22. Jika Bukan Karena Dia, Lalu Siapa

188 33 0
                                    


Sudah tiga hari aku meninggalkan rumah, tidak sekali pun Mama menghubungiku. Tentu saja aku pun enggan mengabarinya. Biarlah, sementara begini saja. Mama harusnya mengerti perasaanku.

Untungnya Rani tidak cerewet dengan masalahku, walaupun tadinya aku merasa sungkan, karena terpaksa menumpang di apartemennya. Namun, setelah Rani berulang kali meyakinkan, bahwa dia justru merasa senang, karena ada yang menemaninya.

"Lo tahu, Jani? Apa alasan gue mengizinkan lo nginep di sini?" tanya Rani waktu itu.

"Gak! Emangnya kenapa?" Aku balik bertanya.

"Gue emang gak bisa bantu lo, nyelesein masalah lo, tapi setidaknya gue bisa tahu keadaan lo. Dan gue pastiin, di sini lo baik-baik aja. Gue gak bisa ngebayangin, apa yang terjadi, kalau lo berkeliaran gak tentu arah di luar sana."

"Terharu gue, Ran. Lo ternyata sahabat yang paling ngertiin gue." Aku memeluk erat gadis berambut keriting itu.

"Ya, gue rela nampung lo dis ini, meskipun tiap malam kalau tidur gue kena tendang melulu, lo pikir gue bola, ya?"

Aku terbahak mendengarnya. Salah satu kebiasaan burukku, suka menendang ketika tidur. Bahkan Mama pernah nyaris terjatuh dari tempat tidur, saat aku tidur bersamanya. Sejak itu aku melarang Mama tidur denganku, meski berulang kali Mama mengatakan tidak apa-apa. 'Mama rela ditendang, asalkan bisa memeluk kamu terus,' ucap Mama kala itu. Tentu saja aku menolak dan berkeras agar Mama tidak lagi tidur bersamaku. Ah Mama, kutepis rasa rindu itu segera.

"Maafin gue, ya, Ran ... gue janji gak bakal nendang lo lagi, deh," rayuku dengan menyuguhkan raut wajah memelas.

"Tenang aja, gue udah belajar teknik menangkis tendangan di kala tidur, dengan melakukan serangan balik." Rani memperagakan gerakan silat, mengkolaborasinya dengan goyang dangdut. Akhirnya kami menertawakan kekonyolan ini.

"Ngapain lo senyam-senyum gitu, Jani? Salah makan obat, ya?" Suara Reza diiringi gerakan seolah mememeriksa suhu tubuh, dengan meletakkan tangannya di kepalaku, membuat terkejut.

Aku tidak menyadari, entah sejak kapan lelaki ini berada di hadapan.

"Apaan sih, Za ...." Aku menepis tangannya. "Lo tuh yang hobinya ngagetin. Ngapain juga berdiri di hadapanku, sana kerja."

"Dih, gue cuman mau nyampein, ada seorang pria nyariin lo, dia nunggu di lobi."

"Nyari gue? Siapa, sih?" Aku bingung, aku tidak punya teman pria, kalau pun ada teman-teman sekolah dulu, tapi tidak mungkin mereka sampai ke sini. Karena aku juga tidak pernah bercerita tentang tempat kerja.

"Makanya turun sana! Eh tapi, selera lo boleh juga, gagah dan berwibawa—tapi sayangnya udah tua." Reza mengejek seraya berlari ke mejanya. Tentunya dia tidak rela jika perutnya yang tidak lagi rata itu, jadi sasaran cubitan mautku ini.

Aku bergegas menuju lobi. Bertanya-tanya siapa gerangan yang mencariku?Aku hampir saja berbalik arah, saat melihat tamu yang mencariku. Namun, urung karena Pak Dani memanggil. Bossku sedang menemani pria setengah baya itu.

"Jani, nih Pak Baskoro mencarimu," ucap Pak Dani begitu aku tiba di antara mereka.

Kalau saja bukan karena Pak Dani, tak sudi aku menemui pria ini. Dia yang menyebabkan pertengkaran antara aku dan Mama terjadi.

"Terima kasih, Pak." Pria itu berucap sembari bersalaman dengan Pak Dani, yang meminta izin untuk meninggalkan kami.

Sungguh, tidak nyaman berada di situasi ini. Aku diam saja, tak terucap sepatah pun.

