07. Titah Bukan Untuk Berdebat

300 42 2
                                    


Fail presentasi serta berkas-berkas pendukung sudah lengkap disiapkan, semua tersaji rapi di atas meja. Fail presentasi dalam bentuk dokumen powerpoint juga sudah di-print dan kopi sepuluh kali, mengikuti perkiraan jumlah peserta meeting nantinya. Seharusnya sudah tidak ada yang terlewat, semua dokumen telah siap diangkut hari Sabtu nantinya.

Satu-satunya yang enggak siap berangkat hanya aku.

Bayangan Mama dan kebun Anggrek menari-nari di benakku.

"Ngelamun saja," seru Rani sambil melambaikan tangan kanannya di depan wajahku.

"Astaga, bikin kaget," balasku sebal.

Rani mengambil kursi kosong yang ada di dekat meja kerjaku, kemudian menempatkannya tepat di seberang mejaku. Ia lalu meletakkan dua bungkusan plastik yang rupanya dibawa sejak tadi ke atas meja kerja.

"Kita makan siang dulu, gue beli kesukaan lo nih." Rani membuka salah satu plastik, mengeluarkan isinya kemudian menyodorkan kotak styrofoam putih ke arahku.

"Wah beli ketoprak di mana lo?' ujarku semringah, seketika lupa akan kekesalanku sebelumnya. Secepat kilat aku mulai mengaduk-aduk ketoprak di dalam kotak, sebelum menyuap sesendok besar ke dalam mulut.

"Enggak penting beli di mana, yang penting ada. Happy kan lo? Sahabat yang baik bukan gue?' Rani mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

Aku tergelak. "Iya, iya, the best buddy anyone could ever have!" seruku seraya mengacungkan jempol tangan kiri ke arah Rani.

"Jadi, hapus dong muka mengkerut lo itu. Reza bilang dari pagi sejak keluar dari ruangan si Boss, muka lo enggak berubah."

"Sialan Reza, hobi banget tebar gosip."

"Udah jangan salahin dia, gue yang tanya lagi," sergah Rani. "Jadi, kenapa seharian lo kayak gitu? Sudah beberapa hari lo juga enggak mau makan di luar pula. Sibuk banget ya mempersiapkan itu calon proyek baru?"

Aku menghela napas, teringat kembali dengan kegundahan hari ini.

"Yah, malah mencelos dia. Cerita dulu dong."

Aku meletakkan sendok di dalam kotak styrofoam, menghentikan sementara kegiatan mengunyah. "Sebenarnya mempersiapkan segala macam hal untuk persiapan calon proyek itu enggak memakan waktu banget sih, Ran. Bisa gue manage lah."

Rani ber-o sebelum diam kembali, memberiku tanda untuk melanjutkan.

"Tetapi tiba-tiba harus gue yang presentasi ke klien ini yang bikin ribet."

"Lo kan sudah pernah presentasi ke klien, kenapa ribetnya?"

"Bukan masalah presentasinya, itu sih memang bisa gue lakukan, tetap waktunya."

Rani menatapku bingung.

"Presentasinya dilakukan di resor Kejora Malam, saat kita company gathering."

Raut muka Rani seketika berubah, menandakan ia mulai menangkap maksudku.

"Gu sudah tanya kenapa harus gue yang presentasi, katanya karena gue yang buat proposalnya. Padahal minggu lalu saat tender proyek lain, Reza boleh mempresentasikan proposal yang gue buat. Sebelumnya gue juga pernah presentasi proposalnya Reza," ujarku panjang lebar. "Bukan masalah presentasinya yang gue keberatan, tapi waktunya. Lo paham kan?"

"Mau enggak mau lo harus ikut acara di akhir pekan dan itu berarti acara mingguan lo sama nyokap terancam batal."

"Tepat sekali."

"Eh tapi kan kali ini berbeda," sela Rani. "Lo mau enggak mau datang karena ada tugas dari kantor, bukan sekadar ngumpul-ngumpul saja. Nyokap lo harusnya enggak keberatan dong. Lo bilang nyokap sangat support segala hal terkait pekerjaan?"

"Iya sih, tapi tetap saja dia akan kecewa dan pasti mempertanyakan kenapa harus dilakukan di akhir pekan? Memangnya tidak ada yang bisa menggantikan? Semacam itu deh pertanyaan-pertanyaan yang pasti terlontar."

