03. Bukan Ingatan yang Istimewa

369 53 2
                                    


Baru saja aku menempelkan ID card untuk membuka pintu otomatis masuk ke area lobi, sebuah suara kencang memanggil dari arah belakang.

"Janiiiii..."

Otomatis aku menoleh dan seketika membalas lambaian Rani, teman sekantorku, tidak kalah semangatnya.

"Ya ampun, gue dari tadi enggak yakin mau panggil lo. Rambut baru ya?" tanya Rani langsung ketika kami berdua tengah menunggu lift.

Aku mengangguk, tidak sempat membalas pertanyaan Rani karena lift kemudian terbuka dan kami berdua berjuang memasukinya. Senin pagi memang selalu luar biasa.

"Kok potong model shaggy lagi sih? Terakhir kali lo potong rambut, model ini juga deh," ujar Rani setelah kami kembali berdiri bersisian di dalam lift.

"Malas memikirkan gaya rambut lain," bohongku, teringat saat-saat memilih model rambut akhir pekan kemarin. Seketika bayangan model rambut pixie cut dengan poni acak menari-nari di benakku. Ah, seandainya saja kemarin aku pilih model rambut itu, Rani pasti terpukau.

"Padahal lo keren deh kalau dipotong pendek di atas tengkuk gitu. Seksi."

Pikiranku kembali melayang pada ucapan Mbak Tyas di salon kemarin.

"Gue kalau punya aset kayak lo sih, gue maksimalkan," lanjut Rani tanpa menunggu komentarku.

"Aset apa?" Delikku ke arah Rani.

"Leher lo jenjang kali, seksi banget pasti kalau rambut lo pendek."

Aku meraba-raba bagian belakang leher yang tertutup rambut, seumur-umur memang tidak pernah sekalipun aku memamerkan bagian leher belakang. Bahkan ketika menguncir rambut saja, kuncirannya selalu jatuh menutupi tengkukku.

"Eh, Pak Dani tuh. Cari lo deh kayaknya, gue ciao dulu ya ke pantry, belum sarapan," bisik Rani setelah kami keluar dari lift. Tidak sampai hitungan menit, Rani sudah menghilang dari pandanganku. Tersisa aku dan Pak Dani yang ternyata memang berjalan mendekatiku.

"Jani, syukurlah kamu sudah datang," seru Pak Dani setelah kami berada dalam jarak nyaman komunikasi.

"Eh, selamat pagi, Pak," sapaku sopan. "Ada yang harus saya lakukan,Pak?" tanyaku kemudian.

"Terkait survei lokasi kemarin, Jani. Klien sudah memberikan konfirmasi balik."

"Wow, secepat itu Pak?" Sepanjang pengalamanku, klien membutuhkan waktu 4-5 hari, bahkan seminggu, untuk mempelajari setiap proposal yang diajukan sebelum memberikan tanggapan. Sementara kami baru saja melakukan survei lokasi minggu lalu dan proposal baru diajukan Jumat minggu lalu. Itu juga baru aku kirimkan sore menjelang jam pulang kantor.

"Karena itu saya butuh bantuan kamu segera. Mereka sepertinya sangat tertarik dengan proposal kita. Kita harus secepatnya membalas surel mereka."

Aku mengangguk sebelum membalas ucapan Pak Dani. "Baik, Pak. Segera saya ke ruangan Bapak membawa semua data-data terkait survei lokasi kemarin."

Aku bergegas ke arah meja kerjaku, yang terletak berlawanan arah dengan ruangan Pak Dani. Setelah mengumpulkan semua dokumen yang diperlukan, foto-foto hasil survei serta perhitungan biaya yang telah dikalkulasikan oleh tim project management, aku berjalan ke ruangan Pak Dani. Perjalanan ke ruangan Pak Dani membuatku harus melintasi pantry. Mengingat ada Rani di pantry, aku sudah dapat menebak sahabatku itu akan mencegatku, mencoba mencaritahu apa yang sedang kulakukan.

"Pasti berhubungan dengan survei lokasi lo kemarin kan?" bisik Rani tidak lama setelah berhasil menarikku masuk ke area pantry sejenak.

Benar kan tebakanku.

"Apalagi. Kerjaan gue yang paling urgent sekarang ini," jawabku cepat.

"Kok cepat banget sih mereka balas proposal kita?" ujar Rani menanyakan pertanyaan sejuta umat.

Aku mengedikkan kedua bahu. "Entahlah, tapi gue harus segera ke ruangan Pak Dani nih," ujarku gusar, tidak enak membiarkan atasanku itu menunggu.

