21. Bukan Pelarian

202 29 0
                                    


 "Hei, Non ... lo mau tinggal sebulan, setahun atau bahkan selamanya, gue sih oke saja. Tapi, lo harus cerita dulu, apa yang terjadi? Pasti ini serius banget, 'kan? Yang gue tahu, pulang telat aja, Mama udah khawatir banget." Rani menyerocos dengan rasa ingin tahunya yang besar.

"Udah ah, ntar aja gue cerita. Yang penting sekarang, lo ngizinin gue numpang di tempat lo," pungkasku.

Rani membuka pintu lebih lebar, lalu membantuku membawa koper. Apartemen mungil ini, cukup nyaman untuk sementara waktu. Walaupun dia sahabatku, tapi tentu saja aku tidak ingin terlalu lama mengganggu ketenangannya. Bagaimanapun, tempat ini hanya ideal untuk satu orang penghuni. Apartemen yang terdiri dari satu kamar, kamar mandi, ruang pantry mini serta dua kursi, dan satu meja kecil.

"Lo pasti belum makan, gue barusan bikin spageti saus bolognise dengan toping minimalis." Rani menyodorkan piring, dan di saat lapar seperti ini, makanan itu adalah penyelamat perutku. Aku segera menyantap dengan lahap, spageti ala Rani yang sangat apa adanya itu.

Seusai makan, aku dan Rani beranjak ke tempat tidur. Benakku membayangkan, apa reaksi Mama, saat tidak menemukanku di rumah. Atau jangan-jangan malah sekarang Mama masih asyik berkencan dengan pria itu.

Huh! Enggan lidahku menyebutkan namanya. Teringat kembali ketika aku dan Mama bertengkar hebat tadi sore. Dan puncaknya adalah keputusanku untuk pergi.

Tekadku sudah bulat. Untuk saat ini, ada baiknya aku meninggalkan rumah. Berhadapan dengan Mama, hanya akan menambah kekesalan, dan memancing pertengkaran. Aku butuh waktu untuk menghadapi semua ini. Namun, aku pun tidak tahu harus ke mana. Aku berpikir sembari memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam koper.

Tiba-tiba terlintas wajah Rani. Segera kuhubungi gadis itu. Aku hanya bilang bahwa akan menumpang tidur untuk beberapa hari. Kebetulan Rani menyewa apartemen, tidak jauh dari kantor.

Aku segera menutup telepon, dan melanjutkan mengemasi barang- barang yang akan dibawa. Setelah rasanya sudah cukup, aku bersijengket keluar kamar. Tidak ada tanda-tanda aktivitas Mama di dapur atau di ruang makan. Aman. Segera kembali ke kamar, lalu menarik koper perlahan.

Mengendap-endap keluar rumah, dan ternyata di garasi pun mobil Mama tidak ada. Itu artinya Mama tidak di rumah. Barangkali beliau pergi dengan pria itu. Bagus. Artinya, aku bisa keluar rumah dengan aman.

Maafkan Jani, Ma.

"Jani, apa yang terjadi sebenarnya?" Sentuhan lembut tangan gadis itu di bahu, mengejutkan lamunanku. Rani mendekap dan tidak dapat kuhindari, isak tangis kembali terurai. Rani menepuk bahu dan mengusap kepalaku. Kuhela napas panjang, dan mulai bercerita. Rani, yang biasanya ceriwis dan heboh, serius mendengarkan curhatanku.

"Aku mengerti perasaanmu, Jani—memang bukan hal yang mudah menerima orang lain dalam kehidupan kita. Tapi, percayalah, lambat laun lo akan bisa memahami perasaan Mama."

"Tumben lo bijak, Non." Aku tergelak sembari mengacak rambutnya. Melihat reaksiku, Rani memukulkan bantal ke guling ke tubuhku, dan kami saling lempar bantal. Sejenak terlupakan masalah yang berkecamuk di otakku.

"Eh, Jani ... gue punya disc film bagus loh. Nonton yuk!" Rani beranjak ke arah rak di bawah meja televisi. Kulihat ia membolak-balik beberapa koleksinya.

"Film apaan, Ran? Film bokep kali ...."

"Ish jijay deh lo, kita nonton How I meet Your Mother," seru Rani sambil menunjukkan setumpuk compact disc dari lacinya.

"Gila lo, Ran—lo punya semua seasonnya ya?"

"Hooh."

Kami pun terhanyut dengan serial sitkom itu, terbahak-bahak melihat ulah Ted Mosby, dalam mengejar cinta Robin. Atau saat menyaksikan Barneys yang muncul dengan ide-ide absurdnya untuk membantu sahabatnya mendapatkan cinta sejati.

Karena kelelahan, tertidur sangat lelap tadi malam, dan pagi ini ketika terbangun, aku merasa aneh dengan keadaan di sekeliling. Sungguh, hingga usiaku sebesar ini, belum pernah sekali pun berpisah dari Mama. Setiap pagi, aroma harum makanan terpancar dari dapur, olahan dari tangan ajaib Mama. Aku merindukan nasi gorengnya.

Ups, kutepis kelebat bayangan itu. Aku harus bertahan.

Aku beranjak pelan ke pantry, Rani masih tidur. Sebelum mandi kuputuskan untuk membuat sarapan. Melongokkan kepala ke kulkas kecil, kuambil beberapa butir telur dan kentang. Juga tomat serta bawang. Omelet telur plus kentang cukup sesuai untuk membantu menjelang siang nanti di kantor. Sebenarnya, aku bisa memasak beberapa jenis makanan, karena Mama selalu mengajariku. Ditambah lagi, kami selalu mempraktekkan bersama setiap kali menemukan resep baru. Biasanya hal itu dilakukan saat mengisi waktu bersama di akhir pekan. Namun, keterbatasan bahan yang tersedia di dapur sangat minimalis ini, membuat aku harus berpikir keras untuk menyediakan hidangan yang spesial.

"Duh, harum banget aromanya—bikin piaraan di lambungku meronta beringas." Rani dengan wajah dan rambut awut-awutan muncul tiba-tiba.

"Ih, cuci muka dulu sana, sekalian wudu dan salat subuh. Mumpung masih ada waktu, nih," ujarku sambil mendorong kembali si ceriwis itu.

"Tapi gue laper, say." Rani memelas dengan wajah yang dibuat sedemikian rupa.

"No way!"

Rani berlari ke kamar mandi, dan aku melanjutkan menyiapkan sarapan spesial ala kadar ini. Untung ada sisa kornet di kaleng, yang bisa kucampurkan dalam adonan omelet. Lumayanlah, untuk menambah rasa lezatnya. Akhirnya, dua porsi jumbo omelet dan dua gelas jeruk peras hangat tersaji di meja, tepat saat Rani muncul.

"Nona Manis, hidangan sudah siap—silakan dinikmati," ucapku seraya membungkukkan setengah badan.

"Kerja bagus, Inlander—bulan depan gajimu saya naikkan goceng." Rani menjawab dengan logat seorang Meeneer Belanda.

Aku melemparkan serbet motif kotak-kotak di tangan ke wajah gadis itu. Kami pun kembali terbahak bersama.

"Serius, ini enak banget, Jani ... enggak sia-sia lo punya nyokap pengusaha katering," ujar Rani setelah memasukkan potongan omelet ke mulutnya.

"Biasa saja keles, lagian ini belum seberapa. Kalau mau, gue bisa bikin lebih lazis dari hidangan resto. Gue lagi males saja." Ucapanku membuat Rani melototkan mata dan memonyongkan bibirnya.

"Nyesel banget gue muji, tahu!" serunya, yang kubalas dengan tawa puas.

***

Aku menumpang di mobil Rani ketika berangkat ke kantor. Mubazir saja kalau harus membawa kendaraan masing-masing. Toh tujuan kami sama. Sepanjang perjalanan, kami bersenandung mengikuti alunan musik dari siaran radio di mobil Rani. Dynamite song dari BTS.

'Cause I-I-I'm in the stars tonight

So watch me bring the fire and set the night alight

Shoes on, get up in the morn'

Cup of milk, let's rock and roll

King Kong, kick the drum, rolling on like a Rolling Stone

Sing song when I'm walking home

Jump up to the top, LeBron

Ding dong, call me on my phone

Ice tea and a game of ping pong.

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now