13. Bukan Kencan

240 44 1
                                    


Aku mengendarai mobil di tengah kemacetan jalanan ibu kota. Restoran yang kutuju, berdasarkan usulan Pak Ivan, sebenarnya tidak jauh dari kantorku. Hanya saja, di saat-saat jam pulang kerja seperti ini, tentu saja tidak mungkin ditempuh dalam waktu yang singkat. Tadinya, Pak Ivan menawarkan pergi bareng, tapi aku menolak.

Restoran yang menyajikan makanan ala western menjadi pilihan. Aku mengiyakan saja ketika Pak Ivan menyebutkan sebuah nama tempat makan di daerah Menteng, yang cukup terkenal. Tugu Kunstkring Paleis. Saat memasuki resto, dari jauh aku melihat pria itu melambaikan tangan, ternyata ia sudah tiba lebih dahulu.

Restoran dengan gaya klasik, yang masih mempertahankan bangunan asli, katanya gedumg ini dibangun di zaman Belanda. Tempat ini memang nyaman untuk ngobrol seputar bisnis. Aku melangkah, kagum dengan dekorasi di ruangan ini. Banyak terdapat patung, lukisan, lampu gantung, lemari, juga berbagai dekorasi yang berbeda dari restoran lainnya. Meja Pak Ivan berada di ruangan yang bertema Cina klasik, bergelantungan lampion berwarna merah.

"Maaf, Pak. Tadi agak macet di jalan, jadi saya terlambat tiba di sini," ujarku setelah sampai di hadapan Pak Ivan. Aku merasa kikuk, karena ia harus menunggu.

"Tidak apa-apa, saya juga baru sampai, kok," sahut pria itu, "Eh, Jani ... gak usah lagi panggil Bapak, toh kita tidak sedang berada di kantor. Berasa tua kali aku dipanggil Bapak."

"Maaf, jadi bagaimana saya harus panggil Bapak?"

"Apa saja boleh, panggil Bang Ivan pun gak keberatan aku. Eh, Jani ... kuperhatikan dari tadi berkali-kali kamu minta maaf, sudah kayak lebaran saja rasanya."

Aku tersenyum simpul mendengar selorohan pria berjenggot tipis itu. Ternyata dia bisa juga bercanda. Tadinya aku kira, Pak Ivan rada temperamen. Teringat saat presentasi beberapa hari yang lalu di resor Kejora Malam. Raut wajahnya tampak kaku, ketika sekretarisnya salah membawa berkas yang dibutuhkan. Ia membentak wanita itu, karena lalai melakukan tugasnya. Sekretarisnya terlihat ketakutan dan sesegera mungkin berlari meninggalkan ruangan, untuk mengganti berkas yang salah itu.

"Selamat malam, Pak—Bu, ada beberapa menu andalan restoran kami, yang cocok untuk menemani makan malam yang istimewa ini."

Sok tahu banget ini pelayan, apanya yang istimewa. Aku membatin.

"Saya pesan Kungpao Stuffed Crispy Duck dan orange squash, kamu mau pesan apa, Jani?"

"Kippen batavia tangkar dan iced lemoh tea.

"Baik, ada tambahan lain?"

"Bitterballen saja, Mas," ucap Pak Ivan pada pelayan tersebut.

Sepeninggal si pelayan, kesunyian menyergap tiba-tiba. Ada rasa sungkan, ketika bersama pria, yang merupakan klien perusahaan kami.

"Santai saja, Jani ... gak usah malu-malu." Suara pria itu mengejutkanku.

"Maaf, Pak—eh, Bang. Boleh saya tahu kenapa memilih saya untuk memegang proyek itu, bukankah kemarin Abang berjanji akan memberitahu."

"Tidak semua pilihan butuh alasan, dan saya juga tidak perlu alasan untuk tidak mengatakannya," kilah pria itu lagi.

"Kalau begitu, saya juga berhak untuk tidak menerima tawaran itu, tanpa harus memberikan alasan."

"Ah, pintar kali kamu berkilah." Pria itu tertawa, hingga menampilkan sebaris gigi putih. Menarik.

Ups. Aku menepis kekaguman yang sempat terlintas di pikiranku. Tanpa sadar aku menepuk dahi. Berupaya menghapus rasa aneh yang berkelebat.

"Kenapa, Jani? Lepaskan saja tawamu, tidak perlu ditahan. Nikmati hidup ini, Jani. Jangan sembunyikan perasaanmu."

