15. Aku Bukan Boneka

233 39 1
                                    

Aku meraba rambut sebahuku tanpa sadar. Potongan Mbak Tyas beberapa minggu yang lalu sudah mulai terlihat tidak beraturan. Rambutku ini memang cepat panjangnya, tidak heran aku bisa sebulan sekali ke salon untuk potong rambut atau merapikan saja.

"Potong sampai di atas leher sepertinya akan cocok denganmu. Apalagi nanti saat proyek sudah memasuki tahap pengerjaan, kamu akan banyak turun ke lapangan. Model rambut pendek akan menunjang aktivitasmu." Pak Ivan akhirnya memberikan alasannya tiba-tiba saja melontarkan ide potong rambut. "Saya beberapa kali lihat kamu sibuk menjepit rambut soalnya, sepertinya repot. Tetapi ini hanya saran, tidak perlu langsung diterima."

Aku tersenyum sopan ke arah Pak, eh Bang -ah aku belum terbiasa memanggilnya dengan panggilan Abang- Ivan, tidak tahu harus membalas apa. Sejujurnya, pernyataan Pak Ivan sungguh sama dengan rekomendasi Mbak Tyas ketika terakhir kali aku dan Mama berkunjung ke salon. Potongan rambut pendek memang sudah lama kuimpikan, tetapi Mama...

Suara klakson yang cukup keras membuyarkan lamunanku, memaksa untuk kembali melihat ke depan. Ternyata Pak Ivan membelokkan mobil ke arah pusat perbelanjaan yang terletak tidak jauh dari kantorku. Lokasinya bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki sepuluh menit saja dari kantor.

"Kita mau makan di sini?" tanyaku saat Pak Ivan menyusuri area parkir mencari spot kosong.

"Iya," balas Pak Ivan cepat, perhatiannya masih tertuju pada area parkir. Tentu saja sangat susah mencari lokasi parkir kosong di malam Sabtu seperti sekarang, ketika banyak orang merayakan hari kerja terakhir menyambut akhir pekan.

"Kalau di sini saja kan saya bisa jalan langsung, Pak. Bapak tidak perlu repot menjemput saya."

"Bang."

"Eh?"

Pak Ivan menghentikan mobilnya ketika ada mobil lain yang akan keluar dari tempat parkir. Masa menunggu ini dimanfaatkannya dengan menoleh ke arahku dan menatapku dengan pandangannya yang tajam. "Kan sudah sayabilang, kalau sedang di luar kantor, panggil saja Abang," ujar Pak Ivan seraya tersenyum.

Senyuman Pak Ivan membuatku sontak memalingkan wajah. Entah mengapa aku merasakan kedua pipiku menghangat.

"Mobilnya sudah keluar," seruku cepat ketika melihat mobil di depan kami akhirnya keluar dari lokasi parkir. Untung sekali perhatian Pak Ivan langsung teralihkan, sehingga aku memiliki waktu untuk menenangkan diri. Padahal hanya perkataan biasa saja mengenai panggilan, tapi sanggup membuat jantungku berdebar.

"Kamu mau makan apa?" tanya Pak Ivan ketika kami sudah tiba di area food court.

"Apa saja boleh."

"Kamu suka pedas? Manis? Masakan Indonesia? Barat?" tanya Pak Ivan lagi.

"Semua saya suka, yang penting halal."

"Hmm, menarik."

"Apanya yang menarik?" Aku seperti mengalami deja vu. Pernyataan Pak Ivan pernah kudengar sebelumnya.

"Tidak masalah dengan pilihan orang lain, menyukai semua keadaan dengan batasan jelas." Pak Ivan berbicara dengan lambat namun penuh tekanan. "Kamu pasti terbiasa mengikuti permintaan orang lain," lanjutnya semringah.

Aku baru saja bersiap membantah pernyataannya, namun Pak Ivan segera melanjutkan kalimatnya.

"Biar saya tebak," tukas Pak Ivan sok misterius. "Pasti mengikuti keinginan Ibu kamu."

Aku terkejut mendengar tebakannya yang jitu. "Semudah itu kah terbaca?"

"Sewaktu kita mau makan malam beberapa hari yang lalu, kamu bilang harus minta izin dahulu. Saya hanya menyimpulkan dari sana."

Aku terdiam dan menutup wajahku. Malu sekali mengetahui klienku sampai paham terkait kehidupan pribadi. Salahkan Pak Dani yang secara tidak langsung membocorkannya.