"Anjani, perkenalkan. Nama saya Baskoro." Pria itu mengulurkan tangan, yang sebenarnya enggan kusambut. Namun, karena tidak ingin jadi bahan pembicaraan orang-orang yang lewat di sekitar sini, dengan berat hati kusalami pria itu.

"Maafkan, jika kehadiran saya merusak hubungan dengan Mamamu."

Aku masih diam, tidak membalas ucapannya.

"Semua ini salahku. Saya dan Ratri, sudah kenal cukup lama, ketika itu perusahaan kami memakai jasa kateringnya, pada sebuah acara. Perkenalan itu berlanjut, karena saya tertarik dengan karakternya. Keinginan untuk hubungan yang lebih serius pun, saya utarakan saat itu. Namun, berkali-.kali Ratri menolak, dengan alasan kamu. Dia khawatir, kamu tidak bisa menerima saya.

Pria itu diam sejenak, menatap lekat ke arahku. Kualihkan wajah ke sembarang arah.

"Saya mengerti alasannya. Memang tidak mudah berada dalam posisi itu. Waktu itu, kami sepakat hanya berteman. Namun, siapa yang harus disalahkan, ketika kebersamaan itu kembali memupuk rasa yang tumbuh begitu saja. Sejujurnya saya katakan padamu, Anjani. Saya sangat mencintai Ratri."

Aku terhenyak, kaget tentunya. Pria ini sebenarnya menarik. Wajahnya yang tampan dan berwibawa, tatapan yang lembut, khas seorang ayah. Keberaniannya untuk jujur mengungkapkan hal tersebut, adalah sebuah bentuk rasa tanggung jawab. Namun, entah mengapa hatiku menafikan itu.

"Sebenarnya saya ingin mengenalmu lebih dekat, sebelum Ratri menyampaikan padamu tentang hubungan kami. Namun, sayang semuanya terlambat. Ratri syok dengan kepergianmu. Hingga dia memutuskan hubungan kami. Tentu saja saya tidak mungkin memaksanya."

Aku menatapnya, tercetus tanya, " Bagaimana keadaan Mama sekarang?"

Om Baskoro kembali menatapku dan mengangkat bahu.

"Malam itu, usai kamu dan Ratri bertengkar, dia menemuiku, dan langsung meminta untuk tidak lagi menemuinya. Awalnya tentu saja saya tidak terima. Tapi, Ratri tegas dengan keputusannya, baginya kebahagiaan kamu adalah segalanya. Dia kaget sekali ketika tiba di rumah tidak menemukanmu. Malam itu juga saya dan Mamamu berkeliling Jakarta untuk mencari, tapi tidak berhasil. Keesokan harinya, saya menunggu kamu di parkiran kantor, ketika melihat kamu dan temanmu datang, saya pun mengabari Ratri. Dia senang mendengar kamu baik-baik saja. Setelah itu saya tidak pernah lagi bertemu atau kontak dengannya.

"Lalu, untuk apa Anda menemui saya?" Kuakui, suaraku terdengar ketus.

"Hanya ingin menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. Mamamu berhak bahagia, dan baginya kebahagiaanmu adalah sumber kebahagiaannya."

"Anda benar! Tapi sayang, Anda yang merusak kebahagiaan kami." Penuh kekesalan kuungkap perasaanku.

"Saya akui itu, makanya saya menerima keputusan Ratri untuk memutuskan hubungan kami." Pria itu terlihat pasrah.

Tidak! Aku tidak boleh simpati. Dia hanya berusaha menarik perhatianku.Batinku mengingatkan.

"Terserah kamu mau percaya atau tidak, kami ini dua orang yang dewasa. Saling mencinta bukan berarti mutlak harus bersama. Yang saya inginkan adalah orang yang saya cinta itu bahagia. Jika dengan bersama justru membuat tersiksa, untuk apa dipaksa."

"Bagus, jika Anda sadar dengan hal itu."

Lagi-lagi aku sadar, ucapanku cukup keras, tapi tidak kupedulikan. Acuh dengan ekspresinya.

"Terima kasih, Jani—diizinkan menyampaikan hal ini saja, saya sudah senang. Rasanya terlepas sedikit beban rasa bersalah ini."

Pria itu pun pergi dan berlalu dari hadapanku, usai berpamitan, yang kusambut dengan enggan. Tidak dapat kuingkari, hati ini tidak bisa menerima keberadaannya. Bagiku, dia adalah penyebab kekacauan ini terjadi. 

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now