08. Bukan Hanya Kejutan

270 51 2
                                    


Sabtu pagi, arunika mengintip malu-malu di sela ventilasi jendela kamarku. Kupastikan persiapan untuk company gathering lengkap. Ups tidak! Aku tidak sedang membuat persiapan untuk acara bersama teman-teman kantor. Melainkan hanya untuk presentasi ke klien. Batinku kembali menegaskan, bahwa seusai presentasi aku harus pulang.

Aku mengeluarkan kembali, sebagian pakaian yang sudah dikemas. Toh aku tidak akan bermalam di sana.

Huf! Aku menghela napas berat. Ah sudahlah, masih untung Mama mengizinkan aku pergi.

"Jani ... sudah selesai packingnya? Yuk sarapan dulu." Teriakan Mama membuatku bergegas merapikan kembali travel bag di hadapanku.

"Iya, Ma ... ini sudah kelar, kok."

"Kamu tidak perlu membawa banyak pakaian, toh nanti malam langsung pulang." Mama seolah ingin menegaskan, jangan sampai aku melanggar janji.

"Ya, Mama Sayang—selesai presentasi, Jani langsung pulang," janjiku seraya mengangkat kedua jari dan menempelkan ke dahi kanan.

Entah kenapa, aku tidak begitu semangat untuk berangkat kali ini.

***

Awalnya Pak Dani tidak setuju, saat aku utarakan rencana untuk pulang usai presentasi. Beliau berharap, aku bisa berbaur dengan rekan-rekan yang lain untuk merefresh pikiran, agar tumbuh semangat kerja yang baru. Namun, setelah kujelaskan perihal Mama dan kupastikan tidak akan mengurangi etos kerja, akhirnya Pak Dani menyetujuinya.

Kami pun berangkat. Aku ditemani Rani dan Reza. Agar aku tidak letih berkendara saat pulang nanti, Reza menawarkan diri untuk menyetir mobil menuju Anyer. Sepanjang perjalanan, Reza dan Rani berganti-ganti melontarkan canda dan saling membully, membuatku tidak berhenti tertawa. Sejenak mengaburkan keresahan yang sedari pagi tadi sempat mengacaukan benakku. Entah apa sebabnya.

Sembari mengendarai mobil, Reza juga memberi petunjuk padaku untuk menempuh jalan-jalan tertentu agar terhindar dari macet. Akhir pekan seperti ini, kawasan wisata pantai adalah tujuan favorit warga Jakarta, jadi wajar jika jarak tempuh antar Jakarta-Anyer yang seharusnya hanya 2,5 jam—bisa molor sampai hampir 4 jam. Bahkan kalau tidak pintar-pintar menyiasati bisa sampai 6 jam.

"Jani, sebaiknya lo minta izin lagi ke Mama, deh. Gue khawatir kalau lo harus pulang sendiri malam nanti," pinta Rani.

"Menurut gue juga begitu sih, lo cewek loh, riskan banget jalan malam sendirian." Reza memperkuat usul Rani.

"Kalian ini bagaimana, sih? Jangan bikin aku cemas dong, mending doain biar aku selamat pas pulang nanti. Lagian kita juga belum nyampe, sudah ngomongin pulang saja," elakku.

Rani dan Reza serentak mengedikkan bahu, saling menatap dan mencebik.

"Tuan Putri satu ini memang lembut tutur kata dan geraknya, tapi keras kepala," gerutu Rani.

Aku tersenyum menanggapi omelan sahabatku itu.

***

Sesampainya di Anyer, kami pun langsung menuju resor Kejora Malam. Ini kali kedua aku datang ke tempat ini. Seusai santap siang sebagai jamuan penyambutan, kami segera menuju kamar untuk beristirahat sejenak. Aku dan Rani menempati kamar di lantai 2 sayap kanan resor. Beruntung sekali kami menempati kamar ini, karena begitu membuka jendela, netra langsung dimanjakan oleh pemandangan laut yang indah. Sejuk pawana menerpa wajahku, ah nikmatnya.

"Apa lo merem-melek gitu, Jani? Lagi ngehalu ya?" Suara Rani yang katanya mirip Mawar de Jongh, pelantun lagu 'Sedang Sayang-Sayangnya' membuyarkan kenikmatan angin laut yang tengah membelai sanubariku.

"Apaan sih, Ran—lo itu bener-bener bikin gue ngerasa ditinggal pas lagi sayang-sayangnya."