"Dengar-dengar, owner-nya rese. Lo harus hati-hati."

"Rese gimana? " tanyaku balik, tiba-tiba lupa kalau harus bergegas ke ruangan Pak Dani.

"Iya. Aneh dan banyak mau. Terus inginnya semua berjalan cepat," jelas Rani penuh semangat. Wanita berambut panjang sepundak itu tiba-tiba mengubah intonasi suaranya dan memandangku lekat, "Jangan-jangan mereka cepat-cepat membalas proposal kita karena tidak ada perusahaan lain yang mau pegang proyeknya."

"Ah, negative thinking saja deh lo," gelakku tertahan. Maklum, masih pagi hari, tidak enak juga kalau pagi-pagi sudah menjadi sumber polusi suara. "Gue justru dengar langsung dari Pak Dani kalau pemiliknya tuh punya banyak ide kreatif dan out of the box."

"Nah itu, itu," sergah Rani tiba-tiba. "Out of the box tuh sama saja dengan aneh dan banyak mau."

"Gue justru penasaran lo. Sepertinya akan banyak ide kreatif yang dilontarkan, kelihatannya malah owner tersebut akan seru dan menyenangkan," kilahku.

Rani hanya memutar kedua bola matanya mendengar komentarku, sebuah tanda kalau dia enggak setuju sama sekali dengan pemikiranku.

***

"Sepertinya sudah semua," tutup Pak Dani setelah memeriksa ulang semua dokumen yang aku berikan. "Hari ini tolong kamu buat draft surelnya ya, nanti kirimkan ke saya dahulu untuk saya cek."

"Hari ini juga kita balas, Pak?" tanyaku ulang memastikan. "Soalnya ada dua klien yang juga menunggu balasan dari kita hari ini."

"Iya, harus hari ini. Mereka menunjukkan ketertarikan yang sangat kuat dengan perusahaan kita, jangan sampai kita kehilangan momentum. Dua klien yang lain tolong kamu delegasikan ke timnya Sandra saja. Saya butuh kamu fokus di sini."

"Baiklah, Pak."

Ketika tengah membereskan semua dokumen-dokumen yang kubawa, tiba-tiba saja aku teringat sesuatu.

"Kalau tidak salah ingat, resor yang akan dibuat ini baru beroperasi paling cepat tiga tahun lagi. Kenapa mereka buru-buru sekali membangunnya? Satu tahun saja cukup kan sebenarnya."

Pak Dani mendongak dari layar laptop dan melepas kacamatanya sebelum memberikan jawaban. "Kamu ingat kan saya bilang kalau pemiliknya memiliki pemikiran yang tidak biasa?"

Aku mengangguk.

"Sepertinya akan banyak ide-ide yang tidak umum dilontarkannya untuk pembangunan resor ini. kamu tahu kan semakin kompleks permintaan, semakin lama waktu pengerjaannya?"

Aku kembali mengangguk.

"Karena itulah kita membutuhkan waktu pengerjaan yang cukup, untuk memastikan semua idenya terlaksana."

"Ah, seperti itu." Seketika ide mengerjakan proyek ini jadi begitu menarik untukku. Aku selalu suka terlibat dalam sebuah proyek-proyek yang tidak biasa. Semoga saja kalau nanti benar perusahaan ini memenangkan tender, aku dapat bergabung dalam tim yang bertanggung jawab mengerjakan proyek pembangunannya. "Oh iya, Pak," seruku kembali teringat sesuatu. "Kemarin kita belum bertemu dengan owner-nya, sepertinya beliau sosok yang misterius ya?"

"Oh, kita memang tidak bertemu langsung saat meeting kemarin. Tetapi sebelum pulang saya sempat bertemu dengannya, kamu juga bertemu dengannya kok."

"Benarkah? Kapan? Kok, saya tidak ingat ya Bapak mengenalkan saya dengan sang owner."

"Oh, bukan, kita tidak bertemu bersama-sama, Jani. Menurut sang owner, dia sudah bertemu denganmu sebelumnya. Jadi, saya pikir saya tidak perlu mengenalkan kalian berdua."

Aku mengernyit, mencoba mengingat-ingat perjalanan hari itu. Sampai keluar ruangan Pak Dani dan kembali ke meja kerja, aku masih tidak dapat mengingat pertemuanku dengan sang owner.

Ah, sepertinya Pak Dani mulai pikun. Pasti dia salah dengar.

*** 

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now