14. Bukan Perhatian Biasa

244 35 1
                                    


Untung saja, saat tiba di rumah, Mama belum pulang. Barangkali Mama masih sibuk dengan persiapan opening resto temannya. Aku terbebas dari pertanyaan yang mengkhawatirkan. Untuk saat ini, aku belum berani menceritakan tentang sikap Pak Ivan yang menurutku sedikit aneh. Selain karena belum kenal personal pria itu, juga khawatir Mama mencemaskanku. Mama memang rada protektif jika sudah berurusan dengan pria. Makanya hingga saat ini, aku belum pernah dekat secara khusus dengan pria. Bisa dimaklumi sebenarnya, karena Mama trauma atas kegagalan rumah tangganya.

Aku memberi pesan lewat WhatsApp pada Mama, bahwa akan tidur duluan, karena sudah sangat letih. Untungnya Mama langsung mengiyakan tanpa banyak tanya lagi.

Kucoba pejamkan mata, menghapus bayangan kejadian di resto tadi. Tatapan tajam si mata elang itu melintas di benak. Perlakuan lembut dan sikap simpati terhadap pelayan tadi, menimbulkan kekagumanku. Awalnya kupikir, pria itu kasar dan emosional, karena sikapnya yang tanpa basa-basi dan seolah mengintervensi. Mungkin karena dia berasal dari Sumatera Utara, begitu yang kutahu saat membaca nama lengkapnya di surat perjanjian kerja sama, tertera Saragih di belakang namanya. Akhirnya kelelahan menyerang dan aku tertidur.

***

"Gimana pertemuan tadi malam, Jani?" tanya Mama, di sela menikmati sarapan pagi.

"Biasa aja sih, hanya membahas mengenai perubahan material yang akan digunakan." Aku menjawab seraya menyuapkan potongan sandwich ke mulutku. "Oh ya, gimana persiapan resto teman Mama, udah kelar? Resto siapa sih, Ma?"

"Itu loh, teman baru Mama, namanya Tante Ami, yang waktu ketemu di kebun Anggrek Tante Wita. Karena Mama juga bergerak di bidang yang sama, jadi kita cepat akrab. Kamu ingat, kan?"

"Ooh, iya, Jani ingat ... Tante Ami itu kan yang tinggi, langsing, dan, suka senyum itu, 'kan?"

"Nah, iya ...."

"Oke deh, Ma—Jani berangkat ke kantor, ya," pamitku sembari mencium kedua pipi wanita terkasih itu.

"Hati-hati ya, Nak."

***

Hari masih sangat pagi, tetapi jalanan sudah ramai. Entah kapan kota ini sepi, bahkan tadi malam ketika aku pulang, pun masih saja ramai. Namun, Pak Ivan tetap memgkhawatirkanku dan memaksa untuk mengiringi dengan mobilnya. Aku tidak tahu pukul berapa dia tiba di rumahnya. Eh ya, aku bahkan tidak tahu di mana rumahnya.

"Hei, Non, ngapain lo senyam-senyum sendiri, kesambet di mana?" Suara Rani membuyarkan lamunan tentang sosok si mata elang, saat aku tiba di depan lift. Tidak kusadari gadis betawi ini telah berada di sampingku.

"Kayaknya sih lebih baik senyum sendiri, dari pada nangis sendiri, deh," sahutku sambil tetap tersenyum, hingga Rani melihatku dengan tatapan curiga.

"Eh, bentar—kemarin sore, Reza bilang dia lihat lo keluar dari kantor berbarengan ama Pak Ivan, boss Kejora Malam yang ganteng itu. Apa iya?" tanya Rani penuh selidik, seolah sedang menginvestigasi.

"Ooh itu, iya sih, ngelanjutin meeting sambil makan malam," jawabku tanpa menoleh.

"Hanya itu?" cecar Rani mendesak.

"Emangnya ngapain lagi?" elakku.

"Kencan, barangkali." Rani menebak.

"No!" Aku menegaskan dan menghadapkan wajah tepat di depannya.

"Gue gak percaya, ayo dong Jani ... tell me, please!"

Aku tergelak melihat wajah sahabatku, Rani memang paling bisa untuk soal mengorek keterangan, seharusnya dia melamar jadi asisten Sherlock Holmes.

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now