"Tak usah malu, menurut saya itu bagus sekali. Tidak banyak yang masih mau mendengarkan orangtua mereka ketika telah beranjak dewasa." Pak Ivan menghentikan kalimatnya dan menunjuk ke salah satu area meja makan yang kosong. "Kamu duduk di sana saja, saya akan pesankan makanan buat kamu. Tunggu ya," pinta Pak Ivan sebelum menghilang dari pandanganku.

"Saya selalu menuruti permintaan Mama karena tidak ingin beliau bersedih," jelasku ketika kami berdua tengah menikmati hidangan yang disajikan. Pak Ivan memesan dua porsi nasi kari ayam yang enak sekali.

"Semenjak berpisah dengan ayah, Mama sering menyalahkan dirinya kenapa sampai gagal membangun rumah tangga. Kurangnya perhatian diduga sebagai salah satu penyebab utama, sehingga beliau tidak ingin mengulang hal yang sama dan memastikanku mendapat banyak perhatian."

"Tapi bukankah itu kurang tepat?" Pak Ivan menyela penjelasanku.

"Maksudnya kurang tepat?" Berbicara dengan Pak Ivan membuatku seperti orang bodoh. Berulangkali aku harus menanyakan maksud dari kalimatnya.

"Seorang orangtua pasti ingin anaknya bahagia. Mamamu juga. Tetapi bukan berarti membuat anak harus terus terpaksa mengikuti kemauan orangtua."

"Saya tidak terpaksa melakukannya," sergahku.

"Minggu ini Ibu saya berulangtahun. Temani saya membeli hadiah untuk beliau ya."

Aku tertegun dengan perubahan topik pembicaraan yang terjadi tiba-tiba, tetapi tetap saja aku menanggapi topik baru yang diajukannya. "Bukankah Pak, eh Bang Ivan bilang kita akan melanjutkan diskusi terakhir terkait proyek yang sedang dikerjakan ini?"

Pak Ivan melambaikan tangan di hadapanku dan tersenyum lebar, senyuman yang mulai membuatku ketagihan untuk terus melihatnya. "Diskusi pekerjaan dapat dilakukan di kantor, ada hal yang lebih penting yang harus saya lakukan agar terlihat sebagai anak yang berbakti."

"Kamu keberatan menemani mencari kado untuk Ibu saya?" tanya Pak Ivan ketika tidak jua menadapat balasan dariku.

"Tidak, tidak apa-apa," ujarku cepat. Keinginan untuk tidak boleh mengecewakan pria di hadapanku ini tiba-tiba saja muncul.

"Saya bukan Mamamu, kamu bisa bilang tidak."

"Saya tidak keberatan, Bang. Tidak masalah." Pak Ivan menatapku dengan pandangan penuh selidik. Aku tertawa kecil, "Sungguh, Bang. Tidak apa. Ibu Abang suka apa kira-kira?" tanyaku segera untuk membuat Pak Ivan yakin kalau aku benar-benar tidak masalah menemaninya mencarikan hadiah.

Pak Ivan menjelaskan berbagai macam barang yang disukai ibunya, serta menyebutkan beberapa contoh hadiah yang mungkin disukai sang Ibu. Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan seluruh penjelasan Pak Ivan, dengan sesekali menanyakan detail tentang satu atau dua barang. Cara Pak Ivan menjelaskan kemungkinan hadiah yang tepat untuk Ibunya membuatku semakin kagum dengannya. Seorang pria yang menceritakan ibunya dengan penuh kasih sayang membuat daya tariknya meningkat tajam bukan?

Selepas makan, kami beranjak menuju area departemen store untuk melihat berbagai opsi hadiah yang mungkin dapat menjadi pilihan. Ketika menuju area pusat perbelanjaan, kami melewati deretan salon yang memiliki poster-poster gaya rambut di depan outlet.

Sebuah poster yang menampilkan satu model gaya rambut menarik perhatianku dan membuat langkah kakiku terhenti.

Nah, gimana kalau model pixie cut, rambut Mba Jani dipotong pendek di atas tengkuk, biar keliatan lebih fresh dan sexy.

Suara Mbak Tyas terngang-ngiang di kepalaku.

"Model rambut yang keren. Kamu ingin mencobanya?" Suara Pak Ivan terasa dekat sekali walaupun posisi berdiri kami cukup jauh, di luar jarak intim.

Entah kekuatan apa yang kemudian membuatku mendorong pintu salon dengan yakin. Apa karena kehadiran pria di sebelahku ini yang tersenyum lebar selama aku berbicara dengan kapster?

*** 

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now