10. Bukan Permintaan

279 43 1
                                    


"Saya yang pegang proyeknya?" tanyaku memastikan aku tidak salah dengar.

Pak Dani mengangguk. Ia menyodorkan kopi kontrak kerjasama yang baru saja diantarkan oleh tim legal ke mejanya. "Coba kamu pelajari dulu kontraknya. Perhatikan apakah ada yang berbeda dengan pembicaraan kita dengan tim Pak Ivan ketika presentasi kemarin. Saya mau kirimkan soft copy-nya ke Pak Ivan terlebih dahulu untuk mereka pelajari juga, setelah kamu selesai membacanya."

"Kenapa saya, Pak? Lebih banyak yang berpengalaman daripada saya. Nilai kontrak ini milyaran, Pak. Besar sekali," ujarku masih mempertanyakan keputusan Pak Dani, walau tanganku tetap meraih kontrak yang ada di hadapanku dan membuka beberapa halaman pertama isi kontrak.

Pagi ini setelah selesai makan pagi singkat dengan Rani di pantry, Pak Dani memanggilku ke ruangan untuk membicarakan kelanjutan hasil presentasi akhir pekan kemarin. Mengingat pembicaraan terakhirku dengan Pak Ivan selama perjalanan kembali ke Jakarta, tentu aku tidak kaget ketika mengetahui perusahaan kami memenangkan tender. Hal yang tidak terduga sama sekali adalah penunjukkan diriku untuk posisi Project Manager (PM) proyek tersebut.

Sebenarnya aku sudah beberapa kali bertindak sebagai PM, namun untuk proyek dengan nilai kontrak beberapa ratus juta saja. Misalnya saja renovasi beberapa bagian rumah, apartemen atau pembangunan toko-toko kecil. Proyek terbesarku ketika menangani pembangunan pusat kebugaran. Namun, desain pusat kebugaran sangat sederhana, bahan-bahan yang dipakai dalam proses pembangunannya yang mahal.

Sementara proyek pembangunan resor baru ini tidak hanya desainnya yang kompleks, bahan-bahan yang dipakai pun kualitas atas. Mau tidak mau nilai kontrak sangat tinggi. Melihat angkanya tertulis di dalam kontrak kerjasama saja membuatku merinding.

"Kamu kan terlibat dalam proses persiapan tender ini sejak pertama kali kita menerima undangan tender. Kamu ikut serta dalam proses survei, pembuatan proposal sampai melakukan presentasi. Wajar saja kalau kamu yang menjadi PM-nya. Kamu tahu luar dalam semua detailnya."

"Tetapi tetap saja saya masih kurang pengalaman untuk pegang proyek sebesar ini, Pak. Proyek-proyek saya sebelumnya tidak ada yang setengahnya saja sebesar ini. Mas Firman atau Mbak Nina lebih mampu dibandingkan saya," jelasku menyebut nama dua senior di perusahaan.

Pak Dani melepas kacamata, menyilangkan kedua tangan di depan dada, kemudian menatapku yang duduk tepat di hadapannya. Posisi kami hanya terhalang meja kerja Pak Dani yang penuh dengan kertas dan maket-maket bangunan.

"Saya yakin baik Firman atau Nina lebih dari mampu pegang proyek ini. Tetapi bukan mereka yang akan pegang, Jani, tetapi kamu. Ini justru kesempatan besar kamu untuk berkembang lebih jauh lagi bukan?"

"Risikonya besar sekali apabila gagal, Pak."

"Kalau berhasil?" tantang Pak Dani.

"Saya tidak yakin," balasku pelan.

Pak Dani kembali menatapku dalam hening. Ia mengambil kontrak kerjasama yang ada di tanganku dan membukanya. Setelah membolak-balik halaman kontrak, kelihatannya ia sudah menemukan halaman yang dicarinya. Sambil menunjukkan beberapa baris kalimat dengan jari telunjuknya, ia memberikan gestur untukku membacanya.

Aku membaca kalimat-kalimat yang ditunjukkan Pak Dani dengan saksama, sebelum terhenyak tidak percaya. Aku menatap Pak Dani dengan pandangan yang menurutku campuran antara bingung, tidak percaya dan heran.

"Begitulah permintaannya," terang Pak Dani seperti dapat membaca pikiranku.

"Klien yang meminta saya menjadi PM? Atas dasar?"

"Pak Ivan bilang dia tertarik dengan caramu presentasi dan menyukai semua ide yang kamu tuangkan dalam materi presentasi. Tentu saya yang menceritakan padanya kalau semua isi proposal dan presentasi adalah hasil karyamu. Sepertinya itu yang membuat Pak Ivan meminta kamu untuk pegang proyek ini."

"Kalau saya tidak mau?"

"Tidak akan ada proyek."

Aku terdiam. Sungguh sebuah persyaratan yang aneh. Meminta konsultan senior untuk menangani proyek tentu biasa, namun memastikan konsultan kemarin sore seperti aku untuk pegang proyek tentu sesuatu yang jarang terjadi, atau malah tidak akan pernah terjadi kalau bukan karena ketiadaan sdm yang lebih handal.

"Sepertinya saya harus menerimanya ya Pak? Proyek ini nilainya besar, pasti perusahaan sangat ingin semuanya berjalan."

"Pikirkanlah," jawab Pak Dani. "Tentu perusahaan ingin proyek sebesar ini bisa goal. Perusahaan manapun tidak mungkin melepas proyek dengan nilai yang sangat besar, kalau perlu melakukan segala cara untuk mempertahankannya."

Aku paham maksud Pak Dani. Aku tidak punya pilihan.

"Coba bicara dengan Mamamu. Saya tahu kamu sangat mendengarkan pendapat beliau. Saya yakin Mamamu akan setuju dengan penunjukkan ini," tutup Pak Dani mengakhiri pembicaraan.

Ah, atasanku itu memang paling memahami anak buahnya. Tahu saja kalau aku pasti akan berdiskusi dengan Mama perihal tugas baruku nanti.

***

Rani tersedak tidak lama setelah aku menceritakan titah yang diberikan Pak Dani untukku.

"Si Bos minta lo jadi PM? Untuk pembangunan resor baru?" ulang Rani untuk kedua kalinya.

"Seperti jawaban gue sebelumnya ke lo, jawabannya masih ya dan ya," balasku jengkel harus mengulang-ulang jawaban.

"Sorry, sorry, Gue kaget banget soalnya," kilah Rani menahan tawa.

"Nah, lo saja kaget, apalagi gue."

"Lo bilang ini permintaan owner dan proyek tidak akan berjalan kalau bukan lo yang jadi PM?"

"Tepat," balasku sembari mengarahkan ujung sendok makan ke arahnya, untuk menekankan jawaban yang kuberikan.

"Wow. Berani banget itu owner-nya ya? Sungguh risk-taker sejati."

"Maksud lo?" tanyaku tak mengerti.

"Iya, berani-beraninya menyerahkan tanggung jawab untuk pekerjaan sepenting ini ke anak bawang, yang kemarin mengerjakan renovasi apartemen tipe studio saja bisa molor seminggu," gelak Rani puas.

"Sial," gerutuku melempar sedotan plastik ke arah Rani.

"Ini kesempatan emas lo sih." Rani mengubah nada bicaranya, terdengar serius sekarang. "Kalau bukan karena klien risk-taker itu, kapan lagi lo pegang proyek gede? Mau tunggu Mas Firman sama Mbak Nina pensiun? Keburu bangkotan kita."

Kami berdua tertawa.

"Menurut lo begitu?" tanyaku balik.

Rani mengangguk. Ia memasukkan sepotong pizza ke dalam mulutnya, sebelum kembali berkomentar. "Siapa tahu habis ini, lo diangkat sebagai associate, enggak lagi kontrak."

"Semoga ya," ujarku mencoba tidak berharap banyak. Susah sekali memperoleh status associate di perusahaanku saat ini. Syarat minimalnya sungguh susah, salah satunya berhasil menyelesaikan proyek bernilai satu milyar.

"Ngomong-ngomong, owner-nya itu yang kemarin antar lo balik ke Jakarta dari Anyer kan?"

Aku mengangguk, sibuk mengunyah soto mie di depanku untuk menjawab langsung pertanyaan Rani.

"Kenapa enggak tanya langsung sama dia kenapa lo yang terpilih? Maksudnya, tanya pertimbangan seperti apa yang membuatnya memilih lo. Setidaknya lo tahu harapan dia ke lo apa nantinya."

"Boleh juga ide lo, enggak terpikir deh gue."

Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana kemudian mencari-cari nomor telepon Pak Ivan. Ketika berpisah akhir pekan kemarin, kami memang sempat bertukar nomor. Memudahkan komunikasi, demikian ujar Pak Ivan.

Terbukti, sekarang aku membutuhkannya untuk dia menjelaskan alasan penunjukkanku yang masih terasa janggal.

*** 

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang