Part 2 : Bad Day

232 21 0
                                    

Part ini ditulis oleh partner duetku, athour RetnoNofianti. Tulisan ini memakai POV Zain.

Zain

Bunyi bip-bip dua kali dari ponsel di saku celana membuatku meraih benda pipih tersebut. Bukan pesan yang kuterima, melainkan peringatan bahwa benda tersebut sekarat karena kurang daya. Aku meletakkan benda itu begitu saja di laci meja. Lalu kembali menekuni berkas laporan yang diserahkan Riana.

Pagi tadi aku menemui gadis itu yang terkaget-kaget karena aku berdiri di depan kubikelnya saat belum ada seorang pun di ruangan tersebut. Hari masih terlalu dini untuk memulai pekerjaan. Komputer di meja gadis berumur itu juga belum dinyalakan.

"Mas Zain butuh sesuatu?" Dia seperti copet yang gagal melakukan aksinya. Dia gugup dan buru-buru menyimpan alat make-up yang tertata di meja. Meja kerjanya sekilas mirip dengan meja rias Nindy di rumah. Dalam sekejap benda warna-warni tersebut tersimpan ke laci. Apa dia tidak sempat berdandan di rumah? Hingga memindahkan salon di tempat kerja.

"Data pengadaan barang tiga bulan terakhir."

Kening Ria berkerut. Dia mengerjap beberapa kali. "Bukannya data seperti itu seharusnya Mas Zain minta pada Mila?" Ria menyebutkan nama asistenku di bagian logistik.

Aku ikut mengerjap. Memang apa yang kuminta tadi? "Catatan pembayaran untuk pengadaan material, beserta faktur tagihan."

"Oh," Riana mengangguk. Lalu dia menyalakan perangkat di depannya. Sambil menunggu loading yang lumayan lama, Ria sempat meneliti penampilannya dalam kaca kecil. Dia nyengir saat mendapatiku tetap memperhatikan gerak-geriknya.

"Hanya material atau semua pembelian, Mas?" Ria mulai mengetikkan sesuatu.

"Kalau konsumsi bukan bagian saya, Ri." Aku menatap lurus pada jemarinya yang lentik dan terus mengetikkan sesuatu.

"Ya, bukan konsumsi juga kali, Mas. Pengadaan alat maksudnya." Dia terkekeh.

"Alat?" Keningku berkerut lagi. Bukanya beberapa bulan ini tidak ada pembelian alat? Hanya suply material saja ke lokasi. Bisnis perumahan agak lesu akhir-akhir ini. Rapat bulan lalu memutuskan untuk mengurangi jumlah produksi dan fokus pada penjualan lebih dulu.

Ria mendongak. Dia menunggu. "Mas, mau di-print sekalian apa nggak?"

"Iya, sekalian saja," ujarku akhirnya.

Lembar demi lembar mulai keluar dari mesin print. Gadis itu mengambil kaca dan memeriksa riasannya kembali. Sepertinya dia belum puas dengan hasil menggambar mukanya tadi. Bisa jadi kalau aku tidak mengganggunya, dia masih melanjutkan berkencan dengan alat make-up.

"Sudah cantik, Ri. Lagi dekat dengan yang baru, ya?"

"Yang baru siapa?" Dia tergelak. Tangannya lincah menyusun kertas-kertas tersebut lalu menyatukannya dengan klip. Kemudian benda tersebut berpindah ke tanganku.

"Terima kasih, Ri. Semoga pe-de-ka-te-mu lancar."

Riana tertawa. Dia tidak menanggapi ucapanku.

Sampai siang begini aku belum menemukan apa yang aneh dengan faktur tagihan dan pembayaran. Bahkan tanda tangan Pak Ratmo selaku mandor juga tertera di setiap pengantaran barang. Lalu, kenapa material yang seharusnya cukup sampai bulan depan dilaporkan menipis di tanggal tua seperti sekarang. Mengajukan proposal pengadaan barang belum tentu disetujui oleh Pak Adnan selaku pimpinan PT. Mega Perkasa Bangun tempatku bekerja. Kemungkinan besar aku akan dianggap tidak becus menangani masalah pemasokan barang. Aku memijat kening yang mendadak pening.

"Mas, nggak makan?" Mila berdiri di depan mejaku. Dia membawa map lalu menyimpan di meja.

"Ini sudah semua, Mil?" Aku membuka map yang baru saja mendarat.

SERPIHAN ASAOn viuen les histories. Descobreix ara