29. Bukan Ingatan Sesaat

176 30 0
                                    

Sup ayam yang dibuatkan oleh Rani cukup enak rasanya. Campuran bumbu jahe dan bawang putih merasuk di tenggorokanku, memberikan sensasi rasa hangat yang seketika menjalar ke seluruh tubuh. Potongan-potongan wortel, jamur, irisan ayam dan jagung membuat perutku yang kosong sejak semalam jadi seikit enakan. Semalam aku tidak sempat makan malam karena meeting dengan Reza sampai lepas maghrib, sehabis itu menyelesaikan presentasi dan dokumen tender. Ketika sampai di apartemen saja aku sampai tidak sempat memakan nasi goreng yang disisakan Rani untukku, karena tubuhku langsung ambruk di sofa ruang televisi setelah membuka pintu.

"Aduh baunya juga wangi sekali," ujarku mencium wangi sup ayam yang sempat kuhangatkan di microwave sebelumnya. Wangi sup ayam ini mengingatkanku akan sesuatu, sebuah peristiwa lebih tepatnya.

"Habiskan dulu supnya sebelum berangkat." Mama menyendokkan kembali sup ke dalam mangkokku.

"Bagaimana mau habis kalau Mama terus menambahkan sup ini?" ujarku sembari cemberut. "Jani sudah terlambat ini, Ma. Pelajaran pertama kan Jani suka banget, bisa terlewat nanti."

"Nanti Mama antar pakai motor. Cepat, kok. Sekarang Jani habiskan dulu ya sup-nya."

"Kenapa sih Mama yang antar Jani? Teman-teman Jani kalau pagi hari banyak diantar Papanya. Sekalian Papa ke kantor," tanyaku sembari menyuap sup ke dalam mulutku.

Mama terdiam sebentar sebelum kembali memintaku menghabiskan sup. "Papa sibuk, Jani. Jani harus terbiasa tinggal berdua saja dengan Mama ya," lanjut Mama setelah beberapa saat.

Ketika itu aku tentu tidak paham maksud ucapan Mama. Kupikir memang Papa sibuk karena banyak bepergian untuk bekerja, jadi aku memang hanya akan berdua saja dengan Mama di rumah. Siapa sangka kalau beberapa bulan kemudian aku benar-benar hanya hidup berdua saja dengan Mama. Dalam sekejap, Papa hilang dari kehidupanku.

"Papa enggak sayang Jani ya, Ma?" tanyaku melihat foto keluarga kami bertiga ketika aku masih berusia lima tahun.

"Enggak mungkin, Jani. Papa sayang sama Jani."

"Tetapi kenapa Papa tidak pernah mengunjungi Jani?"

"Papa sibuk, Jani. Jani harus terbiasa tinggal berdua saja dengan Mama ya."

Ucapan Mama itu akhirnya seperti kaset rusak yang terus saja kuulang-ulang bagaikana melodi favorit sepanjang masa. Aku tahu jawabannya akan seperti itu, tetapi tetap saja aku bertanya keberadaan Papa.

Memasuki usia remaja aku baru tahu kalau Papa meninggalkan kami untuk keluarga barunya. Keluarga yang ternyata telah dimilikinya saat Papa masih terikat pernikahan dengan Mama. Ketika Mama berkata Papa melakukan perjalanan bisnis, itu adalah saat Papa berkumpul dengan keluarganya yang lain. Keluarga yang merenggut Papa selamanya dari kehidupanku.

Sejak perceraian Mama, aku tidak pernah mengetahui keberadaan Papa. Aku bahkan tidak tahu apakah beliau masih hidup atau sudah tiada. Apakah beliau pernah sedikit saja memikirkan nasib putri yang ditinggalkannya. Karena aku terkadang merindukan Papa. Walaupun ketika melihat Mama yang bekerja keras untuk menghidupiku, rasa benciku pada Papa menutupi kerinduan.

Namun tetap saja, terkadang aku teringat akan Papa. Aku teringat akan sosok pria yang tidak mau kutemui dalam hidupku. Seperti itulah Papa bagiku. Mengingatkanku akan adanya sosok pria yang patut dijauhi seperti dirinya.

"Jani enggak boleh benci sama Papa."

"Kenapa Ma? Papa sudah meninggalkan kita, kenapa Mama masih saja membelanya?"

"Manusia tempatnya khilaf, Jani. Papa khilaf, suatu saat Papa akan tersadar. Saat itu terjadi, mungkin kita sudah tiada. Akan rugi sekali apabila kita masih membenci Papa sementara Papa telah menyadari kesalahannya."

Aku menyeka air mata yang menetes, mencegahnya masuk ke dalam sup yang pasti sudah setengah mati disiapkan oleh Rani. Sahabatku itu tidak pandai memasak, sehingga sudah suatu pencapaian tersendiri sampai dia bisa menyiapkan sup seperti ini.

Kembali aku terisak-isak mengenang semua masa lalu yang kulalui berdua saja dengan Mama. Kami berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti kondisi keuangan Mama, bahkan pernah tinggal di rumah salah satu bos Mama karena kasihan melihat Mama harus membayar sewa tempat tinggal yang cukup tinggi. Sampai akhirnya Mama bertemu dengan Tante Ami yang mengajarinya memasak dan menyemangatinya membuka katering. Katering pembuka jalan kehidupan kami menjadi lebih mudah.

Katering juga yang membuatku melihat Mama dalam keadaan bahagia, termasuk ketika bersama Pak Baskoro.

"Mama, Jani kangen," isakku semakin keras.

*** 

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now