26. Melarikan Diri Bukan Jawaban

196 35 0
                                    


Aku melipat kedua tangan di depan dadaku, menyadarkan bahu di kursi serta menatap tajam pria di hadapanku, menunggu penjelasannya.

Pak Ivan tampak semakin salah tingkah. Baru pertama kali ini aku melihat sosok yang selalu terlihat percaya diri dan yakin ini tampak bingung harus bersikap seperti apa.

Seorang pelayan datang dan membawakan pesanan kami berdua. Untuk sejenak kami melupakan ketegangan yang terjadi dan menikmati hidangan yang ada. Makan malam pertama kami sebagai sepasang kekasih seharusnya berjalan penuh kehangatan dan tawa. Namun yang terjadi sebaliknya. Kami berdua hanya makan dalam diam sambil sesekali mencuri pandang.

Pak Ivan sepertinya menilai apakah rasa marahku sudah berkurang sementara aku sebaliknya, mau tahu apakah dia memahami di mana letak kesalahannya.

Aku tidak pernah menceritakan masalahku kepada orang lain selain Rani dan aku yakin Rani tidak akan membocorkannya pada Pak Ivan. Mereka kenal saja belum, dan walaupun kenal, aku berani bertaruh dia tidak akan berani menceritakan masalahku pada orang lain. Bisa kuputus hubungan persahabatan kami secara sepihak.

Jadi kecurigaanku mengarah pada Pak Dani atau bahkan Pak Baskoro langsung. Para pria ini pasti saling bertukar cerita. Aku sudah melihat betapa Pak Dani dan kekasihku ini begitu dekat sebelumnya. Mereka bisa bercerita apa saja dan bukan tidak mungkin Pak Dani bisa saja menceritakan kisruhku dengan Mama siang ini.

Ah, mengucapkan kata kekasih saja walau dalam hati terasa aneh untukku. Aku belum terbiasa dengan kata-kata ini, dan sekarang aku harus langsung beradaptasi dengan situasi baru. Pertengkaran pertama kami.

Bukan sesuatu yang kuharapkan terjadi di hari pertama kami resmi menjadi sepasang kekasih.

"Saya memang tahu dari Dani," suara Pak Ivan terdengar kelu.

Aku mendongak dari mangkuk yang memancarkan bau wangi kuah soto kudus. Pak Ivan menyebutkan nama bosku yang membuatku seketika waspada.

"Jangan salahkan Dani, eh bos kamu. Saya yang minta beliau cerita. Saya tahu kamu sedang ada masalah beberapa hari terakhir ini, tetapi kamu tidak ingin bercerita dan saya juga tidak ingin mengganggu kamu kalau kamu belum mau bercerita."

"Dan seharusnya tetap seperti itu sampai saya siap bercerita," ujarku cepat tanpa sadar, sehingga seperti terdengar ketus. Kesimpulan ini sepertinya benar melihat Pak Ivan nampak terkejut. Namun berbeda dengan Pak Dani sore tadi, kali ini pria di hadapanku ini tidak berusaha menutupi keterkejutannya.

"Saya tahu, dan saya minta maaf." Pak Ivan menatap langsung ke arah kedua mataku. "Saya khawatir dengan keadaan kamu tetapi saya tidak tahu apa yang kamu alami. Saya ingin menjadi orang yang dapat membuatmu bersandar pada saya. Apapun masalah yang kamu hadapi, seberat apapun itu dan walau sepertinya tidak ada solusi yang mungkin, saya ingin kamu berlari kepada saya dan percaya semua akan selesai pada waktu yang tepat. Saya ingin menjadi sandaran kamu."

"Saya akan melakukan itu, tetapi semua membutuhkan waktu."

"Betul. Itu sesuatu yang seharusnya saya sadari sejak awal. Saya terbiasa bertindak cepat. Saya lupa kalau ini adalah kesepakatan dua hati yang membutuhkan waktu, bukan perkara bisnis yang membutuhkan keputusan cepat tanpa menggunakan hati."

"Terkadang bisnis pun menggunakan hati," ujarku pelan. "Saya selalu melihat Abang melakukan pekerjaan Abang dengan sepenuh hati. Memastikan setiap proses dilakukan dengan mempertimbangkan kenyamanan semua pihak. Seharusnya Abang juga melakukan hal yang sama untuk diri Abang. Tidak ada proses instan yang akan menghasilkan buah yang manis."

"Sekarang, bagaimana keinginanmu?" tanya Pak Ivan. Tangan kanannya berusaha meraih tanganku dan kubiarkan tangan itu mengelus lembut tanganku. Kehangatan di kedua tangan kami yang menyatu menyeruak ke seluruh tubuhku. Aku ingin merasakan kehangatan ini lebih lama. Namun terkadang keinginan memang hanya sebatas dalam angan. Kenyataan terlalu kejam untuk dihadapi.

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now