19. Bukan Kejutan

219 37 2
                                    

Maaf, Mama enggak bisa temani kamu sarapan. Ada pekerjaan yang harus Mama lakukan segera. Sampai ketemu nanti malam.

Mama

Dahiku mengernyit, berpikir keras. Tidak biasanya Mama bersikap seperti ini. Pergi pagi-pagi sekali dan tidak sarapan bersama. Jika memang benar-benar terburu-buru, toh bisa saja Mama menemuiku di kamar. Itu artinya Mama masih marah kepadaku.

Kusuap perlahan nasi goreng yang tersaji di meja. Mama sudah menyiapkan nasi goreng teri kesukaanku. Bagaimana mungkin aku bisa lahap menyantapnya, sedang hati ini gelisah. Aku sadar pasti Mama kecewa denganku. Atau, jangan-jangan Mama tahu kalau aku berbohong soal Pak Ivan.

Ah, Mama juga berbohong padaku. Aku membela diri, bahwa tidak sepenuhnya kesalahan itu ada padaku. Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?

Kusesap teh hangat di hadapanku segera, lalu bergegas keluar rumah setelah mencuci peralatan bekas sarapan tadi. Untuk sejenak, lebih baik kulupakan dulu tentang Mama, di kantor banyak pekerjaan yang menyita waktu dan pikiranku. Walaupun sikap Pak Ivan yang terlihat menaruh hati kepadaku, bukan berarti aku seenaknya saja mengerjakan proyek ini. Justru aku harus bersungguh-sungguh, sebab ini mempengaruhi progress karierku di perusahaan.

Ah, Pak Ivan.

Aku bahkan belum sempat memikirkan apa jawaban yang akan kuberi atas pernyataannya kemarin. Semalaman aku hanya memikirkan sikap Mama terhadapku.

Setibanya di kantor, aku langsung menuju ruangan. Bahkan, sapaan Rani yang mengajak ke pantri, hanya kubalas dengan senyum dan lambaian tangan, memberi tanda penolakan. Tidak kupedulikan kernyit heran di dahinya.

Maaf, Ran ... kali ini aku belum siap untuk bercerita apa-apa.

Benar dugaanku, belum lima menit aku duduk, pesan whatsApp Rani sudah beruntun masuk.

Rani: tumben lo, Non! Kesambet di mana? Lagi sakit gigi, ya? Atau kurang sajen?

Aku balas pesannya dengan mengirim emot senyum. Dan bukan Rani namanya, jika berpuas hati dengan balasanku itu.

Rani: lo mau gue datang ke ruangan lo, dan menghujani dengan serentet pertanyaan

Aku jawab pesannya, sebelum dia nekat datang ke sini.

Anjani: Emangnya lo berani? Rela lo diomelin Pak Dani?

Rani: awas lo yaa ... ntar pas istirahat lo harus cerita, kita makan siang bareng ya.

Anjani: sorry, Ran, gue bawa bekal hari ini. Lagian kerjaan gue numpuk hari ini, banyak laporan yang harus gue serahkan ke Pak Dani.

Kebetulan aku bawa nasi goreng yang sudah Mama siapkan tadi, sebab aku tidak ingin Mama kecewa jika melihat sarapan yang sudah disajikannya hanya kusenggol sedikit saja tadi pagi.

Rani menjawab pesanku dengan mengirim emot wajah cemberut. Aku melanjutkan menyelesaikan pekerjaanku. Ada beberapa desain tambahan yang harus direvisi, berdasarkan keinginan Pak Ivan.

Kuakui pria itu bekerja profesional. Meskipun dia bersikap baik padaku, tidak membuat dia menerima semua penawaran yang kami ajukan. Bahkan dia terlihat sangat gigih dan serius dalam bekerja. Makanya dia sangat marah, ketika ada karyawan yang lalai dengan tugas yang diberikan. Namun, di sisi lain ... dia sangat lembut memperlakukanku. Apa lagi pada acara ulang tahun Mamanya, terlihat sekali dia berusaha melayaniku sebaik-baiknya. Dan satu lagi, yang membuat kekagumanku bertambah, pria itu sangat menghormati ibunya.

Duh. Kenapa wajah sang klien itu bermain di benakku? Kelebat wajah Pak Ivan menghadirkan rasa yang berbeda di relung hatiku. Apakah ini pertanda, bahwa aku juga menyukainya? Entahlah, sulit untuk memastikan rasa itu, dengan intensitas pertemuan yang masih dalam hitungan jari. Meski tidak kupungkiri, kekaguman terhadapnya bukan lagi sebatas hubungan kerja. Dan, jauh di lubuk hatiku, saat ini kuingin ada sapa mesra darinya.

Ada apa denganku?

Kutepis lamunan tentang pria dengan alis mata tebal dan tatapan yang tajam itu. Kemudian mengalihkan konsentrasi pada berkas-berkas di meja.

Saking asyiknya mengotak-atik laptop di hadapanku, nyaris tidak menyadari jam istirahat sudah tiba. Ada bunyi yang tidak asing berasal dari perutku, yang mulai berontak minta diisi. Sembari membuka bekal dan menyantapnya, kembali benakku diingatkan akan sikap Mama yang aneh sejak tadi malam. Hingga tidak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikanku.

"Hei, Non ... awas lu kesambet ntar, makan kok sambil bengong." Suara Reza nyaris membuat nasi di sendok berhamburan.

"Pelan-pelan dong, Za ... kaget ini gue."

"Yaela, gue pelan kali—lo saja yang ngelamun, mikir apa sih?"

"Enggak kenapa-napa, kok. Cuman mikir kerjaan saja."

"Ya sudah, eh Non, kalau lo butuh teman buat cerita, gue siap kok dengerin."

"Thanks, bro ... gue enggak apa-apa," pungkasku tegas sembari tersenyum. Untung Reza tidak bertanya lagi, dan segera berlalu dari hadapanku. Untuk saat ini, rasanya aku hanya ingin sendiri.

Kembali bayangan Mama hadir di pikiranku. Aku merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Aku memutuskan untuk menemui Mama di kantor kateringnya, sepulang kerja nanti. Keadaan ini tidak boleh berlarut-larut, lebih baik aku yang minta maaf pada Mama terlebih dahulu.

Aku mulai tenang, setelah mengambil keputusan itu.

Seusai menyerahkan laporan pada Pak Dani, aku pamit pulang lebih awal. Karena pekerjaanku juga sudah selesai, Bossku itu memberikan izin.

Aku melajukan mobil menuju kantor katering Mama di daerah Utan Kayu. Tadinya aku bermaksud mengabari Mama akan kedatanganku, tetapi urung kulakukan, karena ingin memberi kejutan. Jarang-jarang aku menemui Mama di tempat kerjanya. Tentu Mama akan senang mendapat kunjungan dadakan ini. Aku menyempatkan singgah membeli pie nenas di toko kue, kesukaan Mama.

Tepat pukul 4 sore, aku tiba di parkiran. Aku melangkah sembari menyenandungkan bait terakhir Love's never wrong-nya Barbara Streisand.

Oh love, love's always right

Love always knows the way

When some are just too blind to see the light

You know what's true

Be true to you, be proud, be strong

'Cause love's never wrong

Aku membuka pintu ruangan kerja Mama, dan apa yang kusaksikan benar-benar sebuah kejutan. Pria yang kulihat di Mal hari Jum'at kemarin berada di ruangan itu. Mereka sedang tertawa, tidak menyadari kehadiranku. Pria itu menggenggam tangan Mama dan mencium pipinya. Sepertinya dia sedang berpamitan. Kemudian pria itu berbalik dan terkejut mendapatiku yang terpana menyaksikan keduanya.

Aku terpaku, tidak sepatah pun kaca yang terucap. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana menyikapi ini. Aku membalikkan badan dan segera berlalu dari hadapan mereka. Tidak kuhitaukan teriakan Mama memanggilku.

"Anjani ... tunggu! Dengarkan dulu penjelasan Mama, Nak."

Aku tidak memedulikan panggilan perempuan yang paling kukasihi itu.

Maafkan, Jani, Ma—Jani butuh waktu untuk menerjemahkan apa yang Jani lihat.

Aku kembali melajukan mobil, tanpa tahu arah ke mana akan dituju. Sejujurnya, aku tidak siap menerima apa yang baru saja terjadi.

*** 

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang