, walaupun pria itu atasanku atau klien sekalipun. Haram hukumnya aku berduaan saja dengan pria. Tidak heran di usiaku yang menjelang seperempat abad ini, aku belum pernah berpacaran.

"Mama datang ke kamar bukan untuk menginterogasi terkait perjalanan bisnis besok saja kan?" tanyaku masih menggamit manja lengan Mama. Berapapun usiaku, sepertinya aku akan selalu menikmati kegiatan ini.

"Sebenarnya iya, sekarang Mama sudah mau keluar lagi, masih ada pesanan makanan yang belum Mama cek," jawab Mama dengan kedua alis diangkat, sebuah sinyal yang sudah kuhapal bertahun-tahun kalau Mama sedang bercanda.

"Ah, Mama," ujarku merajuk, walau tahu pasti Mama tidak serius. "Bantu Jani packing dong, Ma. Jani enggak tahu mana saja yang harus dibawa," lanjutku cepat.

"Benar-benar ya kamu. Memang tidak bisa packing sendiri? Ini kan bukan perjalanan bisnis pertama kamu."

"Beda rasanya kalau Mama bantu dengan Jani packing sendiri. Pasti ada saja yang terlewat saat packing sendiri, seperti kemarin waktu mau ke Puncak. Untung Mama lihat isi tasnya, kalau tidak bisa-bisa Jani kedinginan di sana," ujarku mengingat kejadian terakhir kali packing.

"Itu kamu saja yang aneh. Pergi ke Puncak kok bisa lupa bawa pakaian hangat?"

"Sudah terlalu semangat soalnya. Lagi pula, Mama kan pasti melakukan pengecekan terakhir," jawabku yakin dan melempar senyum lebar ke arah Mama.

"Dasar," balas Mama pelan kemudian mengacak-acak rambutku.

Sepuluh menit kemudian, akhirnya packing selesai dengan arahan Mama akan barang-barang apa saja yang harus dibawa. Padahal Mamaku ini tidak pernah bekerja di kantor, tapi dia tahu persis apa yang harus disiapkan untuk sebuah perjalanan bisnis. Eh, tidak hanya masalah seperti ini, Mamaku itu banyak tahu hal-hal lain.

Tidak salah kan kalau aku sangat mengadalkannya?

***

Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, akhirnya kami berempat tiba juga di lokasi tujuan. Aku bergegas melompat turun dari kendaraan bermaksud mencari kamar kecil segera. Sepanjang perjalanan tadi, sopir memang tidak berhenti sama sekali di rest area, demi mengejar sampai di lokasi sebelum sore.

Resor Kejora Malam yang terletak tidak jauh dari Pantai Sambolo memiliki desain bergaya Mediterania. Sesuai dengan asal kata desain Mediterania yang mengacu pada bangunan-bangunan di pesisir laut Mediterania, desain ini mengedepankan keselarasan alam sekitar dengan bangunan. Material yang digunakan untuk membangun kebanyakan bersifat alami dari alam, seperti batu alam dan tanah liat yang banyak menghiasi dinding resor.

"Kamu tahu kenapa namanya Kejora Malam?" tanya Pak Dani, atasanku, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku.

"Mungkin karena kita dapat melihat keindahan matahari terbenam di Pantai Sembolo yang bisa disaksikan dari resor ini?" tebakku. Aku memang sudah melakukan riset terkait resor ini sebelumnya. Tidak hanya semua hal tentang resor, tapi juga lokasi-lokasi yang berada di sekelilingnya. Sebuah ketentuan standar yang wajib dilakukan sebelum bertemu klien, agar lebih mengenal sebelumnya.

"Salah satunya itu," seru Pak Dani mengomentari tebakanku.

"Salah satunya? Berarti ada banyak alasan?" tanyaku penasaran.

"Betul," jawab Pak Dani. "Alasan utamanya karena sang pemilik ingin setiap orang yang menginap di resor ini menemukan kebahagiaan di malam hari. Resor ini menawarkan banyak aktivitas yang hanya bisa dilakukan di tempat lain pada siang hari, seperti kelas-kelas keterampilan seperti memasak atau menyulam. Supper yang disediakan di restoran layaknya sarapan pagi dengan metode prasmanan, sehingga tamu tidak akan pernah kelaparan di malam hari."

"Untuk apa mereka melakukan semua itu? Malam kan waktunya beristirahat," tanyaku penasaran. Terus terang saja ini pertama kalinya aku mendengar sebuah konsep yang menurutku aneh.

"Justru itu," balas Pak Dani cepat. "Pemilik resor ini tidak suka mengotakkan konsep pagi, siang dan malam. Menurutnya, setiap orang memiliki gaya yang berbeda. Bukankah ada orang yang lebih produktif di malam hari dibandingkan siang misalnya?"

Aku mengangguk menyetujui ucapan Pak Dani. "Sebuah pemikiran yang tidak biasa ya," komentarku akhirnya.

"Begitulah. Itu mengapa kita harus meyakinkan pemilik resor ini untuk menyerahkan pembangunan resor berikutnya ke perusahaan kita. Saya sangat tertarik memahami pemikiran-pemikirannya yang tidak biasa."

"Bapak sudah pernah bertemu dengan pemiliknya sebelumnya?"

Pak Dani menggeleng. "Tetapi hari ini kita akan bertemu, yuk kita masuk sekarang," ajak Pak Dani.

"Saya cari toilet dulu ya Pak, sebentar," ujarku teringat tujuan awal keluar lebih dahulu dari mobil. Selepas Pak Dani mengiyakan dan meninggalkanku untuk mencari toilet, aku bergegas bertanya pada pegawai resor yang kutemui untuk lokasi toilet terdekat.

Untung saja letak toilet terdekat dari lokasi parkir tidak membutuhkan waktu lama untuk ditemukan, sehingga aku tidak perlu tersesat mengelilingi resor yang cukup luas ini. Baru saja aku melangkah menuju toilet wanita, tiba-tiba saja tubuhku beradu dengan tubuh orang lain.

"Ah maaf." Sebuah suara dengan cepat keluar dari mulut pria yang baru saja menabrakku. Ia berusaha menahan tubuhku yang terasa oleng dan hampir saja terjatuh. Aku menolak pegangan tangannya dan berusaha menyeimbangkan diri sendiri.

"Hmm, tipe perempuan yang tidak ingin menyusahkan orang lain," seru pria itu sesaat setelah aku berhasil menyeimbangkan tubuh. "Menarik," lanjut sang pria ketika aku membalas tatapannya.

Belum sempat aku menanyakan maksud ucapannya, pria itu telah menghilang dari hadapanku. Bukan pertama aku mendengar ucapan ini, tetapi kali ini terdengar berbeda. Segera aku berbalik untuk melihat pria itu lebih saksama, namun ia sudah menghilang dari pandangan.

Entah mengapa aku memiliki firasat akan bertemu kembali dengannya.

***

Bukan Salah CintaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