"Eh, lu kenapa? Lagi fall in love ya? Sama siapa? Cerita dong!" cecar Rani bertubi-tubi.

Aku melengos meninggalkan Rani dengan tatapan sejuta tanya. Kuempaskan tubuh di kasur empuk sesuka hati.

"Yaela, malah molor."

**

Aku mematut diri di depan cermin. Aku memilih gaun kemeja V-neck panjang hingga betis dari bahan cotton lembut warna coklat muda, yang kupadu dengan jaket stretch berwarna senada. Sementara riasan wajah, kuusahakan tetap flawless, glowing tapi tidak terlihat menor. Aku memoleskan eyeshadow coklat dan menambahkan higlighter di bagian dalam mata. Untuk bibir, aku memilih lipstik berwarna peach.

"Wow, you're look wonderful tonight, baby!" Rani berteriak mengejutkanku.

"Ih, biasa aja kali—gak usah lebay."

"Ya ampun, Non. Gue bener takjub loh. Lo terlihat feminin, halus, cantik daan dewasa."

"Apa sih, Ran—gue jengah, tau!" elakku. "Doain gue sukses dalam presentasi kali ini, ya," pintaku memelas.

"Lo kenapa kayak baru pertama kali presentasi saja, sih, Non?"

"Gak tahu, ini—gue deg-degan."

***

Aku memulai presentasi dengan pembukaan singkat, lalu menampilkan slide-slide yang terdiri dari aneka rancangan untuk kamar, restoran dan beberapa fasilitas yang akan disediakan. Mengingat sang owner, yang out of the box, maka kami menawarkan konsep kamar yang unik, elegan dan eksotis. Setiap kamar dibuat dengan konsep Glampingglamorous camping, di mana bentuk penginapan berupa tenda yang mewah. Desain penginapan yang ramah lingkungan menjadi dasar perancangan resor ini.. Perpaduan harmonis tenda dengan alam menjadi satu hal yang serasi. Tenda terbuat dari material alam ekspos di setiap sisinya. Baik dari eksterior hingga interior terdapat berbagai macam material alam seperti batang kayu atau anyaman rotan, dan sebagainya. Konsep Exotic French Touch menjadi dasar dari pendesainan yang kami tawarkan.

"Demikian, presentasi yang kami tawarkan—terima kasih dan selamat malam."

Kata penutup singkat yang aku ucapkan disambut dengan tepuk tangan sang owner dan beberapa stafnya.

Huf. Aku benar-benar lega. Meski tadi sepanjang presentasi, beberapa kali kutangkap mata Pak Ivan, pria yang bertemu dua kali denganku tanpa sengaja, yang ternyata adalah sang owner seolah mengintimidasi, menbuat kalut di benakku. Dia, yang diperkenalkan kepadaku, sesaat sebelum presentasi, sempat mengacaukan konsentrasi. Untunglah semua telah berlalu. Tinggal menunggu hasilnya saja. Berselang dua kursi dari sisi kiriku, terlihat Pak Dani tersenyum puas.

Apakah aku sukses malam ini?

***

Aku bergegas kembali ke kamar, usai berbasa-basi sejenak dengan peserta di ruang meeting, dan berpamitan pada Pak Dani. Secepat kilat kumasukkan pakaian dan peralatan ke dalam tas. Aku melirik Guess ladychic, hadiah dari Mama, di pergelangan tangan kiri, pukul 21.30 tepat. Selancar-lancarnya perjalanan, paling cepat pukul 12 malam aku tiba di rumah.

Aku langsung menuju parkiran, membuka pintu belakang mobil dan melemparkan travel bag, lalu menutup kembali dengan keras. Untung saja tadi aku sudah berpamitan dengan Rani, jadi tidak perlu mengganggu acara malam minggu mereka. Ditambah lagi aku harus buru-buru, jika tidak ingin kemalaman sampai di rumah.

Kemalaman? Kepagian barangkali. Aku mendengkus, mentertawakan kebodohanku.

Tepat saat aku membuka pintu mobil, sebuah tangan kekar menangkap jemariku. Gerakanku tertahan, berdegup kencang jantungku. Refleks aku menoleh ke wajah si pemilik tangan, bersiap akan berteriak.

"Aku akan mengantarmu pulang, bahaya seorang perempuan mengendarai mobil sejauh ini, tengah malam begini." Suara dengan aksen berat itu amat mengejutkanku. Wajah pria itu membuatku batal berteriak.

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now