"Lo selama ini enggak pernah skip aktivitas akhir pekan kalian ya?"

Aku menggeleng.

"Bahkan saat-saat sekolah atau kuliah, ketika sering banget ada undangan acara akhir pekan atau camping gitu?"

Aku kembali menggeleng.

"Kok bisa?"

"Akhir pekan satu-satunya waktu gue bisa quality time dengan nyokap. Sejak nyokap cerai dari bokap, dia selalu memastikan aktivitas rutin ini berjalan. Nyokap berpikir dulu dia enggak cukup meluangkan waktu untuk bokap sampai bokap akhirnya mencari perhatian perempuan lain, sekarang dia enggak mau gue merasakan hal yang sama."

Rani menghela napas, sepertinya dia sudah tertular kegundahanku.

***

Masih menghindari pembicaraan dengan Mama, hari ini aku memutuskan pulang lebih malam, agar tidak perlu bertemu Mama lama-lama. Aku paling enggak bisa bohong sama Mama, tadi pagi saja aku hampir ketahuan. Mama selalu tahu kalau ada perubahan sekecil apapun yang terjadi padaku.

Sekali lagi aku mengecek jam di ponsel, memastikan benar sudah pukul sebelas malam, sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil. Sudah hampir dua jam aku memarkir kendaraan beberapa blok dari rumah, memastikan pulang cukup malam sebelum sampai di rumah.

Baru saja aku mematikan mesin mobil dan mengambil tasku, aku melihat bayangan Mama duduk di kursi teras.

"Malam sekali pulangnya, nak," sapa Mama tidak lama setelah aku keluar dari dalam mobil.

"Eh, masih banyak pekerjaan tadi, Ma. Mama kok belum tidur jam segini?" balasku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Mama mau tunggu kamu. Tadi pagi sepertinya kamu lelah sekali, seperti ada yang mengganggu pikiranmu. Jadi tadi Mama buat kue kesukaanmu, siapa tahu bisa sedikit meredakan beban pikiran anak kesayangan Mama."

"Mama repot-repot banget sih," ujarku tidak enak. Siang tadi Rani membelikan makanan kesukaan, malam ini Mama membuatkan kue kesukaanku. Apakah kali ini aku harus mengakui masalahku kepada Mama seperti aku bercerita pada Rani tadi siang?

"Sudah, kamu ganti baju dulu nanti makan dulu sedikit kuenya. Mama potongkan ya."

"Eh, Mama," seruku menahan langkah Mama yang akan masuk ke dalam rumah. Setelah Mama menoleh, aku melanjutkan kalimatku, "Sebenarnya ada yang mau Jani utarakan."

Mama menaikkan sebelah alisnya.

Oke, Jani, now or never!

"Sabtu ini, Jani enggak bisa temani Mama ke kebun Anggreknya Tante Wita. Jani minta maaf, Ma." Aku kemudian menjelaskan tentang presentasi yang harus kulakukan serta titah Pak Dani yang tidak bisa dibantah.

"Jadi presentasinya hari Sabtu malam?" tanya Mama setelah aku selesai menguraikan seluruh rangkaian rencanaku akhir pekan nanti.

Aku mengangguk.

"Hari Minggu tidak ada presentasi lain yang harus dilakukan ya?"

Aku menggeleng.

"Kalau begitu ke tempat Tante Wita hari Minggu saja. Selepas presentasi, kamu segera pulang, jadi masih bisa temani Mama. "

"Eh? Jani langsung pulang?" ujarku mencoba mencerna ucapan Mama.

"Iya, kamu bawa mobil sendiri saja, jadi bisa langsung pulang. Kamu sudah pernah menyetir malam-malam sewaktu ke Bandung, jadi Anyer-Jakarta seharusnya bukan masalah."

Aku hanya mengangguk-angguk mendengar pernyataan Mama. Eh, lebih tepat disebut titah sebenarnya, karena pernyataan masih dapat dibantah sedangkan titah sudah pasti harus dilakukan.

Hari ini untuk kesekian kalinya aku menghela napas. Mama memang sudah mengizinkan aku untuk pergi ke Anyer sih, tetapi kenapa aku tidak merasa lega ya?

*** 

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now