Aku terperanjat mendengar ucapan pria itu. Entah kenapa, ia seolah mampu membaca pikiranku. Jani, kamu gak boleh mikir-mikir macam-macam, nanti ketahuan sama pria itu. Ia bisa tau, sesuatu yang masih kita canangkan.

Untung saja pelayan datang mengantar pesanan kami, hingga aku terbebas sementara dari rasa tak menentu ini.

Tiba-tiba saja mangkuk sup di tangannya terjatuh ke lantai dan pecah, kuahnya tumpah dan membasahi meja dan ujung kemejaku. Aku terkejut, sontak berdiri. Ivan menyodorkan tissu kepadaku.

"Maaf, Pak ... Bu, saya benar-benar tidak sengaja." Nada suara pelayan itu terdengar pelan dan terbata-bata.

Seorang pria dengan tampang perlente, datang menghampiri. Serta merta ia memarahi si pelayan. Aku dan Ivan hanya saling memandang. Terbesit iba di hati, saat meihat wajah pria itu memelas di hadapanku.

"Tidak seharusnya Anda menarahinya, anda tidak tahu kondisi apa yang dialaminya, membuat ia tanpa sengaja menjatuhkan mangkok itu." Ivan angkat suara.

"Sudahlah, Bang, biarkan aja." Aku mencoba menengahi. Pria perlente itu menoleh ke arah Ivan.

"Maaf, Pak. Pelayan ini sudah melakukan kesalahan yang fatal, maka ia harus dipecat jika tidak mampu mengganti kerugian." Pria, yang mungkin adalah manajer restoran itu, berucap dengan keras.

"Anda tidak perlu memecatnya, Pak ... saya akan mengganti kerugian yang dia lakukan, tapi biarkan dia tetap bekerja dis ini." Ha? Harga mangkuk antik itu pasti mahal sekali.

"Jangan, Pak ... Bapak tidak perlu melakukannya. Harga mangkuk itu mahal sekali, Pak." Pelayan tersebut mencegah Ivan.

"Pak, saya akan bayar semuanya. Dan Anda tidak perlu memecatnya," tukas Ivan kepada manajer tersebut.

Luar biasa pria ini.

"Baiklah, maafkan kami, silakan Bapak dan Ibu pindah ke meja yang di sebelah sini, dan kami akan menyiapkan hidangan pengganti." Manajer tersebut mempersilakan.

Jujur saja, aku tidak menyangka Pak Ivan akan melakukan itu, jika melihat dari gaya dan cara bicaranya, ia terlihat keras dan kejam, ternyata ia mudah iba terhadap orang yang berada dalam kesulitan.

"Wah, acara kencan malam kita jadi berantakan, ya," ujar Pak Ivan santai. Sementara ia tidak tahu, hatiku mendadak bingung saat ina mengatakan itu.

Kencan katanya? Aku memutar bola mata dan mengarah kepadanya. Namun, pria itu seolah tidak memedulikan ekspresiku. Bahkan ia menikmati menu di hadapannya dengan lahap.

Ah sudahlah, mungkin dia salah bicara. Aku pun mulai mencicipi hidangan yang sudah tersaji. Kippen batavia tangkar, sejenis soto ayam tangkar dengan kuah santan yang gurih berbumbu kunyit, jeruk dan serai beriringan dengan aroma citrus yang kuat dari Fraser Gallop Chardonnay. Rasa asam yang renyah dengan jejak jeruk lemon dan jeruk nipis yang kuat, sedikit aroma mineral membuat aksen kuat santan dari soto tangkar menjadi terasa manis enak di mulut. Dilengkapi dengan acar timun dan emping, sajian ini jadi makin sempurna.

Aku dan Ivan pun menikmati makan malam kami dengan lahap, melupakan adegan yang tadi sempat membuat acara jadi tertunda. Di sela-sela makan, sesekali pria itu aku tangkap sedang mencuri pandang ke arahku. Aku sedikit jengah, ketika dia mengelap daguku yang terkena kuah soto. Ada gelenyar aneh berdesir di nadiku, saat dia melakukannya.

Aku melirik jam tangan di pergelangan, pukul 21.30. Tanpa terasa, obrolan seputar rencana proyek pembangunan resor diselingi dengan candaan ringan, yang dilontarkan pria itu, membuat kami tidak menyadari malam makin beranjak larut.

Pak Ivan melihat aku yang mulai gelisah, segera mengajakku pulang.

"Anjani, nanti saya akan mengiringimu sampai kamu tiba di rumah."

"Tidak usah, Pak ... saya tidak apa-apa."

"Jangan membantah." Ucapan tegas pria itu menandakan ia memang tidak suka dibantah.

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now