17. Bukan Kebetulan

212 37 1
                                    

Setengah berlari aku menyejajarkan langkah Pak Ivan, sesekali menoleh ke belakang, untuk memastikan apa yang kulihat itu, adalah benar-benar Mama.

"Ada apa, Jani? Siapa yang kamu cari?" tegur Pak Ivan mengejutkanku.

"Ti-tidak ... tidak ada apa-apa. Oh, ya, Bang, ngomong-ngomong kapan sih ulang tahun Ibumu?" Aku mengalihkan kecurigaan pria itu.

"Lho, bukannya tadi saya sudah bilang."

Ups, aku salah bicara.

"Iya, saya tahu acaranya hari minggu, maksudnya jam berapa?"

"Pukul 12 dari apartemen, saya langsung jemput kamu." Ucapan Pak Ivan membuatku terkesiap.

"Kenapa harus menjemput saya, Bang?"

Tiba-tiba Pak Ivan menghentikan langkahnya dan menatapku tajam. Tentu saja aku gelagapan menghadapinya.

"Ada apa, Jani? Katakan pada saya, apa yang kamu lihat tadi."

"Bang Ivan belum jawab pertanyaan saya, malah nanya balik," elakku.

Sebisa mungkin aku berusaha menghindari pertanyaannya. Aku tidak ingin dia tahu tentang kecurigaanku pada Mama. Lagi pula aku sama sekali tidak tahu, apakah kecurigaan ini beralasan.

"Sudahlah, Jani—saya hargai jika kamu belum ingin bercerita, tapi ketika kamu butuh seseorang untuk mendengarkanmu, saya siap."

Perasaan aneh itu kembali mendesir, aku tidak mengerti kenapa sikap Pak Ivan seperti itu. Kembali melintas ucapan kapster di salon tadi, tidak mungkin seperti ini sikap antara sesama mitra bisnis.

Kami melangkah beriringan menuju ke area parkiran dan yang kembali mengejutkan, Pak Ivan membukakan pintu mobil untukku. Perlakuannya membuatku jengah.

"Maaf, Bang, biar saya buka sendiri saja, saya jadi enggak enak. Bukankah Abang klien perusahaan kami."

"Lalu, ada yang salah?" tukas pria itu.

Aku mengedikkan bahu dan memilih diam. Aku mulai terbiasa dengan sikapnya yang kuartikan sebagai seseorang yang tidak suka dengan penolakan. Namun, yang lebih mengherankan, aku sulit menolak setiap keinginannya.

Di dalam perjalanan pulang kami lebih banyak diam. Benakku masih dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Mengapa Mama tidak pernah bercerita tentang kedekatannya dengan seorang pria. Rasanya tidak mungkin jika hanya teman biasa, karena sudah lama sekali Mama tidak berteman dengan teman pria.

Aku menepis rasa curiga itu, berusaha menghibur diri, berharap mereka hanya berteman. Namun, kalau teman biasa, kenapa harus berjalan sedekat itu. Kembali ragu mencuat di otakku.

"Non, kita sudah sampai—sesuai titik lokasi, kan? Jangan lupa bintang lima, ya," seloroh Pak Ivan yang bersikap seolah dia adalah pengemudi taksi online.

Mendengar gurauannya, aku pun tertawa. Aku membuka seat belt dan meraih kantong belanja di kaki yang sempat terabaikan tadi.

"Jani, besok saya tidak ke kantormu, ya... jadi jangan kangen." Ada nada bucin di sana.

"Iya, Bang, terima kasih untuk malam ini, dan hadiahnya juga," balasku setelah berhasil meredakan kekikukan mendengar ucapannya. Pak Ivan menyahut dengan nada yang santai.

"Jangan lupa—hari minggu siang aku jemput kamu, ya."

"Oke, Bang." Aku melambaikan tangan dan melangkah masuk ke halaman rumah. Sepertinya Mama sudah tiba di rumah. Aku membuka pintu yang tidak terkunci dan melihat Mama, yang masih berpakaian lengkap. Sepertinya Mama baru saja masuk ke rumah.

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang